filsafat umum


FILSAFAT UMUM
BULAN Februari 2002 bukan bulan yang baik bagi Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair. Usai sidang parlemen, dia menjadi bahan olok-olok para anggota parlemen.Blair menjadi bulan-bulanan karena ketidakmampuannya merumuskan secara singkat dan sederhana filsafat politik yang mendasari politik hariannya. Sandungan tersebut datang dari anggota parlemen asal partainya sendiri-yang kebetulan bekas pengajar filsafat di universitas. Insiden tersebut menyimpan satu pertanyaan. Apakah politik harian membutuhkan inspirasi filsafat politik. Gus Dur pernah menjadi bulan-bulanan saat memberi sedikit abstraksi filosofis-juridis di sidang parlemen. Wacana akademis! Begitu olok-olok sebagian anggota parlemen waktu itu. Dasar berpikir sebagian anggota parlemen waktu itu jelas. Politik harian tidak membutuhkan filsafat politik. Politik harian membutuhkan retorika, bukan logika. Raison d’etre-nya adalah pragmatisme. Politik praktis, begitu orang awam menyebutnya.

Benarkah tesis yang mengatakan bahwa politik harian tidak membutuhkan filsafat? Leo Strauss, filsuf politik asal Chicago, tidak sependapat. Dia menyuarakan pentingnya pencerahan filosofis atas politik. Para filsuf harus turun gunung mewejangi para politisi harian. Hanya dengan itu politik harian bisa berbobot. Tidak semata karnaval kebodohan dan kemunafikan yang memuakkan.
Filsuf ideal Straussian mesti bekerja sebagai bejana pikiran bagi para politisi harian. Membantu merumuskan kebijakan-kebijakan politik berbasiskan argumentasi filosofis yang kuat. Tidak sekadar mengikuti common sense yang dangkal tak berdasar. Singkat cerita, politik harian harus tunduk pada filsafat politik. Namun, tidak semua filsuf sepakat dengan Strauss. Jonathan Wolff, seorang filsuf politik lainnya, menolak keterjalinan antara filsafat politik dan politik harian. Filsafat politik, menurut Wolff, bukanlah "hakim epistemik" bagi kebijakan politik. Ia ini dipaksakan, sebentuk otoritarianisme kognitif menyembul. Dan ini tidak kondusif bagi perkembangan atmosfer demokrasi.
Kalau filsafat politik tidak boleh turun tangan pada persoalan politik harian, lalu apa tugas praksis para filsuf? Apakah mereka cukup berpikir di menara gading, tidak menyentuh kehidupan sehari-hari? Atau mengelus dada saja bila melihat kekacauan berpikir para politisi harian? Sikap-sikap seperti itu juga bukan sesuatu yang positif.

PARA filsuf politik kontemporer mengambil sikap moderat. Filsafat politik bukan lagi "hakim epistemik" bagi politik harian. Perannya sekarang adalah pengatur lalu lintas yang merumuskan rambu-rambu bagi percaturan politik yang fair.Ini tidak boleh diserahkan pada para politisi harian. Karena begitu diserahkan, rambu-rambu yang dibuat semata-mata melayani kepentingan the ruling party or parties. Inilah yang mendasari protes partai-partai gurem terhadap aturan main pemilu yang disusun parlemen sekarang.
Demokrasi tidak bisa berjalan tanpa fairness dalam proses-proses politik. Tak adanya pembatasan dan pengawasan terhadap dana kampanye membuat partai-partai miskin jadi lemah posisinya dalam merebut hati publik. Hanya partai-partai kaya mampu membiayai reklame-reklame prime time di stasiun-stasiun TV raksasa. Kesempatan menjadi tidak setara untuk menjual dagangan politik antarpartai. Demokrasi memberikan keleluasaan bagi berbagai ideologi untuk hidup dan berkembang. Pada masyarakat tertutup-otoritarian, hanya satu ideologi yang berhak hidup; yang lain harus tunduk dan turut. Hal seperti itu tidak berlaku pada masyarakat terbuka-demokratis.
Dalam masyarakat terbuka menuntut kosongnya percaturan politik dari apa yang disebut Rawls "kebenaran metafisik". Sebentuk kebenaran yang mengabsolutisir dirinya dan menutup pintu komunikasi dan toleransi. Perdebatan ideologis yang paling tajam, menurut Rawls, adalah soal keadilan. Karena itu, filsafat politik Rawls mencoba merumuskan satu prosedur yang fair guna menentukan prinsip keadilan yang bisa diterima semua pihak. Prinsip keadilan yang bisa diterima baik oleh sayap kiri, kiri-tengah, maupun kanan.
Pluralisme bentuk kebenaran dalam masyarakat terbuka-demokratis juga menggelitik filsuf politik lainnya bernama Habermas. Filsuf politik ini memformulasikan apa yang disebutnya sebagai etika diskursus. Etika diskursus adalah prosedur yang fair bagi pertarungan epistemik-etik berbagai bentuk kebenaran demi mencapai konsensus.
Sama seperti Rawls, Habermas juga berbicara dalam bingkai demokrasi. Bingkai yang tidak boleh dimuati satu pun kebenaran absolut. Konkretnya begini. Satu kebijakan publik, misalnya, tak hanya diambil berdasarkan satu dasar ideologis. Namun, harus berdasarkan konsensus pihak-pihak ideologis yang berkepentingan.
Pengurangan subsidi BBM sangat brilian dari sudut pandang ideologi neo-liberalisme. Efisiensi ekonomi menuntut absennya campur tangan kekuasaan. Namun, ada prioritas nilai yang harus dipertimbangkan; misalnya, apakah efisiensi mesti mengorbankan kualitas hidup sebagian besar masyarakat; haruskah kalkulasi ekonomi meminggirkan hak sosial-ekonomi warga negara; atau benarkah ada dampak langsung efisiensi perusahaan pada turunnya angka pengangguran. Pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya kurang diperhatikan para pengambil kebijakan.
Nyata sekali terlihat bagaimana kebijakan pengurangan subsidi BBM sangat mono-dimensional. Pihak-pihak yang berkepentingan tidak pernah dilibatkan. Atau, kalau dilibatkan, hanya satu pihak dan itu pun belum tentu representatif. Ini artinya ada sesuatu yang unfair dalam percaturan politik di republik ini. Dengan kata lain, filsafat politik masih dibutuhkan.

SELAIN merumuskan prosedur yang fair, filsafat politik juga berjasa memberi perspektif baru atas kenyataan politik. Filsafat politik Foucault, misalnya, memberi kita perspektif baru tentang kekuasaan yang berbeda dengan teoretisasi filosofis sebelumnya. Foucault menggugat teoretisasi klasik yang memandang kekuasaan sebagai hasil dari kontrak sosial dari individu-individu yang berkumpul dan berkonsensus. Kekuasaan yang selalu disangkut-pautkan dengan negara sebagai makro-politik.
Sebaliknya, ia memandang bahwa kekuasaan dalam realitas jauh dari bentukan individu, tetapi malah membentuk individu. Menjadikan individu sebagai tubuh-tubuh politik yang senantiasa melakukan swa-pengawasan atas dirinya. Kekuasaan macam ini memanifestasikan dirinya bukan hanya dalam negara, tetapi juga menyelusup masuk dalam jejaring mikro-mikro politik, mulai dari keluarga sampai penjara.
Ini adalah epistemologi baru (bahasanya Herry Priyono) dalam mempersoalkan kodrat kekuasaan. Kalau kekuasaan tidak lagi bersemayam di negara, maka target kontrol demokratis harus berubah. Lembaga ekonomi, spiritual, sains, sampai pedagogi. Semuanya itu adalah lembaga politis par excellence. Dan semua bentuk lembaga yang mengepung individu secara politis, mestilah akuntabel.

Uraian ini menyisakan pertanyaan sekaligus gugatan. Bagaimana nasib filsafat politik di republik ini. Karena kayaknya, kecenderungan skolastikal masih cukup dominan di kalangan akademisi filsafat. Kerja filosofis sekadar membolak-balik traktat tanpa mampu mengaitkannya dengan isu-isu keseharian. Sedangkan demokrasi di republik ini masih compang-camping.
Politik harian, menurut hemat saya, masih membutuhkan masukan prosedural dari para filsuf politik. Demokratisasi berjalan di tempat tanpa terobosan-terobosan teoretisasi baru filsafat politik.
Politisi boleh mengatakan: "filsafat adalah filsafat sementara politik adalah politik". Itu benar. Namun, kekeraskepalaan keduanya tidak akan menghasilkan apa-apa. Keduanya harus menemukan titik temu. Para filsuf republik, mulailah bekerja!




KETIKA harga minyak mulai rontok di tahun 1982, rezim Orde Baru berangsur-angsur kehilangan otonomi fiskal. Sejak itu gerak ekonomi-politik Indonesia mencari motor baru dalam rupa bisnis swasta dengan deregulasi sebagai instrumen utama. Era deregulasi mulai di tahun 1983 mencakup keuangan, pajak, tarif, bea cukai, perdagangan, investasi, pasar modal, perbankan, komunikasi, dan sebagainya.
Apakah deregulasi baik atau buruk? Ada baiknya ditangguhkan dulu debat pro dan kontra. Namun, sebagai uji coba, baiklah mulai dari posisi pro: deregulasi secara keseluruhan (dan bukan selektif) merupakan sesuatu yang sangat baik adanya.
Bila diringkas, deregulasi menunjuk ke- bijakan pemerintah mengurangi/meniadakan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal, barang, dan jasa. Dengan kebebasan gerak produksi, distribusi, dan konsumsi modal, barang, serta jasa itu, volume kegiatan bisnis swasta diharapkan melonjak. Dengan itu lanskap ekonomi Indonesia juga tidak lagi bergantung pada uang minyak.
Deregulasi telah menjadi istilah teknis ekonomi dan populer karena alasan ekonomi. Akan tetapi, penciutan istilah "deregulasi" ke bidang ekonomi itu sangat menyesatkan. Deregulasi pertama-tama bukan gagasan ekonomi, tetapi premis baru ketatanegaraan.








Premis baru
Isi premis baru ketatanegaraan itu mungkin bisa ditunjuk dengan dua lapis argumen berikut. Lapis pertama, deregulasi berisi gagasan bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya suatu negeri tak boleh lagi hanya bergantung pada kekuasaan rezim yang sedang memerintah. Jadi, jatuh-bangun dan hidup-matinya ekonomi, budaya, atau pendidikan di Indonesia tidak boleh lagi hanya bergantung pada inisiatif pemerintah, entah itu rezim Soeharto atau Susilo B Yudhoyono. Itulah mengapa deregulasi melibatkan pemindahan berbagai inisiatif, dari pemerintah ke sektor-sektor nonpemerintah.
Sejak 1 Januari 1984, misalnya, metode "valuasi pemerintah" (official assessment) dalam pengumpulan pajak diganti menjadi "penghitungan diri" (self-assessment). Artinya, penghitungan pajak tidak lagi dimulai oleh petugas pajak, tetapi oleh wajib pajak sendiri, lalu petugas pajak melakukan crosscheck. Tentu perubahan itu ditujukan untuk sasaran ekonomi, seperti efisiensi dan pembatasan kuasa petugas pajak bagi peningkatan revenue dari pajak. Namun, implikasi praktis terhadap urusan fiskal ini hanyalah konsekuensi dari gagasan lebih fundamental tentang deregulasi: bahwa hidup-matinya Indonesia tidak boleh lagi bergantung hanya pada inisiatif dan tindakan aparat pemerintah.
Lapis kedua, justru karena itu deregulasi juga menunjuk gagasan baru bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya kondisi politik, ekonomi, budaya, ataupun pendidikan di Indonesia juga tidak bisa lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Lugasnya, solusi atas masalah Indonesia juga merupakan beban tanggungan sektor-sektor nonpemerintah. Lapis ini sejajar dengan lapis pertama di atas. Andaikan "deregulasi" adalah sekeping mata uang, pokok dalam lapis pertama dan kedua merupakan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.
Dua lapis pengertian di atas mungkin terdengar aneh bagi mereka yang mengartikan deregulasi hanya sebagai soal teknis, seperti pengertian umum dalam alam pikir ekonomi dewasa ini. Namun, dalam "republik refleksi", kita selalu butuh kembali ke prinsip paling sederhana, yang kira-kira berbunyi begini: pengertian luas bukanlah bukti validitas.
Dari pokok-pokok di atas mungkin segera tampak, de-regulasi bukan berarti tidak-adanya regulasi, melainkan perluasan/pemindahan locus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke self-regulation. Maka, de-regulasi sesungguhnya berisi re-regulasi, dengan self sebagai aktor-regulator alternatif. Istilah "self" bisa berupa individu perorangan, bisa juga badan usaha bisnis/ perusahaan, dan bisa pula pemerintahan lokal yang otonom.

Regulator alternatif
Apa dasar self bertindak sebagai aktor-regulasi alternatif? Dasarnya adalah self-determination yang terungkap dalam kebebasan dan kedaulatan pilihan individual. Tetapi masih perlu dikejar lanjut. Kalau sumber daya pemerintah melakukan state-regulation adalah mandat, apa sumber daya self-regulation? Jawab: pemilikan/kontrol atas berbagai sumber daya (finansial, teknologis, fisik, informasi, material, dan sebagainya) yang diubah menjadi capital. Itulah mengapa terjadi penerapan istilah "capital" pada bidang-bidang seperti budaya (cf cultural capital), pengetahuan (cf symbolic capital), dan lain-lain.
Dengan itu deregulasi melahirkan gejala baru, yaitu kedaulatan dan kebebasan selera individual menjadi locus kekuatan regulatif baru yang tidak kalah menentukan dibanding kekuatan regulatif pemerintah. Modelnya adalah kinerja "kebebasan pilihan individual" dalam ekonomi pasar-bebas (cf "saya bebas berbuat apa pun menurut selera saya dan selera apa pun yang bisa saya beli"). Dalam arti tertentu bahkan bisa dibilang, pemerintah sering tinggal menjadi penjaga legalitas, tanpa sepenuhnya mampu menjadi regulator.
Ambillah acara di layar televisi sebagai contoh. Sudah lama meluas keluhan tentang rendahnya mutu acara televisi yang dikuasai program gosip, klenik, jingkrak-jingkrak, badut-badutan, serta histeria idola. Pemerintah tidak bisa lagi menjadi regulator acara televisi tanpa dituduh otoriter. Mungkin para programmers acara televisi bilang acara-acara itulah demand pemirsa. Tetapi karena klaim itu tidak ada sebelum programmers menayangkan acara-acara tersebut, dengan lugas bisa dikatakan regulatornya adalah corak selera para programmers televisi. Kemudian muncul apologi, misalnya "bukankah pepatah Romawi pun mengingatkan bahwa manusia tidak hanya membutuhkan roti, tetapi juga komedi?" (Tajuk Kompas, 8/9/2004). Dalih itu menggelikan karena soalnya justru sebagian besar acara televisi berupa "komedi". Tambahan lagi, pepatah itu datang dari kaisar seperti Nero dan Commodus sebagai siasat meninabobokan warga Roma dengan orgi darah di Colosseum.
Sekali lagi, de-regulasi bukan pengha- pusan regulasi, tetapi re-regulasi menurut selera pribadi. Dengan itu kekuatan-regulatif penentu corak kehidupan publik bukan lagi hanya daya-regulatif pemerintah, tetapi juga daya-regulatif kebebasan selera/pilihan individual. Pokok sederhana ini punya implikasi sangat jauh.

Etika deregulasi
Bila deregulasi berisi premis hidup-matinya negeri ini tak boleh lagi tergantung hanya pada pemerintah, tentu itu juga berarti hidup-matinya negeri ini tidak boleh lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Segera tampak deregulasi pertama-tama bukan urusan teknis ekonomi, tetapi etika baru manajemen masyarakat. Dan itu berlaku baik untuk bidang ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, maupun politik. Jadi, kita mesti pro atau kontra deregulasi? Dua pokok berikut ini mungkin bertentangan dengan paham tradisional yang luas diyakini, tetapi semoga ada gunanya diajukan.
Pertama, andaikan Anda penentang gigih deregulasi. Posisi kontra ini salah satunya melibatkan penolakan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari state-regulation ke self-regulation. Anda mungkin dituduh mendukung otoritarianisme, tetapi tuduhan itu bisa diabaikan. Salah satu agenda pokok penganut posisi kontra deregulasi lalu adalah memastikan agar gerakan civil society mengoreksi dan memberdayakan kapasitas pemerintah sebagai badan regulator yang baik karena pemerintah dilihat sebagai satu-satunya penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Tetapi, agenda ini tidak lebih dari meneruskan teriakan-teriakan kita selama ini dan deregulasi lalu juga kehilangan arti.
Kedua, andaikan Anda penuntut gigih deregulasi. Posisi pro ini berisi kesetujuan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari state-regulation ke self-regulation. Implikasi utamanya, civil society tidak-bisa-tidak berfokus pada gerakan memastikan agar sektor-sektor nonpemerintah juga menjadi aktor-regulator yang baik karena self-regulation berarti pemerintah bukan lagi satu-satunya penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Lugasnya, persis dari logika-internal deregulasi, sektor-sektor nonpemerintah itu kini juga tidak-bisa-tidak menjadi penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Itu berlaku baik bagi sektor bisnis, media, maupun perguruan tinggi, dari soal acara televisi, rusaknya gedung sekolah, busung lapar, sampai keluasan korupsi.
Apa yang terjadi bila sektor-sektor nonpemerintah menuntut deregulasi seluasnya, tetapi membebankan semua hanya kepada pemerintah dan juga tidak mau ikut menjadi solusi atas labirin masalah Indonesia? Itulah yang rupanya sedang terjadi. Deregulasi lalu tidak lebih dari siasat para pelaku sektor-sektor nonpemerintah untuk menjadi free riders di negeri ini. Free rider kira-kira berarti "penumpang yang tidak membayar". Maka tidak perlu kaget bila para programmers televisi merasa tidak punya urusan dengan pendidikan kultural warga Indonesia. Tak mengherankan pula bila para bos perusahaan tambang merasa tidak punya urusan dengan kehancuran lingkungan seperti di Pantai Buyat.
Kita bisa meratapi atau merayakan deregulasi, tetapi itu masih jauh dari memahami bahwa deregulasi melibatkan agenda ketatanegaraan yang lebih mendalam daripada sekadar perkara efisiensi ekonomi.






REPUBLIK kekerasan. Begitu mungkin sebutan yang cocok bagi republik tercinta ini. Sejarahnya disesaki siklus penundukan, kekerasan, darah, dan korban. Pelbagai peristiwa kekerasan datang silih berganti. Pembantaian kader PKI tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok, penyerbuan markas PDI, tragedi Mei 1998, konflik Ambon, peristiwa Semanggi, dan sebagainya. Semuanya berlalu tanpa jejak yang berarti. Tersapu politik yang sudah demikian terstruktural oleh penundukan dan kekerasan. Politik yang berseberangan dengan hidup, kebebasan, dan kebaikan. Sesuatu yang hanya ada satu level di atas tribalisme kuno. Padahal, sejarah sebenarnya mengajarkan bagaimana berpolitik yang santun. Di masa Yunani Kuno, misalnya. Dalam polis (negara-kota) Atena, politik dijalankan tanpa kekerasan. Politik kekerasan dicibir sebagai politik tribal kaum barbar yang mengedepankan otot ketimbang otak. Para politisi Atena bekerja dengan persuasi, bukan koersi. Kerja yang diwadahi sebuah ranah publik. Ranah tempat segala urusan publik dibicarakan secara terbuka, bebas, dan rasional.
POLITIK sebagai proses deliberasi publik sendiri adalah persimpangan dalam sejarah politik. Momen bersejarah saat publik untuk pertama kali dilibatkan dalam proses politik yang rasional dan sehat. Proses ketika kebijakan politik tidak lagi diputuskan secara privat. Bukan seperti keputusan seorang ayah menyekolahkan anaknya di sekolah ternama. Dengan kata lain, politik bukan keputusan sepihak, ia membutuhkan legitimasi publik. Sebuah politik yang santun, meminjam istilah Dr Haryatmoko.
Ujian tengah semester bagi politik yang santun adalah bangkitnya neotribalisme dalam berbagai formatnya. Politik yang kembali menyempit dalam ruang-ruang privat tak berjendela. Keputusan diambil sepihak dengan membeku-matikan keterlibatan publik. Ranah publik diratakan dan prinsip-prinsip, seperti kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas, dicampakkan jauh-jauh dari politik. Ini yang terjadi semasa rezim Orde Baru. Rezim neotribalisme yang bekerja begitu halus membungkam deliberasi publik. Kita masih bisa membaca beberapa semiopolitika neotribalisme Orde Baru. Pertama, politik diatur oleh doktrin tunggal yang mengurusi segalanya mulai dari urusan privat sampai publik. Kedua, akuntabilitas tubuh-tubuh politik menjadi kebal dari skrutinisasi publik. Ketiga, mekanisme penundukan menyebar di semua lini kehidupan: ekonomi, sosial, budaya, dan religi. Ketiganya berakar dari sebuah kebenaran sederhana: absennya deliberasi publik oleh proses penundukan halus yang menyerang kesadaran sosial secara simbolik.
Serangan simbolik paling halus adalah lewat pranata hukum. Serangan ini berpangku pada konsepsi umum positivisme hukum yang meleburkan moral dan hukum. Filsafat yang beranggapan bahwa hukum sendiri adalah sebuah legitimasi moral yang matang. Dengan kata lain, segalanya pasti beres secara moral asal konstitusional. Bertolak dari lapisan kesadaran yang mengental secara sosial ini, pelbagai produk perundang-undangan yang melegitimasi kekerasan dan penundukan dirumuskan. Dari yang paling nyata (UU Antiterorisme) sampai paling halus (UU Sisdiknas). Semuanya adalah kerja diam-diam yang sedikit demi sedikit menggerus hak-hak dasar warga negara.
POLITIK yang santun mensyaratkan seni berpolitik yang santun pula. Sayang, seni berpolitik republik ini berbicara lain. Seni berpolitik saya tipologikan menjadi dua. Pertama, seni berpolitik utilitaris. Seni berpolitik ini memandang segala sesuatu dari kacamata efektivitas. Ia memilah-milah mana isu yang strategis dan mana yang tidak. Apakah satu isu bisa memuluskan jalan ke singgasana kekuasaan atau tidak. Semuanya adalah soal polling, tak lebih! Dan, tampaknya pembelaan korban, rekonsiliasi, dan rehabilitasi hak-hak dasar bukan komoditas yang layak jual di pasar politik. Tak heran mengapa pelbagai rekomendasi humanitarian dari kelompok-kelompok sipil selalu saja mentah di tengah jalan. Kelompok-kelompok politik lebih berfokus pada isu strategis yang kondusif bagi aksentuasi kepentingan masing-masing.
Kedua adalah seni berpolitik futuris. Seni berpolitik yang selalu ingin meratakan masa lalu. Ia berpijak pada janji-janji keesokan: pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, tinggal landas, dan sebagainya. Semuanya berkisar seputar harapan-harapan, bukan kelukaan. Politik futuris selalu mengatakan, "Marilah kita lupakan masa lalu untuk bersama- sama membangun bangsa ini ke depan." Masa lalu adalah sumber konflik yang harus dikubur dalam-dalam. Semuanya cukup diselesaikan lewat kompromi elite. Rekonsiliasi menjadi sekadar seremonial yang kehilangan jejak pada ingatan sosial masyarakat.
Etika politik yang mendasari politik utilitaris dan futuris adalah etika yang berporos pada sektarianisme yang kuat. Etika yang membuat politik menjadi sekadar ajang perjuangan kepentingan kelompok yang menghamba pada instrumentalisasi nalar. Yang ada di pikiran tiap kelompok adalah bagaimana mengamankan kepentingannya sendiri dengan segala cara. Kebaikan dikacaukan dengan kesuksesan. Kekuasaan selalu dilihat sebagai konspirasi untuk menghabisi kelompok dengan kepentingan berbeda
Dua seni berpolitik itu saya tengarai masih bercokol kuat di republik ini. Dunia politik yang masih keruh oleh pertikaian dan perebutan kekuasaan. Dunia yang kehilangan panduan etika sosial yang ketat, kecuali etika utilitaris, di mana tujuan mengamini sarana. Atmosfer politik menjadi keruh oleh kecemasan, kecurigaan, dan kehendak untuk berkuasa. Sungguh sebuah iklim yang amat tidak kondusif bagi tumbuhnya demokrasi yang matang dan sehat. Demokrasi yang beralaskan sebuah etika sosial dan kesantunan politik. Sistem yang benar-benar menjamin lestarinya hak-hak dasar manusia dari terkaman kekuasaan.
Pertanyaan berikut: etika sosial macam apa yang harus dibangun? Milan Kundera, novelis Perancis kelahiran Ceko, mengatakan sesuatu tentang persahabatan. Persahabatan baginya adalah sesuatu yang lebih sublim ketimbang ras, agama, atau ideologi: sebuah relasi yang nonsektarian. Persahabatan adalah sebuah etika yang beralaskan saling pengakuan satu sama lain sebagai subyek moral yang setara. Etika yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip metasektarian, seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
Bila persahabatan ditarik secara politis, maka hasilnya adalah apa yang disebut Hannah Arendt sebagai etika solidaritas. Sebuah etika yang menjamin bahwa politik tidak sekadar dijadikan sarana perjuangan primordialitas, tetapi penjamin kebaikan untuk semua. Namun, solidaritas di sini harus dibedakan dengan nilai- nilai, seperti kasih, perhatian, simpati, dan sebagainya. Semua itu masih dalam lingkup privat. Dalam lingkup publik, nilai-nilai itu harus mengalami transformasi politik lewat ranah publik.
Cinta dalam ranah privat bisa amat sektarian. Seorang ayah bisa demikian mencintai anaknya hingga melakukan apa pun demi kesuksesan anaknya. Seorang radikalis bisa demikian mengasihi kelompoknya hingga rela mengorbankan nyawanya lewat aksi bom bunuh diri. Etika solidaritas jauh dari kedua contoh itu. Etika solidaritas dalam politik mendorong cinta pada sebuah dimensi baru. Dimensi publik. Mencintai adalah melihat yang lain bukan sebagai musuh atau obyek ideologis, tetapi sebagai subyek politik yang setara. Mencintai juga berarti memberi kesempatan bagi semua perspektif untuk masuk dalam sebuah diskursus publik (ngambang).
ETIKA solidaritas adalah sarana sekaligus hasil sebuah ranah publik yang sehat. Disebut sarana karena melaluinya ranah publik menjadi sungguh-sungguh publik, bukan sekadar ajang perjuangan kepentingan jangka pendek. Dalam hal ini, ranah publik berfungsi mendesektarianisasi nilai-nilai privat. Di lain pihak, ranah publik yang sehat menghasilkan etika solidaritas yang kuat. Saat segala urusan dibicarakan secara terbuka dalam semangat kebersamaan guna menjamin kesetaraan dan kebebasan, lambat laun sebuah bangunan etika sosial yang kokoh akan berdiri.
Persoalannya, bagaimana menstrukturkan etika solidaritas dalam tubuh politik bangsa ini. Tubuh yang diwarisi rezim sebelumnya dalam kondisi memprihatinkan: koyak oleh politik kekerasan dan penundukan. Politik yang acuh terhadap hak-hak dasar manusia. Itu semua membuat perubahan mendasar dalam struktur politik bangsa ini bukan hal sepele. Paling tidak ada dua hal yang menjadi kunci perubahan. Pertama, struktur itu sendiri dan kedua, karakter politisi. Pertama bersifat sosial, sedang kedua individual. Keduanya berbeda, namun saling bertautan.
Menurut Giddens, struktur adalah kebiasaan yang berulang dan membuat pola. Hukum adalah salah satu sarana sekaligus hasil sebuah struktur. Dalam kontens sarana, bila ditengok produk perundang-undangan kita, masih banyak yang belum bisa lepas dari struktur penundukan. Banyak undang- undang yang bisa dijadikan justifikasi untuk perampasan hak- hak dasar manusia. Selain itu, fairness dalam politik masih belum tertampung sempurna dalam undang-undang. Undang- undang masih menjadi obyek sasaran manipulasi ideologis. Dengan kata lain, undang-undang masih dijadikan sarana memantapkan dominasi ideologis satu kelompok atas yang lain. Ini tentu amat tidak kondusif bagi moralitas yang berporos pada solidaritas.
Perubahan menuntut orang berkarakter kuat. Sebuah struktur, sekuat apa pun ia, akan berubah saat banyak orang berani mengambil jarak dari kesadaran dominan. Masalahnya, struktur bisa begitu dominan sehingga orang-orang berkarakter kuat pun bisa larut di dalamnya. Banyak kisah bagaimana cendekiawan yang semula terkenal vokal, kini menjadi the most loyal spokeperson of authority. Padahal, seperti ditegaskan Edward Said, fungsi pokok cendekiawan adalah berbicara kebenaran di hadapan kekuasaan. Ini membuat kita bertanya-tanya seputar maraknya cendekiawan terjun ke politik. Apakah mereka akan membuat perubahan atau lenyap dalam pusaran habitus yang sudah mengendap lama.
Pendidikan menjadi instrumen strategis guna membangun karakter politik nonsektarian. Sayang, ia pun menjadi sasaran strategis kelompok sektarian untuk menancapkan kukunya. Pendidikan yang seharusnya menghasilkan insan yang memiliki daya pertimbangan otonom, menjadi ajang indoktrinasi ideologis yang tertutup bagi nilai-nilai solidaritas. Ini membuat perbincangan mengenai pendidikan kewarganegaraan kembali relevan. Bukan semata-mata pendidikan teknis mengenai tata cara penyelenggaraan negara. Namun, pendidikan yang menanamkan moral politik yang berpijak pada solidaritas, kebebasan, dan keadilan. Pendidikan yang akan menghasilkan insan-insan yang tidak saja melek politik, namun mampu menjalankannya secara etis dan rasional. Kader-kader bangsa yang tahu bagaimana berpolitik secara santun.



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel