Pemanfaatan Sumber Belajar Untuk Mendukung Resources-Based Learning Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan


Pemanfaatan Sumber Belajar

PEMANFAATAN SUMBER BELAJAR UNTUK MENDUKUNG RESOURCES-BASED LEARNING SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN

Tafrikhuddin[1]

A.  Pendahuluan

Sumber belajar yang beraneka ragam di sekitar kehidupan peserta didik, baik yang didesain maupun yang tidak didesain belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam pembelajaran. Kecenderungan sebagian besar peserta  didik dalam pembelajaran mereka hanya memanfaatkan buku teks dan pendidik sebagai sumber belajar utama.[2]
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pendidikan tidak mungkin terselenggara dengan baik bilamana para pendidik maupun para peserta didik tidak didukung oleh sumber belajar yang diperlukan untuk penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang bersangkutan.
Istilah sumber belajar (learning resource), umumnya diketahui hanya masuk pada perpustakaan dan buku. Padahal secara tidak terasa apa yang digunakan dalam pembelajaran dan benda tertentu adalah termasuk sumber belajar. Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang, maupun wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi, sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu.
Secara garis besar, terdapat dua jenis sumber belajar yaitu: (1) sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yakni sumber belajar yang secara khusus dirancang atau dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal; (2) sumber belajar yang dimanfaatkan (learning resources by utilization), yakni sumber belajar yang tidak didesain khusus untuk keperluan pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan, dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.[3] 

B.  Pembahasan

1.    Hakikat Sumber Belajar
Sumber belajar ditetapkan sebagai informasi yang disajikan dan disimpan dalam berbagai bentuk media, yang dapat membantu peserta didik dalam belajar sebagai perwujudan dari kurikulum. Bentuknya tidak terbatas, apakah dalam bentuk cetakan, video, format perangkat lunak, atau kombinasi dari berbagai format yang dapat digunakan oleh pendidik ataupun peserta didik. Sumber belajar mencakup apa saja yang digunakan untuk membantu tiap orang untuk belajar dan menampilkan kompetensinya. Dalam buku The Definition of Educational Technology disebutkan bahwa sumber belajar meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan sebagaimana pernyataan berikut ini.
Learning resources (for educational technology)-all of the resources (data, people, and things) which may be used by the learner in isolation or in combination, usually in an informal manner, to facilitate learning; they include messages, people, materials, devices, techniques, and settings.[4]

Ditinjau dari segi pendayagunaannya, AECT membedakan sumber belajar menjadi dua macam, yaitu:
1)   Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design).
Yakni sumber belajar yang dirancang untuk digunakan dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Sumber belajar yang dirancang tersebut dapat berupa buku teks, buku paket, slide, film, video dan sebagainya yang memang dirancang untuk membantu mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Sumber belajar ini secara khusus dirancang atau dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.
2)   Sumber belajar yang dimanfaatkan (learning resources by utilization).
Yakni sumber belajar yang tidak dirancang untuk membantu mencapai tujuan pembelajaran. Jenis ini banyak terdapat di sekeliling kita dan jika suatu saat kita membutuhkan, maka kita tinggal memanfaatkannya. Contoh sumber belajar jenis ini adalah tokoh masyarakat, pasar, museum, dan sebagainya. Sumber belajar yang tidak dirancang khusus ini untuk keperluan pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan, dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Kegiatan belajar dapat diarahkan oleh diri sendiri (self directed learning) sehingga yang mengatur sumber belajar adalah diri sendiri bukan agent atau orang lain.
Dari kedua macam jenis sumber belajar tersebut di atas, yakni sumber belajar yang dirancang dan sumber belajar yang dimanfaatkan, sumber belajar dapat berbentuk sebagai berikut.
1)   Pesan, yaitu informasi yang disampaikan oleh komponen lain, dapat berbentuk ide, fakta, makna, dan data. Contohnya: materi bidang studi seperti sejarah Yunani, hukum Ohm, hasil-hasil bumi, sistem parlemen pemerintahan, perubahan kata kerja”to be”.
2)   Orang, yaitu orang-orang yang bertindak sebagai penyimpan data atau menyalurkan pesan. Contohnya: pendidik, peserta didik, pelaku, nara sumber.
3)   Bahan, yaitu barang-barang (lazim disebut media atau perangkat lunak ”software”) yang biasanya berisikan pesan untuk disampaikan dengan menggunakan peralatan, kadang-kadang bahan itu sendiri sudah merupakan bentuk penyajian. Contohnya: transparansi, slides, film strip, film 16 mm, film 8 mm, video tape, rekaman, tape audio, bahan pengajaran terprogram, program pengajaraan dengan menggunakan komputer, buku, jurnal.
4)   Peralatan, yaitu barang-barang (lazim disebut perangkat keras “hardware”) digunakan untuk menyampaikan pesan yang terdapat pada bahan. Contohnya: Overhead projector (OHP), proyektor slide, proyektor filmstrip, proyektor film 16 mm, proyektor film 8 mm, perekaman video tape, televisi, VCD/DVD, radio, perekaman tape, mesin penyimpan informasi, mesin belajar, mesin tulis dilengkapi suara, komputer.
5)   Teknik, yaitu langkah-langkah tertentu dalam menggunakan bahan, alat, tempat dan orang untuk menyampaikan pesan. Contohnya: komputer alat bantu pengajaran, pengajaran terprogram, simulasi, permainan, studi eksplorasi, metode bertanya, studi lapangan, team teaching, pengajaran individual, belajar mandiri, belajar kelompok, ceramah, diskusi.
6)   Lingkungan, yaitu tempat peserta didik menerima pesan. Contohnya: lingkungan fisik meliputi gedung sekolah, pusat bahan pembelajaran, perpustakaan, studio, ruang kelas, auditorium. Sedangkan lingkungan nonfisik meliputi penerangan, sirkulasi udara, ruang kedap suara.[5]  

2.    Pengelolaan Sumber Belajar
Pada hakikatnya pengembangan sumber belajar bertujuan untuk membantu belajar peserta didik. Agar sumber belajar dapat dimanfaaatkan secara optimal oleh pengguna, sumber belajar perlu dikelola dalam suatu pusat yang biasa disebut dengan Pusat Sumber Belajar atau disingkat PSB. Beberapa langkah mengembangkan pusat sumber belajar antara lain: (1) menentukan struktur organisasi pusat sumber belajar; (2) menentukan fungsi dan tugas pusat sumber belajar; (3) menentukan kualifikasi personalia yang diperlukan untuk mengelola pusat sumber belajar; (4) menentukan cara pembentukan kelompok  belajar yang akan memanfaatkan pusat sumber belajar.[6]
Kegiatan pengembangan desain pembelajaran melibatkan banyak tenaga, sumber dana, dan waktu. Sehubungan dengan itu, prinsip-prinsip manajemen perlu diterapkan dalam kegiatan pengembangan desain pembelajaran. Pengelolaan dimaksud meliputi pengelolaan organisasi dan pengelolaan personalia. Pengelolaan organisasi meliputi identifikasi tugas dan fungsi, menentukan hubungan antar tugas dan fungsi (hubungan vertikal dan horizontal). Pengelolaan personalia meliputi tugas pengangkatan, pelatihan, penempatan, promosi, dan pemberhentian.[7]
Definisi Pusat Sumber Belajar adalah merupakan suatu tempat pengolahan dan pengembangan sumber-sumber belajar dengan tujuan membantu atau memberikan fasilitas belajar manusia. Sumber belajar di sini dapat diklasifikasikan sebagai pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan yang digunakan peserta didik dalam belajar baik yang digunakan secara terpisah maupun secara kombinasi, sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajarnya.[8]  
Tucker mendefinikan pusat sumber belajar dengan istilah media center, dengan pengertian suatu departemen yang memberikan fasilitas pendidikan, latihan, dan pengenalan melalui produksi bahan media (seperti slide, transparansi overhead, filmstrip, videotape, film 16 mm, dan lain-lain) dan pemberian pelayanan penunjang (seperti sirkulasi peralatan audiovisual, penyajian program-program video, pembuatan katalog, dan pemanfaatan pelayanan sumber-sumber belajar pada perpustakaan).[9]
Dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai berikut.
(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
(2) Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Peraturan pemerintah yang mengatur tentang penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yaitu Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 19  Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan  yang mengatur standar sarana dan prasarana sebagai berikut.
(1) Setiap sarana pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
(2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berekreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Tujuan dari Pusat Sumber Belajar adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan proses belajar mengajar melalui pengembangan sistem instruksional. Hal ini dilaksanakan dengan menyediakan berbagai macam pilihan untuk menunjang kegiatan kelas tradisional dan untuk mendorong penggunaan cara-cara yang baru (nontradisional), yang paling sesuai untuk mencapai tujuan program akademis dan kewajiban-kewajiban institusional yang direncanakan lainnya.[10]  
Adapun fungsi Pusat Sumber Belajar adalah sebagai berikut.
1)   Fungsi pengembangan sistem instruksional.
Fungsi ini menolong lembaga dan pendidik secara individual dalam membuat rancangan dan pemilihan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses belajar mengajar. Fungsi ini meliputi perencanaan kurikulum, identifikasi pilihan program instruksional, seleksi peralatan dan bahan, perkiraan biaya, penataran tentang pengembangan sistem instruksional bagi staf pengajar, perencanaan program, prosedur evaluasi, dan revisi program.
2)   Fungsi informasi.
Ada beberapa macam sumber informasi seperti pusat komputer, bahan bacaan, radio, televisi, perorangan, lembaga, dan sebagainya. Jika informasi yang diperlukan hanya sedikit dan yang memerlukannya juga sedikit, maka bahan informasinya dapat disimpan dalam satu file. Jika lebih banyak, maka perlu dibentuk perpustakaan lengkap dengan katalognya, dan jika lebih banyak lagi harus menggunakan komputer.
3)   Fungsi pelayanan media.
Fungsi ini berhubungan dengan pembuatan rencana program media dan pelayanan pendukung yang dibutuhkan oleh pendidik dan peserta didik, yang meliputi: sistem penggunaan media untuk kelompok besar, sistem penggunaan media untuk kelompok kecil, fasilitas dan program belajar sendiri, pelayanan perpustakaan media/bahan pengajaran, pelayanan pemeliharaan dan penyampaian, pelayanan pembelian bahan-bahan dan peralatan.
4)   Fungsi produksi.
Fungsi ini berhubungan dengan penyediaan materi atau bahan instruksional yang tidak dapat diperoleh melalui sumber komersial, yang meliputi: penyiapan karya seni asli untuk tujuan instruksional, produksi transparansi untuk OHP, produksi fotografi (slide, filmstrip, foto, dan lain-lain), pelayanan reproduksi fotografi, pemrograman, pengeditan, dan reproduksi rekaman pita suara, pemrograman, pemeliharaan, dan pengembangan sistem televisi di kampus.
5)   Fungsi administrasi.
Fungsi ini berhubungan dengan cara-cara bagaimana tujuan dan prioritas program dapat tercapai yang meliputi: supervisi personalia untuk media, pengembangan koleksi media untuk program pengajaran, pengembangan spesifikasi pendidikan untuk fasilitas baru, pengembangan sistem penyampaian, pemeliharaan kelangsungan pelayanan produksi bahan pengajaran, penyediaan pelayanan untuk pemeliharaan bahan, peralatan, dan fasilitas.[11]  

3.    Pemanfaatan Sumber Belajar
Dalam pemanfaatan sumber belajar, pendidik mempunyai tanggung jawab membantu peserta didik agar belajar lebih mudah, lebih lancar, dan lebih terarah. Oleh sebab itu, pendidik dituntut untuk memiliki kemampuan khusus yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber belajar.
Pendidik harus mampu melakukan hal-hal sebagaimana berikut: (1) menggunakan sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari; (2) mengenalkan dan menyajikan sumber belajar; (3) menerangkan peranan berbagai sumber belajar dalam pembelajaran; (4) menyusun tugas-tugas penggunaan sumber belajar dalam bentuk tingkah laku; (5) mencari sendiri bahan dari berbagai sumber; (6) memilih bahan sesuai dengan prinsip dan teori belajar; (7) menilai keefektifan penggunaan sumber belajar sebagai bagian dari bahan pembelajarannya; dan (8) merencanakan kegiatan penggunaan sumber belajar secara efektif.[12]
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan alam sekitar sebagai sumber belajar, Science, Richarson mengemukakan bahwa Science necessarily begins in the environment in which we live. Consequently the students study of science should heve this orientation. Dari alam sekitar peserta didik dapat dibimbing untuk mempelajari berbagai macam masalah kehidupan. Akan tetapi pemanfaatan alam sebagai sumber belajar sangat tergantung pada pendidik. Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi usaha pemanfaatan alam sekitar sebagai sumber belajar, yaitu: (1) kemauan pendidik; (2) kemampuan pendidik untuk dapat melihat alam sekitar yang dapat digunakan untuk pembelajaran; dan (3) kemampuan pendidik untuk dapat menggunakan sumber alam sekitar dalam pembelajaran.[13]

4.    Perbedaan Pendidikan dan Belajar
a.    Pendidikan
Terdapat perbedaan konsep antara istilah pendidikan dan belajar. Pendidikan dapat dilihat sebagai bagian dari belajar. John A. Laska membuat sebuah perbedaan yang membantu antara belajar dan pendidikan ketika ia mendefinikan pendidikan sebagai usaha yang dirancang secara sengaja oleh pebelajar atau orang lain untuk mengontrol (membimbing, mengarahkan, mempengaruhi, atau mengatur) situasi belajar agar mencapai hasil (tujuan) belajar yang diinginkan. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Knight sebagai berikut.
Education may be seen as a subset of lerning. John A. Laska made a helpful distinction between learning and education when he defined education as “ the deliberate attempt by the learner or by some-one else to control (or guide, or direct, or influence, or manage) a learning situation in order to bring about the attainment of a desired learning outcome (goal).[14]

Pengertian pendidikan dalam Bab I Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah sebagai berikut.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Adapun unsur-unsur yang secara esensial tercakup dalam pengertian pendidikan adalah sebagai berikut.
1)   Dalam pendidikan terkandung pembinaan (pembinaan kepribadian), pengembangan (pengembangan kemampuan-kemampuan atau potensi-potensi yang perlu dikembangkan), peningkatan (misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak tahu tentang dirinya menjadi tahu tentang dirinya), dan tujuan (ke arah mana peserta didik diharapkan dapat mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin).
2)   Dalam pendidikan secara implisit terjalin interaksi antara dua pihak, yaitu pihak pendidik dan pihak peserta didik, yang di dalam hubungan itu berlainan kedudukan dan peranan setiap pihak, akan tetapi sama dalam hal dayanya, yaitu saling mempengaruhi, guna terlaksananya proses pendidikan (transformasi pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan) dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan.
3)   Pendidikan adalah proses sepanjang hayat dan perwujudan pembentukan diri manusia seutuhnya dalam arti pengembangan segenap potensi dalam pemenuhan semua komitmen manusia sebagai individu, sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk Tuhan. Jadi pendidikan berbeda dengan pelatihan (training) yang spesifik dan parsial.
4)   Aktivitas pendidikan dapat berlangsung dalam “social setting”, yaitu dalam keluarga, sekolah (perguruan) dan masyarakat, yang didukung “instrumental input”.[15]
John Dewey dalam bukunya yang berjudul Democracy and Education  mengatakan bahwa: “Education is a constant reorganizing or reconstructing of experience”.[16] Pendidikan adalah reorganisasi atau rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pada dasarnya pendidikan bertugas membina atau mengembangkan manusia. Artinya, manusia sebelum berada dalam proses penyadaran diri melalui pendidikan belum paripurna kemanusiaannya. Selanjutnya Dewey mengatakan sebagai berikut.
Since growth is the characteristic of life, education is all one with growing; it has no end beyond itself. The criterion of the value of school education is the extent in which it creates a desire for continued growth and supplies means for making the desire effective in fact.[17]

Karena pertumbuhan adalah karakteristik kehidupan, maka pendidikan adalah satu dengan pertumbuhan; pendidikan tidak memiliki tujuan di luar pertumbuhan. Nilai pendidikan sekolah adalah perluasan di mana sekolah itu menciptakan keinginan untuk pertumbuhan selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sekolah adalah untuk menumbuhkan keinginan pertubuhan selanjutnya, karena pendidikan adalah pertumbuhan. Pendidikan akan menjadi kekuatan pendorong secara efektif dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Pendapat yang lain terkait dengan pengertian pendidikan dikemukakan oleh Muhadjir yang menyimpulkan bahwa pendidikan adalah upaya terprogram untuk mengantisipasi perubahan sosial oleh pendidik pribadi, membantu peserta didik dan satuan sosial berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik dengan cara yang normatif juga baik[18]. Duke & Hinzen dalam Journal Development mengatakan sebagai berikut.
The national and international development agenda looks at education as an important tool for transformation and change. Within education most attention is given to schooling and the wider formal sector of colleges and universities. Much less attention and still less resources go to youth and adult learning, and the non-formal education sector. Lifelong learning systems have yet to be implemented.[19]

Agenda pembangunan nasional dan internasional melihat pendidikan sebagai alat penting untuk transformasi dan perubahan. Dalam pendidikan, perhatian paling banyak diberikan kepada sekolah dan sektor formal, utamanya perguruan tinggi dan universitas. Namun perhatian sumber daya untuk sektor pendidikan nonformal dan pembelajaran orang dewasa masih kurang. Sistem pembelajaran seumur hidup belum dilaksanakan. 
b.   Belajar
Belajar ternyata terbukti merupakan sebuah konsep yang lebih sulit untuk didefinisikan, hal ini dikarenakan perbedaan teori belajar yang bermacam-macam dalam berbagai macam bentuknya terkait dengan kealamiahan belajar tersebut. Untuk tujuan sekarang belajar dapat didefinisikan sebagai sebuah proses yang menghasilkan kemampuan untuk menunjukkan sikap manusia yang baru atau sikap manusia yang berubah (atau yang meningkatkan kemungkinan bahwa sikap yang berubah dan baru itu dapat ditimbulkan dengan menggunakan stimulus yang relevan), memberikan informasi bahwa sikap yang baru atau sikap yang berubah tidak dapat dijelaskan berdasarkan beberapa proses dan pengalaman yang lain - seperti sebuah proses menjadi tua atau penurunan kemampuan. Pengertian tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Knight sebagai berikut.
The process that produces the capability of exhibiting new or changed human behavior (or which increases the probability that new or changed behavior will be elicited by a relevant stimulus), provided that the new behavior or behavior change cannot be explained on the basis of some other process or experience-such as aging or fatigue.[20]

 Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa belajar adalah proses yang tidak sama dengan sekolah, tidak terbatas pada konteks institusi. Dalam belajar, orang dapat belajar secara individual atau belajar dengan bantuan orang lain. Seseorang dapat belajar di sekolah tetapi ia juga dapat belajar meskipun tidak pernah datang ke sekolah. Belajar adalah sebuah proses tanpa henti yang dapat terjadi kapan pun dan di mana pun. Sumber belajar dapat berupa alam semesta di mana manusia hidup di dalamnya bersama yang lain untuk belajar dari pengalaman yang dilakukan atau dialami dalam kehidupan sehari-hari.
Proses belajar terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup. Belajar ditunjukkan dengan perubahan di dalam perilaku sebagai hasil pengalaman, sebagaimana yang dinyatakan oleh Cronbach dalam knowles sebagai berikut: Learning is shown by a change in behavior as a result of experience”.[21]
Belajar pada rinsipnya adalah perubahan karena pengalaman, tetapi kemudian belajar juga dapat dilihat sebagai produk (menekankan pada hasil akhir atau hasil pengalaman belajar), belajar sebagai proses (menekankan pada kejadian selama pembelajaran dalam mendapatkan produk pembelajaran tertentu), belajar sebagai fungsi (menekankan pada aspek penting pembelajaran, seperti motivasi, ingatan, dan transfer yang memungkinkan perubahan perilaku manusia dalam pembelajaran). Hal tersebut dinyatakan oleh Harris & Schwahn dalam Knowles sebagai berikut.
“Learning is essentially change due to experience,” but then go on to distinguish among learning as product (which emphasizes the end result or outcome of the learning experience), learning as process (which emphasizes what happens during the course of a learning experience in attaining a given learning product or outcome), and learning as function (which emphasizes certain critical aspects of learning, such as motivation, retention, and transfer, which presumably make behavioral changes in human learning possible).[22]

Dengan demikian sudah jelas bahwa ahli pembelajaran melihat pembelajaran adalah sebuah proses, yang menjadi tempat perilaku dirubah, dibentuk, atau dikontrol. Sementera menurut sebagian ahli yang lain lebih mendifinisikan belajar sebagai pertumbuhan, perkembangan kompetensi, dan pemenuhan kompetensi. Pernyataan tersebut dinyatakan oleh Knowles sebagai berikut.
It is clear that these learning theorists (and most of their precursors and many of their contemporaries) see learning as a process by which behavior is changed, shaped, or controlled. Other theorists prefer to define learning in terms of growth, development of competencies, and fulfillment of potential.[23]

Pembelajaran mencakup perubahan. Pembelajaran itu konsern terhadap pemerolehan kebiasaan, pengetahuan, dan sikap. Pembelajaran membuat seseorang mampu menilai secara personal dan sosial. Sejak konsep perubahan selaras dengan konsep pembelajaran, setiap perubahan perilaku merupakan sebuah implikasi dari pembelajaran yang sedang dilaksanakan atau telah dilaksanakan. Pembelajaran yang terjadi selama proses perubahan dapat dinyatakan sebagai proses pembelajaran. Pernyataan tersebut sesuai dengan yang dikatakan Crow & Crow dalam Knowles sebagai berikut.
Learning involves change. It is concerned with the acquisition of habits, knowledge, and attitudes. It enables the individual to make both personal and social adjustments. Since the concept of change is inherent in the concept of learning, any change in behavior implies that learning is taking place or has taken place. Learning that occurs during the process of change can be referred to as the learning process. [24]

Wittig dalam Syah mengatakan bahwa setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan sebagai berikut.
1)   Acquisition (tahap perolehan/penerimaan informasi)
Pada tingkatan ini peserta didik mulai menerima informasi sebagai stimulus dan melakukan respons terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku baru. Informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber. Kegagalan dalam tahap ini akan mengakibatkan kegagalan pada tahap-tahap berikutnya.
2)   Storage (tahap penyimpanan informasi)
Pada tingkatan ini peserta didik secara otomatis mengalami proses penyimpanan pemahaman dan perilaku baru yang diperoleh ketika menjalani proses acquisition.
3)   Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)
Pada tingkatan ini peserta didik mengaktifkan kembali fungsi-fungsi sistem memorinya. Pada proses ini pemahaman dan perilaku yang disimpan diungkapkan dan direproduksi kembali untuk merespons atas stimulus yang sedang dihadapi.[25]
Belajar tidak hanya dilakukan di dalam kelas saja. Dalam proses pengajaran di sekolah, proses belajar dapat berlangsung di luar kelas. Dalam proses pembelajaran di sekolah modern, di samping digunakan metode ceramah, tanya jawab, dan diskusi, juga diorientasikan pada penggunaan sumber-sumber masyarakat seperti berkemah, karyawisata, survey, dan sebagainya.[26] 
Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber melalui media tertentu ke penerima. Pesan, sumber pesan, media, dan penerima adalah komponen-komponen proses komunikasi. Pesan yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran atau didikan yang ada dalam kurikulum. Sumber pesannya bisa pendidik, peserta didik, penulis buku, media, dan sebagainya.[27] Dalam proses belajar mengajar hendaknya diperhatikan situasi yang baik ketika waktu pelajaran sedang berlangsung. Situasi belajar yang baik adalah sebagai berikut:
1)   Terjadi komunikasi dua arah antara pendidik dan peserta didik.
2)   Keaktifan tidak hanya pada pihak pendidik, tetapi juga peserta didik.
3)   Peserta didik bukan sekedar objek, namun harus berstatus sebagai subjek, sehingga langkah pertama yang harus dilakukan pendidik adalah harus dapat menimbulkan motivasi belajar pada diri peserta didik.
4)   Pelajaran diberikan secara klasikal, namun demikian pendidik tetap memperhatikan juga individual peserta didik.
5)   Pelajaran tidak harus berlangsung di dalam ruang belajar, tetapi kadangkala dilaksanakan di luar ruang belajar.
6)   Situasi belajar mengajar diarahkan kepada pencapaian tujuan secara maksimal dan integral.[28]
Belajar mengajar ialah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Pendidik dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.[29]
Dalam batas-batas tertentu manusia dapat belajar dengan sendiri dan mandiri tanpa bantuan orang lain, namun dalam batas-batas tertentu pula manusia dalam belajar memerlukan bantuan pihak lain. Hadirnya orang lain dalam pembelajaran dimaksudkan agar belajar menjadi lebih mudah, lebih efektif, lebih efisien, dan mengarah pada tujuan, upaya inilah yang dimaksud dengan pembelajaran. Belajar yang self directing, diarahkan oleh diri sendiri terutama dalam belajar informal, atau orang dewasa yang belajar dari pengalaman kehidupan sehari-hari. Sumber belajar dikelola sendiri oleh pebelajar.

5.    Resources-based learning sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan
Upaya peningkatan kualitas pendidikan memerlukan upaya peningkatan kualitas pembelajaran (instructional quality), karena muara dari berbagai program pendidikan adalah pada terlaksananya program pembelajaran yang berkualitas. Oleh karena itu, usaha meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan tercapai tanpa adanya peningkatan kualitas pembelajaran. Peningkatan kualitas pembelajaran memerlukan upaya peningkatan program pembelajaran secara keseluruhan, karena hakikat kualitas pembelajaran merupakan kualitas implementasi program pembelajaran yang telah dirancang sebelumnya. Peningkatan kualitas implementasi program pembelajaran memerlukan peningkatan aspek-aspek program yang lain, yaitu desain program dan komponen-komponen program. Peningkatan kualitas komponen-komponen program pembelajaran meliputi tujuan pembelajaran, pendidik, peserta didik, materi, sumber-sumber bahan pembelajaran, sarana, dan pembelajaran.[30]
Cox menyatakan bahwa “the quality of an instructional program is comprised of three elements, materials (equipment), activities, and people”.[31] Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa kualitas program pembelajaran tergantung pada sarana dan prasarana pembelajaran, aktivitas pendidik, dan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran, dan personal yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran, baik pendidik maupun peserta didik. Kualitas pembelajaran akan lebih baik apabila melibatkan pendidik yang berkualitas (mempunyai kompetensi dalam bidangnya), peserta didik yang berkualitas (cerdas, mempunyai motivasi belajar yang tinggi, dan mempunyai sikap yang positif dalam belajar), dan didukung dengan sarana dan prasarana atau fasilitas pembelajaran yang memadai, baik dari segi ketersediaan maupun pemanfaatannya.[32]
Lebih lanjut Hill & Hannafin mengatakan bahwa “...Resources are media, people, places or ideas that have the potential to support learning. Resources are information assets-data points organized by an individual or individuals to convey a message”.[33] Dalam proses belajar, komponen sumber belajar itu mungkin dimanfaatkan secara tunggal atau secara kombinasi, baik sumber belajar yang direncanakan maupun sumber belajar yang dimanfaatkan. Pernyataan tersebut sejalan dengan konsep pembelajaran berbasis sumber yang dinyatakan oleh Breivik bahwa ”Resource-based learning is the instructional strategy where students construct meaning through interaction with a wide range of print, non-print and human resources”.[34] Pengelolaan dan pemanfaatan sumber belajar yang baik dapat mendukung proses pembelajaran berbasis pada berbagai sumber sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. 

C.  Penutup

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.    Upaya peningkatan program pembelajaran memerlukan sumber belajar yang memadai, sehingga pembelajaran berbasis pada berbagai sumber (resources-based learning) sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber belajar merupakan proses yang tidak bisa ditinggalkan dalam mencapai tujuan pembelajaran, agar mendapatkan hasil yang diharapkan.
2.    Kegiatan belajar dapat diarahkan oleh diri sendiri (self directed learning), sehingga yang mengatur sumber belajar adalah peserta didik sendiri, sedangkan tugas pendidik sebagai pengelola pusat sumber belajar adalah menyeleksi sumber belajar yang bermanfaat bagi peserta didik dan menyalurkan peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar yang bermanfaat.


DAFTAR PUSTAKA


AECT, The definition of educational technology, Washington DC: Association for Education Communication and Technology, 1977.

Breivik, P.S., Resource-based learning, Diambil pada tanggal 5 Maret 2012, dari http://www.saskschool.ca/curr_content/bestpractice/resource/

Cox, J, The quality of an instructional program, National Education Association-Alaska, Diambil pada tanggal 17 Juli 2013, dari http://www.ak.nea.org./excellence/coxquality.

Depdikbud, Teknologi instruksional, Jakarta: Ditjen Dikti, Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi, 1983.

Dewey, J, Democracy and education: An introduction to the philosophy of education, New York: The Macmillan Company, 1950.

Djamarah, S.B. & Zain, A, Strategi belajar mengajar, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Duke, C. & Hinzen, H., “Youth and adult education within lifelong learning” (Versi elektronik), Journal of Development, 53, 465-470, Tahun 2010.

Gafur, Abdul, Buku materi pokok 4: Pengembangan pusat sumber belajar (PSB) dan kelompok belajar, Jakarta: Universitas Terbuka, 1999.

______, Desain pembelajaran: Konsep, model, dan aplikasinya dalam perencanaan pelaksanaan pembelajaran, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.

_____, Langkah-langkah pengembangan sumber belajar, Diambil pada tanggal 16 Februari 2012 dari http://sigita.web.id/tag/langkah-langkah-pengembangan-pusat-sumber-belajar.

Hill, J.R. & Hannafin, M.J., “The resurgence of resource-based learning”, Educational Technology, Research and Development, 49 (3), 37-52. Tahun 2001.

Karwono, “Pemanfaatan sumber belajar dalam upaya peningkatan kualitas dan hasil pembelajaran”, Paper dipresentasikan dalam acara Seminar tentang Pemanfaatan Sumber Belajar, di Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung, November 2007.

Knight, G.R., Issues and alternatives in educational philosophy, New York: Andrews University Press, 1982.

 

Knowles, M., The adult learner: a neglected species, New York: Gulf Publishing Company, 1986.

Mudhoffir, Prinsip-prinsip pengelolaan pusat sumber belajar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.

Muhadjir, N., Ilmu pendidikan dan perubahan sosial: Teori pendidikan pelaku sosial kreatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001.


Peraturan Pemerintah RI Nomor 19, Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan.

Sadiman, A.S., dkk., Media pendidikan: pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2003.

Siswoyo, D., Membangun konstruk filosofi pendidikan nasional pancasila, Disertasi doktor, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2012.

Soedibyo, N., Pengelolaan perpustakaan jilid I, Bandung: Alumni, 1987.

Subari, Supervisi pendidikan dalam rangka perbaikan situasi mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Suthardhi, S.D., Pemanfaatan alam sekitar sebagai sumber belajar anak. Analisis Pendidikan, Jakarta: Depdikbud, 1981.

Syah, M., Psikologi pendidikan, Bandung: Rosdakarya, 2000.

Tucker, R.N, The organization and management of educational technology, London: Cro Helm, 1979.

Undang-Undang RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Widoyoko, S.E.P., “Peranan evaluasi program pembelajaran dalam meningkatkan kualitas pendidikan”, Paper dipresentasikan dalam acara Seminar Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan, di Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Maret 2008.






[1] Dosen Tetap Program Studi Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Karwono, “Pemanfaatan sumber belajar dalam upaya peningkatan kualitas dan hasil pembelajaran”, Paper dipresentasikan dalam acara Seminar tentang Pemanfaatan Sumber Belajar, di Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung, November 2007, hlm. 1.
[3] AECT, The definition of educational technology, (Washington DC: Association for Education Communication and Technology, 1977), hlm. 8.
[4] Ibid., hlm. 8.
[5] Ibid., hlm. 8-9.
[6] Gafur, Abdul, Langkah-langkah pengembangan sumber belajar, Diambil pada tanggal 16 Februari 2012 dari http://sigita.web.id/tag/langkah-langkah-pengembangan-pusat-sumber-belajar.
[7] Gafur, Abdul, Desain pembelajaran: Konsep, model, dan aplikasinya dalam perencanaan pelaksanaan pembelajaran, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 9.
[8] Gafur, Abdul, Buku materi pokok 4: Pengembangan pusat sumber belajar (PSB) dan kelompok belajar, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1999), hlm. 5.
[9] Tucker, R.N, The organization and management of educational technology, (London: Cro Helm, 1979), hlm. 1.
[10] Mudhoffir, Prinsip-prinsip pengelolaan pusat sumber belajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 10.
[11] Ibid., hlm. 11-12.
[12] Depdikbud, Teknologi instruksional, (Jakarta: Ditjen Dikti, Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi, 1983), hlm. 38-39.
[13] Suthardhi, S.D., Pemanfaatan alam sekitar sebagai sumber belajar anak. Analisis Pendidikan, (Jakarta: Depdikbud, 1981), hlm. 147.
[14] Knight, G.R., Issues and alternatives in educational philosophy, (New York: Andrews University Press, 1982), hlm. 8.
[15] Siswoyo, D., Membangun konstruk filosofi pendidikan nasional pancasila, Disertasi doktor, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2012, hlm.19-20.
[16] Dewey, J, Democracy and education: An introduction to the philosophy of education, (New York: The Macmillan Company, 1950), hlm. 89.
[17] Ibid., hlm. 62.
[18] Muhadjir, N., Ilmu pendidikan dan perubahan sosial: Teori pendidikan pelaku sosial kreatif, ( Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001), hlm. 1.
[19] Duke, C. & Hinzen, H., “Youth and adult education within lifelong learning” (Versi elektronik), Journal of Development, 53, 465-470, Tahun 2010. hlm. 465.
[20] Knight, G.R., Issues and alternatives..., hlm. 8.
[21] Knowles, M., The adult learner: a neglected species, (New York: Gulf Publishing Company, 1986), hlm. 6.
[22] Ibid., hlm. 6.
[23] Ibid., hlm. 7.
[24] Ibid., hlm. 5.
[25] Syah, M., Psikologi pendidikan, (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm. 114).
[26] Soedibyo, N., Pengelolaan perpustakaan jilid I, (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 55.
[27] Sadiman, A.S., dkk., Media pendidikan: pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2003), hlm. 11.
[28] Subari, Supervisi pendidikan dalam rangka perbaikan situasi mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 8-9).
[29] Djamarah, S.B. & Zain, A, Strategi belajar mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 1.
[30] Widoyoko, S.E.P., “Peranan evaluasi program pembelajaran dalam meningkatkan kualitas pendidikan”, Paper dipresentasikan dalam acara Seminar Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan, di Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Maret 2008, hlm. 2.
[31] Cox, J, The quality of an instructional program, National Education Association-Alaska, Diambil pada tanggal 17 Juli 2013, dari http://www.ak.nea.org./excellence/coxquality.
[32] Widoyoko, S.E.P., “Peranan evaluasi ..., hlm. 4.
[33] Hill, J.R. & Hannafin, M.J., “The resurgence of resource-based learning”, Educational Technology, Research and Development, 49 (3), 37-52. Tahun 2001, hlm. 38.
[34] Breivik, P.S., Resource-based learning, Diambil pada tanggal 5 Maret 2012, dari http://www.saskschool.ca/curr_content/bestpractice/resource/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel