Refleksi Isra’ Mi’raj

Refleksi Isra’ Mi’raj

Apakah Kita Sudah Shalat?
Isra’ mi’raj merupakan perjalanan terbesar dan terhebat sepanjang sejarang peradaban manusia.

Tiada manusia lain yang dianugerahi sedemikian agungnya oleh Allah SWT selain rasulullah
Muhammad SAW.

Isra’ mi’raj adalah sebuah pengakuan Rasulullah yang berdampak sangat besar pada zamannya.
Bahkan hingga saat ini, pernyataan tersebut menjadi bagain yang masih dianggap kontroversial
dalam catatan sejarah. Hanya keimanan yang dapat menelaah peristiwa ini dengan sepenuh
penerimaan dan keyakinan yang dilandasi oleh kataqwaan. Tanpa keyakinan dan ketaqwaan,
maka isra’ mi’raj akan menjadi bahan perdebatan dan saling berbantahan.
Hanya orang-orang yang menerima pengakuan Rasulullah dengan penuh keyakinan dan
kepasrahan kepada Allah inilah yang akan dapat menerima anugerah isra’ mi’raj hingga saat ini.
Hanya merekalah yan dapat menjadikan isra’ mi’raj sebagai momentum untuk terus
memperbaiki kekurangan diri, baik dari sisi duniawi maupun ukhrowi.

Dari sisi duniawi, isra’ mi’raj menjadi sebuah bahan telaah untuk pengembangan-pengembangan
penelitian ilmiah dan dan teknologi yang memungkinkan manusia untuk meningkatkan kualitas
hidup mereka. Baik dalam lingkup masyarakat berbangsa maupun bangsa-bangsa dan Negara-
negara dunia.

Dari sisi ukhrowi, jelas bahwa isra’ mi’raj, merupakan keberkahan tersendiri bagi umat Muslim
hingga saat ini. Bila kita menginginkan peristiwa ini memiliki dampak signifikan terhadap
kehidupan kita maka mestinya kita meneliti kembali pernyataan sikap dan tindakan kita terhadap
oleh-oleh terindah peristiwa isra’ mi’raj. Sudahkah kita menerima dan membenarkan peristiwa
ini dengan segala keimanan dan ketulusan hati? Apakah kita telah membuktikannya dengan
mendirikan shalat secara berkualitas?

Karena hidup senantiasa memiliki dua sisi yang berlawanan, yakni nikmat atau musibah,
kebahagiaan atau kesedihan. Memang terkadang persoalannya tidak mudah, karena manusia
memiliki kecenderungan kufur pada saat meraih nikmat dan berkeluh kesah pada saat meraih
musibah, dan inilah yang terjadi pada manusia secara umum, kecuali orang-orang yang dapat
melaksanakan shalat dengan khusyu’.

Mereka yang mendirikan shalat dengan khusyuk berarti memiliki kepercayaan bahwa shalat
adalah buah dari anugerah yang maha agung bagi umat Islam, yakni isra’ mi’raj. Adalah sama
sekali bohong jika kita mengakui mengimani isra’ mi’raj namun senantiasa meninggalkan shalat
tanpa merasa bersalah sedikitpun juga.

Hikmah Isra’ Mi’raj, Ilham Pengambangan Teknologi
Peristiwa isra’ mi’raj adalah peristiwa yang sangat menggetarkan bagi masyarakat Arab pada
zamannya. Bagaimana tidak, seorang manusia mengaku dapat berangkat sejauh makkah

Yerusalem kemudian naik ke langit ke tujuh dan kembali lagi ke tempat semula hanya dalam
tempo semalam saja.

Jangankan pada zaman itu, zaman sekarang pun masih cukup susah untuk mempercayainya.
Dibutuhkan modal iman untuk percaya pada mukjizat Rasulullah SAW yang bersifat insidental
ini. Tanpa keimanan manalah mungkin kita dapat meyakini bahwa Rasulullah benar-benar
dijalankan oleh Allah SWT dengan seluruh jasad dan ruhnya. Sementara secara logika, jasad
normal tidaklah mungkin mencapai tempat sejauh itu. Belum lagi jika mempertimbangkan suhu
dan kepadatan ruangan yang dapat melelehkan jasad setiap saat.

Hanya dengan keimanan kita dapat meyakini bahwa Rasulullah telah di-isra’ mi’raj-kan oleh
Allah dengan jasad dan ruhnya. Bahwa perdebatan mengenai isra’ mi’raj adalah perdebatan yang
cukup menjemukan. Bagaimanakah kita membuktikan secara logika? Memang sekali lagi
hanyalah keimanan yang menolong.

Itulah mengapa Allah memulai firman tentang Isro’ ini dengan kata-kata yang teramat khas,
Maha Suci Allah. Karena saking susahnya dicerna inilah isra’ mi’raj menjadi sebuah peringatan
hari besar Islam.

Isra’ mi’raj menjadi sangat legendaris dan sangat dibutuhkan oleh umat Muslim untuk memompa
semangat dan keimanan mereka untuk meyakini kebesaran Allah SWT. Dengan peristiwa isra’
mi’raj, umat Islam senantiasa dituntut untuk menelusuri dan meneliti keagungan Allah.

Ketika orang-orang Barat saat ini sedang berada dalam keadaan yang menang secara duniawi.
Maka peringatan isra’ mi’raj adalah momentum yang tepat bagi umat Islam untuk mengejar
ketertinggalannya. Penelitian teknologi adalah hal yang mutlak diperlukan untuk mengejar
ketertingalan ini.
Allah SWT berfirman, ”Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)
penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan
kekuatan.” (QS. al-Rahman, 55:33)

Ayat ini menunjukkan bahwa mi’raj adalah sesuatu yang mungkin. Melintas batas cakrawala
adalah sesuatu yang dapat dilakuakn oleh manusia. Di mana Rasulullah SAW telah melewatinya
pada zaman yang masih sangat sederhana. Lalu apakah pada zaman yang telah canggih seperti
sekarang, kita akan berkesimpulan bahwa ini tidak mungkin?

Tentu saja tidak, kita mesti yakin bahwa manusia dapat saja terbang ke angkasa, bahkan jauh ke
luar atmosfer bumi. Hanya saja selama ini orang-orang non Muslim-lah yang kebetulan sedang
berkesempatan berusaha mewujudkannya. Sementara umat Muslim selama ini seakan belum
cukup terilhami oleh perjalanan suci Rasulullah Muhammad SAW dalam peristiwa isra’ mi’raj.

Semestinya perjalanan suci Rasulullah SAW ini dapat mengilhami perubahan pola pikir manusia
Muslim di bidang pengembangan ilmu dan teknologi saat ini. Termasuk adalah bagaimana kisah-
kisah perjalanan Rasulullah ini dapat mengilhami kita mengembangkan teknologi di daratan.

Kisah bagaimana panen yang selalu beruntun, para pemanen menua, hasil panenan yang baru
keluar seolah-olah belum pernah dituai, padahal hal ini berlaku berulang-ulang dalam tempo
yang sangat dekat. Ini adalah buah dari kerja keras yang berkesinambungan. Peristiwa simbolik
yang amat ajaib ini dinyatakan oleh Nabi sebagai panen atas jihad fi sabilillah mereka. Maka
tentu saja umat Muslim harus senantiasa berjihad fi sabilillah dalam setiap sudut hidup mereka.
Karena siapakah yang akan memanen hasilnya selain para pejihad ini? Meskipun tanpa
peperangan fisik konvensional.

Isra’ Mi’raj, Tonggak Teragung Keyakinan Umat
Kisah-kisah seputar isra’ mi’raj adalah kisah yang sudah mendarah daging dalam kehidupan
masyarakat Muslim Nusantara.

Isra’ mi’raj melahirkan sebuah perenungan tersendiri. Shalat sebagai oleh-oleh terbesar dari isra’
mi’raj Rasulullah SAW senantiasa merupakan barometer yang dapat dipertanggungjawabkan
dalam menengarai religiusitas masyarakat Muslim.

Namun tentu saja beberapa hal patut diberikan dalam pelaksanaan shalat dalam keseharian kita.
Sudahkah shalat kita khusyu’ hanya kepada Allah, hanya demi memperoleh keridhoan Allah dan
hanya membuat kita dirikan sebagai pengabdian seorang hamba kepada kekasih sejatinya?

Firman Allah, ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang
yang khusyu' dalam Shalatnya”, merupakan bukti bahwa shalat dapat membawa keberuntungan
bagi setiap individu dan masyarakat Muslim.

Sebaliknya orang-orang yang mengaku dirinya sebagi Muslim namun tidak memenuhi panggilan
shalat atau mendirikan shalat dengan rasa malas dan tidak tulus, tentu akan menerima adzab dari
Allah. Orang-orang seperti ini disebut sebagai orang munafik.

Mengapakah mereka disebut sebagai munafik? Firman Allah, ”Maka apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. al-Hajj,
22:46) cukup memberikan jawaban kepada kita.

Dalam kaitannya dengan isra’ mi’raj, Allah telah mengabarkan perjalanan Rasulullah ini dalam
beberapa redaksi al-Qur’an dan hadits. Maka menjadi cukup jelas bagi siapa pun yang
mempercayai kebenaran Rasulullah. Sementara jika tidak ingin mempercayainya, berarti tinggal
mengabaikan penglihatan dan pendengaran serta membutakan mata hati saja. Dan semua
menjadi sesuatu yang dianggap sia-sia. Artinya beribadah kepada Allah dianggap sebagai sebuah
kesia-siaan. Demikianlah orang-orang munafik selalu beranggapan. Padahal sebagai mukmin
yang bertaqwa dan penuh percaya diri seharusnya kita senantiasa menunjukkan bukti keimanan
dan ketaqwaan, terutama yang berupa shalat lima waktu.

Sehingga dalam keadaan apa pun, kita akan selalu mengingat Allah dalam sikap yang positif dan
berkepribadian Muslim yang kuat. Jika kita mengalami trauma atau kekecewaan, maka kepada

Allah-lah kita semestinya mengadu. Hal demikian senyatanya adalah sebuah hikmah yang
terindah dari isra’ mi’raj Rasulullah SAW. Sebagaimana firman Allah SWT, ”Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah dan kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh
kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan
shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalat.” (QS. Al-Ma’arij, 70:19-22)

Rasulullah SAW sendiri senantiasa mendirikan shalat ketika sedang menghadapi sebuah
problematika. “Rasulullah bila tertimpa suatu perkara yang berat maka beliau melakukan shalat.”
(HR. Abu Dawud, 1319). Dengan demikian , ini merupakan petunjuk bahwa shalat merupakan
salah santu kunci pemecahan masalah-masalah kehidupan, meskipun tentu saja secara tidak
langsung. Karenanya isra’ mi’raj kemudian menjdai suatu peristiwa teragung dalam sejarah
Islam.

Siti Fatimah Minta Penjelasan Rasulullah

Pada suatu hari, Sayyidina Ali RA masuk ke dalam rumah Rasulullah SAW bersama isterinya,
Siti Fatimah binti Rasulillah. Maka tatkala aku (Sayyidina Ali) dan isterinya telah dekat dengan
pintu, Rasulullah SAW segera menyapa mereka dengan ramah, ”Siapa kah yang berada di depan
pintu?”

Demi menerima sapa dari ayahandanya, baginda Rasulullah SAW, maka Siti Fatimah RA segera
menyahut dengan lembut, ”Kami ya Rasul, Anaknda bersama suami, Ali. Kami datang untuk
menghadap engkau ya Rasul”. Dari dalam rumah, Rasulullah segera menyahut pula, ”Baik
masuklah.”

Ketika Rasulullah SAW membuka pintu, tiba-tiba Ali dan Fatimah mendapati keadaan rasulullah
yang sedang menangis. Melihat hal; ini maka Sayyidina Ali RA segera menghaturkan salam
ta’dzim, ”Wahai Rasulullah, kami rela menjadi penebusmu, apakah gerangan yang menyebabkan
engkau menangis?”

Mendengar salam ta’dzim dari menantu dan puterinya ini, Rasulullah SAW segera beranjak
menyambut mereka sembari bersabda, ”Wahai kedua putera-puteriku, sesungguhnya aku telah
melihat pada malam Mi'raj, beberapa perempuan umatku sedang menerima siksa yang amat
sangat memprihatinkan.

Kondisi mereka benar-benar menyedihkan. Karena itulah aku masih selalu menangis bila
mengingat merekadalam keadaan yang tersangat tersiksa.”
Mendengar sabda Rasulullah SAW ini, lantas kedua puteri dan menantunya ini tampak sangat
sedih. Mereka pun kemudian melanjutkan pertanyaan, ”Ya, Rasulullah, bagaimanakah engkau
lihat akan keadaan mereka itu?”

Nabi pun bersabda, ”Telah aku lihat seorang perempuan yang tergantung dengan lidah terikat
sebagai tali gantungan sementara api neraka yang sangat panas dituangkan ke dalam leher
mereka.”

Mendengar pernyataan demikian, Sayyidah Fatimah segera berdiri menyambut Rasulullah seraya
menghaturkan sembah dan berkata, ”Wahai Rasul kekasih dan cahaya mataku, ceritakanlah
kepada kami mengapa mereka (perempuan-perempuan itu) sampai mendapat siksa demikian?”

Rasulullah SAW kemudian bersabda, ”Perempuan-perempuan akan mendapat siksaan demikian,
jika mereka adalah isteri-isteri yang mengingkari kepercayaan atau menyakiti suaminya dengan
berlaku serong.”

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel