filsafat umum
Tuesday, 12 March 2013
FILSAFAT UMUM
BULAN Februari 2002 bukan
bulan yang baik bagi Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair. Usai sidang
parlemen, dia menjadi bahan olok-olok para anggota parlemen.Blair menjadi
bulan-bulanan karena ketidakmampuannya merumuskan secara singkat dan sederhana
filsafat politik yang mendasari politik hariannya. Sandungan tersebut datang
dari anggota parlemen asal partainya sendiri-yang kebetulan bekas pengajar
filsafat di universitas. Insiden tersebut menyimpan satu pertanyaan. Apakah
politik harian membutuhkan inspirasi filsafat politik. Gus Dur pernah menjadi
bulan-bulanan saat memberi sedikit abstraksi filosofis-juridis di sidang
parlemen. Wacana akademis! Begitu olok-olok sebagian anggota parlemen waktu
itu. Dasar berpikir sebagian anggota parlemen waktu itu jelas. Politik harian
tidak membutuhkan filsafat politik. Politik harian membutuhkan retorika, bukan
logika. Raison d’etre-nya adalah pragmatisme. Politik praktis, begitu orang
awam menyebutnya.
Benarkah tesis yang mengatakan bahwa politik harian tidak
membutuhkan filsafat? Leo Strauss, filsuf politik asal Chicago, tidak
sependapat. Dia menyuarakan pentingnya pencerahan filosofis atas politik. Para
filsuf harus turun gunung mewejangi para politisi harian. Hanya dengan itu
politik harian bisa berbobot. Tidak semata karnaval kebodohan dan kemunafikan
yang memuakkan.
Filsuf ideal Straussian mesti bekerja sebagai bejana
pikiran bagi para politisi harian. Membantu merumuskan kebijakan-kebijakan
politik berbasiskan argumentasi filosofis yang kuat. Tidak sekadar mengikuti
common sense yang dangkal tak berdasar. Singkat cerita, politik harian harus
tunduk pada filsafat politik. Namun, tidak semua filsuf sepakat dengan Strauss.
Jonathan Wolff, seorang filsuf politik lainnya, menolak keterjalinan antara filsafat
politik dan politik harian. Filsafat politik, menurut Wolff, bukanlah
"hakim epistemik" bagi kebijakan politik. Ia ini dipaksakan, sebentuk
otoritarianisme kognitif menyembul. Dan ini tidak kondusif bagi perkembangan
atmosfer demokrasi.
Kalau filsafat politik tidak boleh turun tangan pada
persoalan politik harian, lalu apa tugas praksis para filsuf? Apakah mereka
cukup berpikir di menara gading, tidak menyentuh kehidupan sehari-hari? Atau mengelus dada saja bila
melihat kekacauan berpikir para politisi harian? Sikap-sikap seperti itu juga bukan
sesuatu yang positif.
PARA filsuf politik kontemporer mengambil sikap moderat.
Filsafat politik bukan lagi "hakim epistemik" bagi politik harian.
Perannya sekarang adalah pengatur lalu lintas yang merumuskan rambu-rambu bagi
percaturan politik yang fair.Ini tidak boleh diserahkan pada para politisi
harian. Karena begitu diserahkan, rambu-rambu yang dibuat semata-mata melayani
kepentingan the ruling party or parties. Inilah yang mendasari protes
partai-partai gurem terhadap aturan main pemilu yang disusun parlemen sekarang.
Demokrasi tidak bisa berjalan tanpa fairness dalam
proses-proses politik. Tak adanya pembatasan dan pengawasan terhadap dana
kampanye membuat partai-partai miskin jadi lemah posisinya dalam merebut hati
publik. Hanya partai-partai kaya mampu membiayai reklame-reklame prime time di
stasiun-stasiun TV raksasa. Kesempatan menjadi tidak setara untuk menjual
dagangan politik antarpartai. Demokrasi memberikan keleluasaan bagi berbagai
ideologi untuk hidup dan berkembang. Pada masyarakat tertutup-otoritarian,
hanya satu ideologi yang berhak hidup; yang lain harus tunduk dan turut. Hal
seperti itu tidak berlaku pada masyarakat terbuka-demokratis.
Dalam masyarakat terbuka menuntut kosongnya percaturan politik
dari apa yang disebut Rawls "kebenaran metafisik". Sebentuk kebenaran
yang mengabsolutisir dirinya dan menutup pintu komunikasi dan toleransi.
Perdebatan ideologis yang paling tajam, menurut Rawls, adalah soal keadilan.
Karena itu, filsafat politik Rawls mencoba merumuskan satu prosedur yang fair
guna menentukan prinsip keadilan yang bisa diterima semua pihak. Prinsip
keadilan yang bisa diterima baik oleh sayap kiri, kiri-tengah, maupun kanan.
Pluralisme bentuk kebenaran dalam masyarakat
terbuka-demokratis juga menggelitik filsuf politik lainnya bernama Habermas.
Filsuf politik ini memformulasikan apa yang disebutnya sebagai etika diskursus.
Etika diskursus adalah prosedur yang fair bagi pertarungan epistemik-etik
berbagai bentuk kebenaran demi mencapai konsensus.
Sama seperti Rawls, Habermas juga berbicara dalam bingkai
demokrasi. Bingkai yang tidak boleh dimuati satu pun kebenaran absolut.
Konkretnya begini. Satu kebijakan publik, misalnya, tak hanya diambil
berdasarkan satu dasar ideologis. Namun, harus
berdasarkan konsensus pihak-pihak ideologis yang berkepentingan.
Pengurangan subsidi BBM sangat brilian dari sudut pandang
ideologi neo-liberalisme. Efisiensi ekonomi menuntut absennya campur tangan
kekuasaan. Namun, ada prioritas nilai yang harus dipertimbangkan; misalnya,
apakah efisiensi mesti mengorbankan kualitas hidup sebagian besar masyarakat;
haruskah kalkulasi ekonomi meminggirkan hak sosial-ekonomi warga negara; atau
benarkah ada dampak langsung efisiensi perusahaan pada turunnya angka pengangguran.
Pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya kurang
diperhatikan para pengambil kebijakan.
Nyata
sekali terlihat bagaimana kebijakan pengurangan subsidi BBM sangat
mono-dimensional. Pihak-pihak yang berkepentingan tidak pernah dilibatkan.
Atau, kalau dilibatkan, hanya satu pihak dan itu pun belum tentu representatif.
Ini artinya ada
sesuatu yang unfair dalam percaturan politik di republik ini. Dengan kata lain, filsafat politik masih dibutuhkan.
SELAIN
merumuskan prosedur yang fair, filsafat politik juga berjasa memberi perspektif
baru atas kenyataan politik. Filsafat politik Foucault, misalnya, memberi kita
perspektif baru tentang kekuasaan yang berbeda dengan teoretisasi filosofis
sebelumnya. Foucault menggugat teoretisasi klasik yang memandang kekuasaan sebagai
hasil dari kontrak sosial dari individu-individu yang berkumpul dan
berkonsensus. Kekuasaan yang selalu disangkut-pautkan dengan negara sebagai
makro-politik.
Sebaliknya,
ia memandang bahwa kekuasaan dalam realitas jauh dari bentukan individu, tetapi
malah membentuk individu. Menjadikan individu sebagai tubuh-tubuh politik yang
senantiasa melakukan swa-pengawasan atas dirinya. Kekuasaan macam ini
memanifestasikan dirinya bukan hanya dalam negara, tetapi juga menyelusup masuk
dalam jejaring mikro-mikro politik, mulai dari keluarga sampai penjara.
Ini
adalah epistemologi baru (bahasanya Herry Priyono) dalam mempersoalkan kodrat
kekuasaan. Kalau
kekuasaan tidak lagi bersemayam di negara, maka target kontrol demokratis harus
berubah. Lembaga ekonomi, spiritual, sains, sampai pedagogi. Semuanya itu
adalah lembaga politis par excellence. Dan semua bentuk lembaga yang mengepung
individu secara politis, mestilah akuntabel.
Uraian ini menyisakan pertanyaan sekaligus gugatan. Bagaimana nasib filsafat
politik di republik ini. Karena kayaknya, kecenderungan skolastikal masih cukup
dominan di kalangan akademisi filsafat. Kerja filosofis sekadar membolak-balik
traktat tanpa mampu mengaitkannya dengan isu-isu keseharian. Sedangkan
demokrasi di republik ini masih compang-camping.
Politik harian, menurut hemat saya, masih membutuhkan
masukan prosedural dari para filsuf politik. Demokratisasi berjalan di tempat
tanpa terobosan-terobosan teoretisasi baru filsafat politik.
Politisi boleh mengatakan: "filsafat adalah filsafat
sementara politik adalah politik". Itu benar. Namun, kekeraskepalaan
keduanya tidak akan menghasilkan apa-apa. Keduanya harus menemukan titik temu. Para filsuf republik, mulailah bekerja!
KETIKA
harga minyak mulai rontok di tahun 1982, rezim Orde Baru berangsur-angsur
kehilangan otonomi fiskal. Sejak itu gerak ekonomi-politik Indonesia
mencari motor baru dalam rupa bisnis swasta dengan deregulasi sebagai instrumen
utama. Era deregulasi mulai di tahun 1983 mencakup keuangan, pajak, tarif, bea
cukai, perdagangan, investasi, pasar modal, perbankan, komunikasi, dan
sebagainya.
Apakah deregulasi baik atau buruk?
Ada baiknya ditangguhkan dulu debat pro dan kontra. Namun, sebagai uji coba,
baiklah mulai dari posisi pro: deregulasi secara keseluruhan (dan bukan
selektif) merupakan sesuatu yang sangat baik adanya.
Bila diringkas, deregulasi menunjuk
ke- bijakan pemerintah mengurangi/meniadakan aturan administratif yang
mengekang kebebasan gerak modal, barang, dan jasa. Dengan kebebasan gerak
produksi, distribusi, dan konsumsi modal, barang, serta jasa itu, volume
kegiatan bisnis swasta diharapkan melonjak. Dengan itu lanskap ekonomi Indonesia
juga tidak lagi bergantung pada uang minyak.
Deregulasi telah menjadi istilah teknis ekonomi dan
populer karena alasan ekonomi. Akan tetapi, penciutan istilah
"deregulasi" ke bidang ekonomi itu sangat menyesatkan. Deregulasi
pertama-tama bukan gagasan ekonomi, tetapi premis baru ketatanegaraan.
Premis baru
Isi premis baru ketatanegaraan itu mungkin bisa ditunjuk
dengan dua lapis argumen berikut. Lapis pertama, deregulasi berisi gagasan
bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya suatu negeri tak boleh lagi hanya
bergantung pada kekuasaan rezim yang sedang memerintah. Jadi, jatuh-bangun dan
hidup-matinya ekonomi, budaya, atau pendidikan di Indonesia tidak boleh lagi
hanya bergantung pada inisiatif pemerintah, entah itu rezim Soeharto atau
Susilo B Yudhoyono. Itulah mengapa deregulasi melibatkan pemindahan berbagai
inisiatif, dari pemerintah ke sektor-sektor nonpemerintah.
Sejak 1 Januari 1984, misalnya, metode "valuasi
pemerintah" (official assessment) dalam pengumpulan pajak diganti menjadi
"penghitungan diri" (self-assessment). Artinya, penghitungan pajak
tidak lagi dimulai oleh petugas pajak, tetapi oleh wajib pajak sendiri, lalu
petugas pajak melakukan crosscheck. Tentu perubahan itu ditujukan untuk sasaran
ekonomi, seperti efisiensi dan pembatasan kuasa petugas pajak bagi peningkatan
revenue dari pajak. Namun, implikasi praktis terhadap urusan fiskal ini
hanyalah konsekuensi dari gagasan lebih fundamental tentang deregulasi: bahwa
hidup-matinya Indonesia tidak boleh lagi bergantung hanya pada inisiatif dan
tindakan aparat pemerintah.
Lapis kedua, justru karena itu deregulasi juga menunjuk
gagasan baru bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya kondisi politik, ekonomi,
budaya, ataupun pendidikan di Indonesia juga tidak bisa lagi hanya menjadi
beban tanggungan pemerintah. Lugasnya, solusi atas masalah Indonesia juga
merupakan beban tanggungan sektor-sektor nonpemerintah. Lapis ini sejajar
dengan lapis pertama di atas. Andaikan "deregulasi" adalah sekeping
mata uang, pokok dalam lapis pertama dan kedua merupakan dua sisi dari satu
keping mata uang yang sama.
Dua lapis pengertian di atas mungkin terdengar aneh bagi
mereka yang mengartikan deregulasi hanya sebagai soal teknis, seperti
pengertian umum dalam alam pikir ekonomi dewasa ini. Namun, dalam
"republik refleksi", kita selalu butuh kembali ke prinsip paling
sederhana, yang kira-kira berbunyi begini: pengertian luas bukanlah bukti
validitas.
Dari pokok-pokok di atas mungkin segera tampak,
de-regulasi bukan berarti tidak-adanya regulasi, melainkan perluasan/pemindahan
locus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke self-regulation. Maka,
de-regulasi sesungguhnya berisi re-regulasi, dengan self sebagai
aktor-regulator alternatif. Istilah "self" bisa berupa individu
perorangan, bisa juga badan usaha bisnis/ perusahaan, dan bisa pula
pemerintahan lokal yang otonom.
Regulator alternatif
Apa dasar self bertindak sebagai aktor-regulasi
alternatif? Dasarnya adalah self-determination yang terungkap dalam kebebasan
dan kedaulatan pilihan individual. Tetapi masih perlu dikejar lanjut. Kalau
sumber daya pemerintah melakukan state-regulation adalah mandat, apa sumber
daya self-regulation? Jawab: pemilikan/kontrol atas berbagai sumber daya
(finansial, teknologis, fisik, informasi, material, dan sebagainya) yang diubah
menjadi capital. Itulah mengapa terjadi penerapan istilah "capital"
pada bidang-bidang seperti budaya (cf cultural capital), pengetahuan (cf
symbolic capital), dan lain-lain.
Dengan itu deregulasi melahirkan gejala baru, yaitu
kedaulatan dan kebebasan selera individual menjadi locus kekuatan regulatif
baru yang tidak kalah menentukan dibanding kekuatan regulatif pemerintah. Modelnya
adalah kinerja "kebebasan pilihan individual" dalam ekonomi
pasar-bebas (cf "saya bebas berbuat apa pun menurut selera saya dan selera
apa pun yang bisa saya beli"). Dalam arti tertentu bahkan bisa dibilang,
pemerintah sering tinggal menjadi penjaga legalitas, tanpa sepenuhnya mampu
menjadi regulator.
Ambillah acara di layar televisi
sebagai contoh. Sudah lama meluas keluhan tentang rendahnya mutu acara televisi
yang dikuasai program gosip, klenik, jingkrak-jingkrak, badut-badutan, serta
histeria idola. Pemerintah tidak bisa lagi menjadi regulator acara televisi
tanpa dituduh otoriter. Mungkin para programmers acara televisi bilang
acara-acara itulah demand pemirsa. Tetapi karena klaim itu tidak ada sebelum
programmers menayangkan acara-acara tersebut, dengan lugas bisa dikatakan
regulatornya adalah corak selera para programmers televisi. Kemudian muncul
apologi, misalnya "bukankah pepatah Romawi pun mengingatkan bahwa manusia
tidak hanya membutuhkan roti, tetapi juga komedi?" (Tajuk Kompas, 8/9/2004). Dalih itu
menggelikan karena soalnya justru sebagian besar acara televisi berupa
"komedi". Tambahan lagi, pepatah itu datang dari kaisar seperti Nero
dan Commodus sebagai siasat meninabobokan warga Roma dengan orgi darah di
Colosseum.
Sekali lagi, de-regulasi bukan
pengha- pusan regulasi, tetapi re-regulasi menurut selera pribadi. Dengan itu
kekuatan-regulatif penentu corak kehidupan publik bukan lagi hanya
daya-regulatif pemerintah, tetapi juga daya-regulatif kebebasan selera/pilihan
individual. Pokok sederhana ini punya
implikasi sangat jauh.
Etika
deregulasi
Bila
deregulasi berisi premis hidup-matinya negeri ini tak boleh lagi tergantung
hanya pada pemerintah, tentu itu juga berarti hidup-matinya negeri ini tidak
boleh lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Segera tampak deregulasi
pertama-tama bukan urusan teknis ekonomi, tetapi etika baru manajemen
masyarakat. Dan itu berlaku baik untuk bidang ekonomi, budaya, pendidikan,
sosial, maupun politik. Jadi, kita mesti pro atau kontra deregulasi? Dua pokok
berikut ini mungkin bertentangan dengan paham tradisional yang luas diyakini,
tetapi semoga ada gunanya diajukan.
Pertama,
andaikan Anda penentang gigih deregulasi. Posisi kontra ini salah satunya
melibatkan penolakan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari
state-regulation ke self-regulation. Anda mungkin dituduh mendukung
otoritarianisme, tetapi tuduhan itu bisa diabaikan. Salah satu agenda pokok
penganut posisi kontra deregulasi lalu adalah memastikan agar gerakan civil
society mengoreksi dan memberdayakan kapasitas pemerintah sebagai badan
regulator yang baik karena pemerintah dilihat sebagai satu-satunya penanggung
jawab hidup-matinya negeri ini. Tetapi, agenda ini tidak lebih dari meneruskan
teriakan-teriakan kita selama ini dan deregulasi lalu juga kehilangan arti.
Kedua, andaikan Anda penuntut gigih deregulasi. Posisi
pro ini berisi kesetujuan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari
state-regulation ke self-regulation. Implikasi utamanya, civil society
tidak-bisa-tidak berfokus pada gerakan memastikan agar sektor-sektor
nonpemerintah juga menjadi aktor-regulator yang baik karena self-regulation
berarti pemerintah bukan lagi satu-satunya penanggung jawab hidup-matinya
negeri ini. Lugasnya, persis dari logika-internal deregulasi, sektor-sektor
nonpemerintah itu kini juga tidak-bisa-tidak menjadi penanggung jawab
hidup-matinya negeri ini. Itu berlaku baik bagi sektor bisnis, media, maupun
perguruan tinggi, dari soal acara televisi, rusaknya gedung sekolah, busung
lapar, sampai keluasan korupsi.
Apa yang terjadi bila sektor-sektor nonpemerintah
menuntut deregulasi seluasnya, tetapi membebankan semua hanya kepada pemerintah
dan juga tidak mau ikut menjadi solusi atas labirin masalah Indonesia? Itulah
yang rupanya sedang terjadi. Deregulasi lalu tidak lebih dari siasat para
pelaku sektor-sektor nonpemerintah untuk menjadi free riders di negeri ini.
Free rider kira-kira berarti "penumpang yang tidak membayar". Maka
tidak perlu kaget bila para programmers televisi merasa tidak punya urusan
dengan pendidikan kultural warga Indonesia. Tak mengherankan pula bila para bos
perusahaan tambang merasa tidak punya urusan dengan kehancuran lingkungan
seperti di Pantai Buyat.
Kita bisa meratapi atau merayakan deregulasi, tetapi itu
masih jauh dari memahami bahwa deregulasi melibatkan agenda ketatanegaraan yang
lebih mendalam daripada sekadar perkara efisiensi ekonomi.
REPUBLIK kekerasan. Begitu mungkin sebutan yang cocok
bagi republik tercinta ini. Sejarahnya disesaki siklus penundukan, kekerasan,
darah, dan korban. Pelbagai peristiwa kekerasan datang silih berganti.
Pembantaian kader PKI tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok, penyerbuan markas
PDI, tragedi Mei 1998, konflik Ambon, peristiwa Semanggi, dan sebagainya.
Semuanya berlalu tanpa jejak yang berarti. Tersapu politik yang sudah demikian
terstruktural oleh penundukan dan kekerasan. Politik yang berseberangan dengan
hidup, kebebasan, dan kebaikan. Sesuatu yang hanya ada satu level di atas
tribalisme kuno. Padahal, sejarah sebenarnya mengajarkan bagaimana berpolitik
yang santun. Di masa Yunani Kuno, misalnya. Dalam polis (negara-kota) Atena,
politik dijalankan tanpa kekerasan. Politik kekerasan dicibir sebagai politik
tribal kaum barbar yang mengedepankan otot ketimbang otak. Para politisi Atena
bekerja dengan persuasi, bukan koersi. Kerja yang diwadahi sebuah ranah publik.
Ranah tempat segala urusan publik dibicarakan secara terbuka, bebas, dan
rasional.
POLITIK sebagai proses deliberasi publik sendiri adalah
persimpangan dalam sejarah politik. Momen bersejarah saat publik untuk pertama
kali dilibatkan dalam proses politik yang rasional dan sehat. Proses ketika
kebijakan politik tidak lagi diputuskan secara privat. Bukan seperti keputusan
seorang ayah menyekolahkan anaknya di sekolah ternama. Dengan kata lain, politik bukan
keputusan sepihak, ia membutuhkan legitimasi publik. Sebuah politik yang
santun, meminjam istilah Dr Haryatmoko.
Ujian tengah semester bagi politik yang santun adalah
bangkitnya neotribalisme dalam berbagai formatnya. Politik yang kembali menyempit dalam
ruang-ruang privat tak berjendela. Keputusan diambil sepihak dengan
membeku-matikan keterlibatan publik. Ranah publik diratakan dan
prinsip-prinsip, seperti kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas, dicampakkan
jauh-jauh dari politik. Ini yang terjadi semasa rezim Orde Baru. Rezim
neotribalisme yang bekerja begitu halus membungkam deliberasi publik. Kita
masih bisa membaca beberapa semiopolitika neotribalisme Orde Baru. Pertama,
politik diatur oleh doktrin tunggal yang mengurusi segalanya mulai dari urusan
privat sampai publik. Kedua, akuntabilitas tubuh-tubuh politik menjadi kebal
dari skrutinisasi publik. Ketiga, mekanisme penundukan menyebar di semua lini
kehidupan: ekonomi, sosial, budaya, dan religi. Ketiganya berakar dari sebuah
kebenaran sederhana: absennya deliberasi publik oleh proses penundukan halus
yang menyerang kesadaran sosial secara simbolik.
Serangan simbolik paling halus adalah lewat pranata
hukum. Serangan ini berpangku pada konsepsi umum positivisme hukum yang meleburkan
moral dan hukum. Filsafat yang beranggapan bahwa hukum sendiri adalah sebuah
legitimasi moral yang matang. Dengan kata lain, segalanya pasti beres secara
moral asal konstitusional. Bertolak dari lapisan kesadaran yang mengental
secara sosial ini, pelbagai produk perundang-undangan yang melegitimasi
kekerasan dan penundukan dirumuskan. Dari yang paling nyata (UU Antiterorisme)
sampai paling halus (UU Sisdiknas). Semuanya adalah kerja diam-diam yang
sedikit demi sedikit menggerus hak-hak dasar warga negara.
POLITIK yang santun mensyaratkan seni berpolitik yang
santun pula. Sayang, seni berpolitik republik ini berbicara lain. Seni
berpolitik saya tipologikan menjadi dua. Pertama, seni berpolitik utilitaris.
Seni berpolitik ini memandang segala sesuatu dari kacamata efektivitas. Ia
memilah-milah mana isu yang strategis dan mana yang tidak. Apakah satu isu bisa
memuluskan jalan ke singgasana kekuasaan atau tidak. Semuanya adalah soal
polling, tak lebih! Dan, tampaknya pembelaan korban, rekonsiliasi, dan
rehabilitasi hak-hak dasar bukan komoditas yang layak jual di pasar politik.
Tak heran mengapa pelbagai rekomendasi humanitarian dari kelompok-kelompok
sipil selalu saja mentah di tengah jalan. Kelompok-kelompok politik lebih
berfokus pada isu strategis yang kondusif bagi aksentuasi kepentingan
masing-masing.
Kedua adalah seni berpolitik futuris. Seni berpolitik yang selalu
ingin meratakan masa lalu. Ia berpijak pada janji-janji keesokan: pertumbuhan
ekonomi, kesejahteraan sosial, tinggal landas, dan sebagainya. Semuanya
berkisar seputar harapan-harapan, bukan kelukaan. Politik futuris selalu
mengatakan, "Marilah kita lupakan masa lalu untuk bersama- sama membangun
bangsa ini ke depan." Masa lalu adalah sumber konflik yang harus dikubur dalam-dalam. Semuanya
cukup diselesaikan lewat kompromi elite. Rekonsiliasi menjadi sekadar
seremonial yang kehilangan jejak pada ingatan sosial masyarakat.
Etika politik yang mendasari politik utilitaris dan
futuris adalah etika yang berporos pada sektarianisme yang kuat. Etika yang
membuat politik menjadi sekadar ajang perjuangan kepentingan kelompok yang
menghamba pada instrumentalisasi nalar. Yang ada di pikiran tiap kelompok
adalah bagaimana mengamankan kepentingannya sendiri dengan segala cara.
Kebaikan dikacaukan dengan kesuksesan. Kekuasaan selalu dilihat sebagai
konspirasi untuk menghabisi kelompok dengan kepentingan berbeda
Dua seni berpolitik itu saya tengarai masih bercokol kuat
di republik ini. Dunia politik yang masih keruh oleh pertikaian dan perebutan kekuasaan.
Dunia yang kehilangan panduan etika sosial yang ketat, kecuali etika
utilitaris, di mana tujuan mengamini sarana. Atmosfer politik menjadi keruh
oleh kecemasan, kecurigaan, dan kehendak untuk berkuasa. Sungguh sebuah iklim
yang amat tidak kondusif bagi tumbuhnya demokrasi yang matang dan sehat.
Demokrasi yang beralaskan sebuah etika sosial dan kesantunan politik. Sistem
yang benar-benar menjamin lestarinya hak-hak dasar manusia dari terkaman
kekuasaan.
Pertanyaan berikut: etika sosial macam apa yang harus dibangun?
Milan Kundera, novelis Perancis kelahiran Ceko, mengatakan sesuatu tentang
persahabatan. Persahabatan baginya adalah sesuatu yang lebih sublim ketimbang
ras, agama, atau ideologi: sebuah relasi yang nonsektarian. Persahabatan adalah
sebuah etika yang beralaskan saling pengakuan satu sama lain sebagai subyek
moral yang setara. Etika yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip metasektarian,
seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
Bila persahabatan ditarik secara politis, maka hasilnya
adalah apa yang disebut Hannah Arendt sebagai etika solidaritas. Sebuah etika
yang menjamin bahwa politik tidak sekadar dijadikan sarana perjuangan
primordialitas, tetapi penjamin kebaikan untuk semua. Namun, solidaritas di
sini harus dibedakan dengan nilai- nilai, seperti kasih, perhatian, simpati,
dan sebagainya. Semua itu masih dalam lingkup privat. Dalam lingkup publik,
nilai-nilai itu harus mengalami transformasi politik lewat ranah publik.
Cinta dalam ranah privat bisa amat sektarian. Seorang
ayah bisa demikian mencintai anaknya hingga melakukan apa pun demi kesuksesan
anaknya. Seorang radikalis bisa demikian mengasihi kelompoknya hingga rela
mengorbankan nyawanya lewat aksi bom bunuh diri. Etika solidaritas jauh dari
kedua contoh itu. Etika solidaritas dalam politik mendorong cinta pada sebuah
dimensi baru. Dimensi publik. Mencintai adalah melihat yang lain bukan sebagai
musuh atau obyek ideologis, tetapi sebagai subyek politik yang setara.
Mencintai juga berarti memberi kesempatan bagi semua perspektif untuk masuk
dalam sebuah diskursus publik (ngambang).
ETIKA solidaritas adalah sarana sekaligus hasil sebuah
ranah publik yang sehat. Disebut sarana karena melaluinya ranah publik menjadi
sungguh-sungguh publik, bukan sekadar ajang perjuangan kepentingan jangka pendek.
Dalam hal ini, ranah publik berfungsi mendesektarianisasi nilai-nilai privat.
Di lain pihak, ranah publik yang sehat menghasilkan etika solidaritas yang
kuat. Saat segala urusan dibicarakan secara terbuka dalam semangat kebersamaan
guna menjamin kesetaraan dan kebebasan, lambat laun sebuah bangunan etika
sosial yang kokoh akan berdiri.
Persoalannya, bagaimana menstrukturkan etika solidaritas
dalam tubuh politik bangsa ini. Tubuh yang diwarisi rezim sebelumnya dalam
kondisi memprihatinkan: koyak oleh politik kekerasan dan penundukan. Politik
yang acuh terhadap hak-hak dasar manusia. Itu semua membuat perubahan mendasar
dalam struktur politik bangsa ini bukan hal sepele. Paling tidak ada dua hal
yang menjadi kunci perubahan. Pertama, struktur itu sendiri dan kedua, karakter
politisi. Pertama bersifat sosial, sedang kedua individual. Keduanya berbeda,
namun saling bertautan.
Menurut Giddens, struktur adalah kebiasaan yang berulang
dan membuat pola. Hukum adalah salah satu sarana sekaligus hasil sebuah struktur.
Dalam kontens sarana, bila ditengok produk perundang-undangan kita, masih
banyak yang belum bisa lepas dari struktur penundukan. Banyak undang- undang
yang bisa dijadikan justifikasi untuk perampasan hak- hak dasar manusia. Selain
itu, fairness dalam politik masih belum tertampung sempurna dalam
undang-undang. Undang- undang masih menjadi obyek sasaran manipulasi ideologis.
Dengan kata lain, undang-undang masih dijadikan sarana memantapkan dominasi
ideologis satu kelompok atas yang lain. Ini
tentu amat tidak kondusif bagi moralitas yang berporos pada solidaritas.
Perubahan menuntut orang berkarakter kuat. Sebuah
struktur, sekuat apa pun ia, akan berubah saat banyak orang berani mengambil
jarak dari kesadaran dominan. Masalahnya, struktur bisa begitu dominan sehingga
orang-orang berkarakter kuat pun bisa larut di dalamnya. Banyak kisah bagaimana cendekiawan yang semula terkenal
vokal, kini menjadi the most loyal spokeperson of authority. Padahal, seperti
ditegaskan Edward Said, fungsi pokok cendekiawan adalah berbicara kebenaran di
hadapan kekuasaan. Ini membuat kita bertanya-tanya seputar maraknya cendekiawan terjun ke
politik. Apakah mereka akan membuat perubahan atau lenyap dalam pusaran habitus
yang sudah mengendap lama.
Pendidikan menjadi instrumen strategis guna membangun
karakter politik nonsektarian. Sayang, ia pun menjadi sasaran strategis
kelompok sektarian untuk menancapkan kukunya. Pendidikan yang seharusnya
menghasilkan insan yang memiliki daya pertimbangan otonom, menjadi ajang
indoktrinasi ideologis yang tertutup bagi nilai-nilai solidaritas. Ini membuat
perbincangan mengenai pendidikan kewarganegaraan kembali relevan. Bukan
semata-mata pendidikan teknis mengenai tata cara penyelenggaraan negara. Namun,
pendidikan yang menanamkan moral politik yang berpijak pada solidaritas,
kebebasan, dan keadilan. Pendidikan yang akan menghasilkan insan-insan yang
tidak saja melek politik, namun mampu menjalankannya secara etis dan rasional. Kader-kader bangsa yang tahu bagaimana berpolitik secara
santun.