Pemanfaatan Sumber Belajar Untuk Mendukung Resources-Based Learning Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan
Sunday, 12 April 2020
PEMANFAATAN SUMBER BELAJAR UNTUK MENDUKUNG RESOURCES-BASED LEARNING SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Sumber belajar yang
beraneka ragam di sekitar kehidupan peserta didik, baik yang didesain
maupun yang tidak didesain belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam pembelajaran. Kecenderungan sebagian besar peserta didik dalam pembelajaran mereka hanya memanfaatkan buku teks dan pendidik sebagai sumber belajar
utama.[2]
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan
Nasional disebutkan bahwa
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Pendidikan tidak mungkin terselenggara dengan baik
bilamana para pendidik maupun para peserta didik tidak didukung oleh sumber
belajar yang diperlukan untuk penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang
bersangkutan.
Istilah
sumber belajar (learning resource),
umumnya diketahui hanya masuk pada perpustakaan dan buku. Padahal secara tidak
terasa apa yang digunakan dalam pembelajaran dan benda tertentu adalah termasuk
sumber belajar. Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang, maupun wujud tertentu yang dapat
digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara
terkombinasi, sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan
belajar atau mencapai kompetensi tertentu.
Secara garis besar,
terdapat dua jenis sumber belajar yaitu: (1) sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yakni sumber belajar yang secara khusus dirancang atau
dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas
belajar yang terarah dan bersifat formal; (2) sumber belajar yang dimanfaatkan (learning resources by utilization), yakni sumber belajar yang tidak didesain khusus untuk
keperluan pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan, dan dimanfaatkan untuk
keperluan pembelajaran.[3]
B. Pembahasan
1.
Hakikat Sumber Belajar
Sumber
belajar ditetapkan sebagai informasi yang disajikan dan disimpan dalam berbagai
bentuk media, yang dapat membantu peserta didik dalam belajar sebagai
perwujudan dari kurikulum. Bentuknya tidak terbatas, apakah dalam bentuk
cetakan, video, format perangkat lunak, atau kombinasi dari berbagai format
yang dapat digunakan oleh pendidik ataupun peserta didik. Sumber belajar mencakup apa
saja yang digunakan untuk membantu tiap orang untuk belajar dan menampilkan
kompetensinya. Dalam buku The
Definition
of Educational
Technology
disebutkan bahwa sumber belajar
meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan sebagaimana pernyataan berikut ini.
Learning
resources (for educational
technology)-all
of the resources (data, people, and things)
which
may be used by the learner in isolation or in combination, usually in an
informal manner, to facilitate learning; they include messages, people,
materials, devices, techniques, and settings.[4]
Ditinjau dari segi
pendayagunaannya, AECT membedakan sumber belajar menjadi dua macam, yaitu:
1)
Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design).
Yakni sumber
belajar yang dirancang untuk digunakan dalam kegiatan belajar untuk mencapai
tujuan pembelajaran tertentu. Sumber belajar yang dirancang tersebut dapat
berupa buku teks, buku paket, slide, film, video dan sebagainya yang memang
dirancang untuk membantu mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Sumber belajar ini secara khusus dirancang
atau dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan
fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.
2) Sumber belajar yang
dimanfaatkan (learning resources by
utilization).
Yakni sumber
belajar yang tidak dirancang untuk membantu mencapai tujuan pembelajaran. Jenis
ini banyak terdapat di sekeliling kita dan jika suatu saat kita membutuhkan,
maka kita tinggal memanfaatkannya. Contoh sumber belajar jenis ini adalah tokoh
masyarakat, pasar, museum, dan sebagainya. Sumber belajar yang tidak
dirancang khusus ini untuk keperluan
pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan, dan dimanfaatkan untuk
keperluan pembelajaran. Kegiatan belajar dapat diarahkan oleh diri sendiri (self
directed learning) sehingga yang mengatur sumber belajar adalah diri
sendiri bukan agent atau orang lain.
Dari kedua macam jenis sumber belajar tersebut di atas, yakni sumber belajar yang
dirancang dan sumber belajar yang dimanfaatkan, sumber belajar dapat berbentuk sebagai berikut.
1)
Pesan, yaitu informasi yang disampaikan oleh komponen lain,
dapat berbentuk ide, fakta, makna, dan data. Contohnya: materi bidang studi
seperti sejarah Yunani, hukum Ohm, hasil-hasil bumi, sistem parlemen
pemerintahan, perubahan kata kerja”to be”.
2)
Orang, yaitu orang-orang yang bertindak sebagai penyimpan data
atau menyalurkan pesan. Contohnya: pendidik, peserta didik, pelaku, nara sumber.
3)
Bahan, yaitu barang-barang (lazim disebut media atau perangkat
lunak ”software”) yang biasanya
berisikan pesan untuk disampaikan dengan menggunakan peralatan, kadang-kadang
bahan itu sendiri sudah merupakan bentuk penyajian. Contohnya: transparansi, slides, film strip, film 16 mm,
film 8 mm, video tape, rekaman, tape audio, bahan pengajaran terprogram,
program pengajaraan dengan menggunakan komputer, buku, jurnal.
4)
Peralatan, yaitu barang-barang
(lazim disebut perangkat keras “hardware”)
digunakan untuk menyampaikan pesan yang terdapat pada bahan. Contohnya:
Overhead projector (OHP), proyektor slide, proyektor filmstrip, proyektor film
16 mm, proyektor film 8 mm, perekaman video tape, televisi, VCD/DVD, radio,
perekaman tape, mesin penyimpan informasi, mesin belajar, mesin tulis
dilengkapi suara, komputer.
5)
Teknik, yaitu langkah-langkah
tertentu dalam menggunakan bahan, alat, tempat dan orang untuk menyampaikan
pesan. Contohnya: komputer alat bantu pengajaran, pengajaran terprogram,
simulasi, permainan, studi eksplorasi, metode bertanya, studi lapangan, team teaching, pengajaran individual,
belajar mandiri, belajar kelompok, ceramah, diskusi.
6)
Lingkungan, yaitu tempat peserta didik menerima pesan. Contohnya: lingkungan fisik meliputi
gedung sekolah, pusat bahan pembelajaran, perpustakaan, studio, ruang kelas,
auditorium. Sedangkan lingkungan nonfisik meliputi penerangan, sirkulasi udara,
ruang kedap suara.[5]
2.
Pengelolaan Sumber
Belajar
Pada
hakikatnya pengembangan sumber belajar bertujuan untuk membantu belajar peserta
didik. Agar sumber belajar dapat dimanfaaatkan secara optimal oleh pengguna,
sumber belajar perlu dikelola dalam suatu pusat yang biasa disebut dengan Pusat
Sumber Belajar atau disingkat PSB. Beberapa langkah mengembangkan pusat sumber
belajar antara lain: (1) menentukan struktur organisasi pusat sumber belajar;
(2) menentukan fungsi dan tugas pusat sumber belajar; (3) menentukan
kualifikasi personalia yang diperlukan untuk mengelola pusat sumber belajar;
(4) menentukan cara pembentukan kelompok
belajar yang akan memanfaatkan pusat sumber belajar.[6]
Kegiatan
pengembangan desain pembelajaran melibatkan banyak tenaga, sumber dana, dan
waktu. Sehubungan dengan itu, prinsip-prinsip manajemen perlu diterapkan dalam
kegiatan pengembangan desain pembelajaran. Pengelolaan dimaksud meliputi
pengelolaan organisasi dan pengelolaan personalia. Pengelolaan organisasi
meliputi identifikasi tugas dan fungsi, menentukan hubungan antar tugas dan
fungsi (hubungan vertikal dan horizontal). Pengelolaan personalia meliputi
tugas pengangkatan, pelatihan, penempatan, promosi, dan pemberhentian.[7]
Definisi Pusat Sumber Belajar
adalah merupakan suatu tempat pengolahan dan
pengembangan sumber-sumber belajar dengan tujuan membantu atau memberikan
fasilitas belajar manusia. Sumber belajar di sini dapat diklasifikasikan sebagai pesan, orang,
bahan, alat, teknik, dan
lingkungan yang
digunakan peserta didik
dalam belajar baik yang digunakan secara terpisah maupun secara kombinasi, sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajarnya.[8]
Tucker mendefinikan pusat
sumber belajar dengan istilah media
center, dengan pengertian suatu departemen yang memberikan fasilitas
pendidikan, latihan, dan pengenalan melalui produksi bahan media (seperti slide, transparansi overhead, filmstrip, videotape, film 16 mm, dan lain-lain)
dan pemberian pelayanan penunjang (seperti sirkulasi peralatan audiovisual,
penyajian program-program video, pembuatan katalog, dan pemanfaatan pelayanan
sumber-sumber belajar pada perpustakaan).[9]
Dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai berikut.
(1) Setiap satuan pendidikan formal dan
nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan
sesuai dengan pertumbuhan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial,
emosional, dan kejiwaan peserta didik.
(2) Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan
prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Peraturan
pemerintah yang mengatur tentang penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yaitu Pasal
42 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mengatur standar sarana dan prasarana sebagai berikut.
(1) Setiap sarana pendidikan wajib memiliki sarana
yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber
belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan
untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
(2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki
prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan,
ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang
perpustakaan, ruang laboratorium,
ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan
jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berekreasi,
dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang
teratur dan berkelanjutan.
Tujuan dari Pusat Sumber Belajar
adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan proses belajar
mengajar melalui pengembangan sistem instruksional. Hal ini dilaksanakan dengan
menyediakan berbagai macam pilihan untuk menunjang kegiatan kelas tradisional
dan untuk mendorong penggunaan cara-cara yang baru (nontradisional), yang
paling sesuai untuk mencapai tujuan program akademis dan kewajiban-kewajiban
institusional yang direncanakan lainnya.[10]
Adapun fungsi Pusat Sumber
Belajar adalah sebagai berikut.
1)
Fungsi pengembangan
sistem instruksional.
Fungsi ini menolong
lembaga dan pendidik secara individual dalam membuat rancangan dan pemilihan
untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses belajar mengajar. Fungsi
ini meliputi perencanaan kurikulum, identifikasi pilihan program instruksional,
seleksi peralatan dan bahan, perkiraan biaya, penataran tentang pengembangan
sistem instruksional bagi staf pengajar, perencanaan program, prosedur
evaluasi, dan revisi program.
2)
Fungsi informasi.
Ada beberapa macam sumber
informasi seperti pusat komputer, bahan bacaan, radio, televisi, perorangan,
lembaga, dan sebagainya. Jika informasi yang diperlukan hanya sedikit dan yang
memerlukannya juga sedikit, maka bahan informasinya dapat disimpan dalam satu
file. Jika lebih banyak, maka perlu dibentuk perpustakaan lengkap dengan
katalognya, dan jika lebih banyak lagi harus menggunakan komputer.
3)
Fungsi pelayanan media.
Fungsi ini berhubungan
dengan pembuatan rencana program media dan pelayanan pendukung yang dibutuhkan
oleh pendidik dan peserta didik, yang meliputi: sistem penggunaan media untuk
kelompok besar, sistem penggunaan media untuk kelompok kecil, fasilitas dan
program belajar sendiri, pelayanan perpustakaan media/bahan pengajaran,
pelayanan pemeliharaan dan penyampaian, pelayanan pembelian bahan-bahan dan
peralatan.
4)
Fungsi produksi.
Fungsi ini berhubungan
dengan penyediaan materi atau bahan instruksional yang tidak dapat diperoleh
melalui sumber komersial, yang meliputi: penyiapan karya seni asli untuk tujuan
instruksional, produksi transparansi untuk OHP, produksi fotografi (slide, filmstrip, foto, dan lain-lain), pelayanan reproduksi fotografi,
pemrograman, pengeditan, dan reproduksi rekaman pita suara, pemrograman,
pemeliharaan, dan pengembangan sistem televisi di kampus.
5)
Fungsi administrasi.
Fungsi ini berhubungan
dengan cara-cara bagaimana tujuan dan prioritas program dapat tercapai yang
meliputi: supervisi personalia untuk media, pengembangan koleksi media untuk
program pengajaran, pengembangan spesifikasi pendidikan untuk fasilitas baru,
pengembangan sistem penyampaian, pemeliharaan kelangsungan pelayanan produksi
bahan pengajaran, penyediaan pelayanan untuk pemeliharaan bahan, peralatan, dan
fasilitas.[11]
3. Pemanfaatan Sumber Belajar
Dalam pemanfaatan sumber belajar, pendidik mempunyai tanggung jawab
membantu peserta didik agar belajar lebih mudah, lebih lancar, dan lebih terarah. Oleh
sebab itu, pendidik
dituntut untuk memiliki kemampuan khusus yang berhubungan dengan pemanfaatan
sumber belajar.
Pendidik harus mampu melakukan hal-hal sebagaimana berikut: (1) menggunakan sumber belajar dalam kegiatan
pembelajaran sehari-hari; (2) mengenalkan dan menyajikan sumber belajar; (3) menerangkan peranan berbagai sumber belajar dalam
pembelajaran;
(4) menyusun tugas-tugas penggunaan sumber belajar dalam bentuk tingkah laku; (5) mencari sendiri
bahan dari berbagai sumber; (6) memilih bahan sesuai dengan prinsip dan teori belajar; (7) menilai keefektifan
penggunaan sumber belajar sebagai bagian dari bahan pembelajarannya; dan (8) merencanakan
kegiatan penggunaan sumber belajar secara efektif.[12]
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan alam sekitar sebagai sumber belajar, Science, Richarson mengemukakan bahwa ”Science necessarily begins in the
environment in which we live. Consequently the students study of science should
heve this orientation”. Dari alam sekitar peserta didik dapat dibimbing untuk mempelajari
berbagai macam masalah kehidupan. Akan tetapi pemanfaatan alam sebagai sumber
belajar sangat tergantung pada pendidik. Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi usaha
pemanfaatan alam sekitar sebagai sumber belajar, yaitu: (1) kemauan pendidik; (2) kemampuan pendidik untuk dapat melihat alam
sekitar yang dapat digunakan untuk pembelajaran; dan (3) kemampuan pendidik untuk dapat menggunakan sumber
alam sekitar dalam pembelajaran.[13]
4.
Perbedaan Pendidikan dan
Belajar
a.
Pendidikan
Terdapat perbedaan konsep
antara istilah pendidikan dan belajar. Pendidikan dapat dilihat sebagai bagian
dari belajar. John A. Laska membuat sebuah perbedaan yang membantu antara
belajar dan pendidikan ketika ia mendefinikan pendidikan sebagai usaha yang
dirancang secara sengaja oleh pebelajar atau orang lain untuk mengontrol
(membimbing, mengarahkan, mempengaruhi, atau mengatur) situasi belajar agar
mencapai hasil (tujuan) belajar yang diinginkan. Hal ini sebagaimana yang
dinyatakan oleh Knight sebagai berikut.
Education may be seen as a subset of lerning. John A.
Laska made a helpful distinction between learning and education when he defined
education as “ the deliberate attempt by the learner or by some-one else to
control (or guide, or direct, or influence, or manage) a learning situation in
order to bring about the attainment of a desired learning outcome (goal).[14]
Pengertian pendidikan
dalam Bab I Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional adalah sebagai berikut.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Adapun unsur-unsur yang
secara esensial tercakup dalam pengertian pendidikan adalah sebagai berikut.
1)
Dalam pendidikan
terkandung pembinaan (pembinaan kepribadian), pengembangan (pengembangan
kemampuan-kemampuan atau potensi-potensi yang perlu dikembangkan), peningkatan
(misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak tahu tentang dirinya menjadi
tahu tentang dirinya), dan tujuan (ke arah mana peserta didik diharapkan dapat
mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin).
2)
Dalam pendidikan secara
implisit terjalin interaksi antara dua pihak, yaitu pihak pendidik dan pihak
peserta didik, yang di dalam hubungan itu berlainan kedudukan dan peranan
setiap pihak, akan tetapi sama dalam hal dayanya, yaitu saling mempengaruhi,
guna terlaksananya proses pendidikan (transformasi pengetahuan, nilai-nilai,
dan keterampilan-keterampilan) dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang
diinginkan.
3)
Pendidikan adalah proses
sepanjang hayat dan perwujudan pembentukan diri manusia seutuhnya dalam arti
pengembangan segenap potensi dalam pemenuhan semua komitmen manusia sebagai
individu, sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk Tuhan. Jadi pendidikan
berbeda dengan pelatihan (training) yang spesifik dan parsial.
4)
Aktivitas pendidikan
dapat berlangsung dalam “social setting”, yaitu dalam keluarga, sekolah
(perguruan) dan masyarakat, yang didukung “instrumental input”.[15]
John Dewey dalam bukunya
yang berjudul Democracy and Education
mengatakan bahwa: “Education is a constant reorganizing or
reconstructing of experience”.[16] Pendidikan adalah
reorganisasi atau rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pada
dasarnya pendidikan bertugas membina atau mengembangkan manusia. Artinya,
manusia sebelum berada dalam proses penyadaran diri melalui pendidikan belum
paripurna kemanusiaannya. Selanjutnya Dewey mengatakan sebagai berikut.
Since
growth is the characteristic of life, education is all one with growing; it has
no end beyond itself. The criterion of the value of school education is the
extent in which it creates a desire for continued growth and supplies means for
making the desire effective in fact.[17]
Karena pertumbuhan adalah
karakteristik kehidupan, maka pendidikan adalah satu dengan pertumbuhan;
pendidikan tidak memiliki tujuan di luar pertumbuhan. Nilai pendidikan sekolah
adalah perluasan di mana sekolah itu menciptakan keinginan untuk pertumbuhan
selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sekolah adalah untuk menumbuhkan keinginan pertubuhan selanjutnya, karena pendidikan
adalah pertumbuhan. Pendidikan akan menjadi kekuatan pendorong
secara efektif dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Pendapat yang lain
terkait dengan pengertian pendidikan dikemukakan oleh Muhadjir yang
menyimpulkan bahwa pendidikan adalah upaya terprogram untuk mengantisipasi
perubahan sosial oleh pendidik pribadi, membantu peserta didik dan satuan
sosial berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik dengan cara yang normatif
juga baik[18]. Duke & Hinzen dalam Journal Development
mengatakan sebagai berikut.
The
national and international development agenda looks at education as an
important tool for transformation and change. Within education most attention
is given to schooling and the wider formal sector of colleges and universities.
Much less attention and still less resources go to youth and adult learning, and
the non-formal education sector. Lifelong learning systems have yet to be
implemented.[19]
Agenda pembangunan
nasional dan internasional melihat
pendidikan sebagai alat
penting untuk transformasi dan perubahan. Dalam
pendidikan,
perhatian paling banyak diberikan kepada sekolah
dan sektor formal, utamanya perguruan tinggi dan universitas.
Namun perhatian sumber daya untuk sektor pendidikan nonformal dan pembelajaran orang
dewasa masih kurang. Sistem pembelajaran
seumur hidup belum
dilaksanakan.
b.
Belajar
Belajar ternyata terbukti
merupakan sebuah konsep yang lebih sulit untuk didefinisikan, hal ini
dikarenakan perbedaan teori belajar yang bermacam-macam dalam berbagai macam
bentuknya terkait dengan kealamiahan belajar tersebut. Untuk tujuan sekarang
belajar dapat didefinisikan sebagai sebuah proses yang menghasilkan kemampuan
untuk menunjukkan sikap manusia yang baru atau sikap manusia yang berubah (atau
yang meningkatkan kemungkinan bahwa sikap yang berubah dan baru itu dapat
ditimbulkan dengan menggunakan stimulus yang relevan), memberikan informasi
bahwa sikap yang baru atau sikap yang berubah tidak dapat dijelaskan
berdasarkan beberapa proses dan pengalaman yang lain - seperti sebuah proses
menjadi tua atau penurunan kemampuan. Pengertian tersebut sebagaimana yang
dikemukakan oleh Knight sebagai berikut.
The process that produces the capability of exhibiting
new or changed human behavior (or which increases the probability that new or
changed behavior will be elicited by a relevant stimulus), provided that the
new behavior or behavior change cannot be explained on the basis of some other
process or experience-such as aging or fatigue.[20]
Dari definisi tersebut,
dapat dilihat bahwa belajar adalah proses yang tidak sama dengan sekolah, tidak terbatas
pada konteks institusi. Dalam belajar, orang dapat belajar secara individual
atau belajar dengan bantuan orang
lain. Seseorang dapat belajar di sekolah tetapi
ia juga dapat belajar meskipun tidak
pernah datang ke sekolah. Belajar adalah sebuah proses tanpa henti yang dapat
terjadi kapan pun
dan di mana pun. Sumber belajar dapat
berupa alam semesta di mana manusia hidup di dalamnya bersama yang lain untuk
belajar dari pengalaman yang dilakukan atau dialami dalam kehidupan
sehari-hari.
Proses
belajar terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Belajar
adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung
seumur hidup. Belajar ditunjukkan dengan
perubahan di dalam perilaku sebagai hasil pengalaman, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Cronbach dalam knowles sebagai
berikut: “Learning is shown by a change in behavior as a
result of experience”.[21]
Belajar pada rinsipnya
adalah perubahan karena pengalaman, tetapi kemudian belajar juga dapat dilihat
sebagai produk (menekankan pada hasil akhir atau hasil pengalaman belajar),
belajar sebagai proses (menekankan pada kejadian selama pembelajaran dalam
mendapatkan produk pembelajaran tertentu), belajar sebagai fungsi (menekankan
pada aspek penting pembelajaran, seperti motivasi, ingatan, dan transfer
yang memungkinkan perubahan perilaku manusia dalam pembelajaran). Hal tersebut
dinyatakan oleh Harris & Schwahn dalam Knowles sebagai
berikut.
“Learning
is essentially change due to experience,” but then go on to distinguish among
learning as product (which emphasizes the end result or outcome of the learning
experience), learning as process (which emphasizes what happens during the
course of a learning experience in attaining a given learning product or
outcome), and learning as function (which emphasizes certain critical aspects
of learning, such as motivation, retention, and transfer, which presumably make
behavioral changes in human learning possible).[22]
Dengan demikian sudah
jelas bahwa ahli pembelajaran melihat pembelajaran adalah sebuah proses, yang menjadi
tempat perilaku dirubah, dibentuk, atau dikontrol. Sementera
menurut sebagian ahli yang lain lebih mendifinisikan belajar sebagai
pertumbuhan, perkembangan kompetensi, dan
pemenuhan kompetensi. Pernyataan tersebut
dinyatakan oleh Knowles sebagai berikut.
It
is clear that these learning theorists (and most of their precursors and many
of their contemporaries) see learning as a process by which behavior is
changed, shaped, or controlled. Other theorists prefer to define learning in
terms of growth, development of competencies, and fulfillment of potential.[23]
Pembelajaran mencakup perubahan. Pembelajaran
itu konsern terhadap pemerolehan kebiasaan, pengetahuan, dan sikap.
Pembelajaran membuat seseorang mampu menilai secara personal dan sosial. Sejak
konsep perubahan selaras dengan konsep pembelajaran, setiap perubahan perilaku
merupakan sebuah implikasi dari pembelajaran yang sedang dilaksanakan atau
telah dilaksanakan. Pembelajaran yang terjadi selama proses perubahan dapat
dinyatakan sebagai proses pembelajaran. Pernyataan tersebut
sesuai dengan yang dikatakan Crow & Crow dalam Knowles sebagai
berikut.
Learning
involves change. It is concerned with the acquisition of habits, knowledge, and
attitudes. It enables the individual to make both personal and social
adjustments. Since the concept of change is inherent in the concept of
learning, any change in behavior implies that learning is taking place or has
taken place. Learning that occurs during the process of change can be referred
to as the learning process. [24]
Wittig dalam Syah mengatakan
bahwa setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan sebagai
berikut.
1) Acquisition (tahap perolehan/penerimaan informasi)
Pada tingkatan ini peserta didik mulai menerima informasi sebagai stimulus dan
melakukan respons
terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku baru. Informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber. Kegagalan
dalam tahap ini akan mengakibatkan kegagalan pada tahap-tahap berikutnya.
2) Storage (tahap penyimpanan informasi)
Pada tingkatan ini peserta didik secara otomatis mengalami proses penyimpanan
pemahaman dan perilaku baru yang diperoleh ketika
menjalani proses acquisition.
3) Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)
Pada tingkatan ini peserta didik mengaktifkan kembali fungsi-fungsi sistem memorinya.
Pada proses ini pemahaman dan perilaku yang disimpan diungkapkan dan
direproduksi kembali untuk merespons atas
stimulus yang sedang dihadapi.[25]
Belajar
tidak hanya dilakukan di dalam kelas saja. Dalam proses pengajaran di sekolah,
proses belajar dapat berlangsung di luar kelas. Dalam proses pembelajaran di
sekolah modern, di samping digunakan metode ceramah, tanya jawab, dan diskusi,
juga diorientasikan pada penggunaan sumber-sumber masyarakat seperti berkemah,
karyawisata, survey, dan sebagainya.[26]
Proses
belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses
penyampaian pesan dari sumber melalui media tertentu ke penerima. Pesan, sumber
pesan, media, dan penerima adalah komponen-komponen proses komunikasi. Pesan
yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran atau didikan yang ada dalam
kurikulum. Sumber pesannya bisa pendidik, peserta didik, penulis buku, media,
dan sebagainya.[27] Dalam proses belajar mengajar
hendaknya diperhatikan situasi yang baik ketika waktu pelajaran sedang
berlangsung. Situasi belajar yang baik adalah sebagai berikut:
1) Terjadi komunikasi dua arah antara
pendidik dan peserta didik.
2) Keaktifan tidak hanya pada pihak
pendidik, tetapi juga peserta didik.
3) Peserta didik bukan sekedar objek,
namun harus berstatus sebagai subjek, sehingga langkah pertama yang harus
dilakukan pendidik adalah harus dapat menimbulkan motivasi belajar pada diri
peserta didik.
4) Pelajaran diberikan secara klasikal,
namun demikian pendidik tetap memperhatikan juga individual peserta didik.
5) Pelajaran tidak harus berlangsung di
dalam ruang belajar, tetapi kadangkala dilaksanakan di luar ruang belajar.
Belajar mengajar ialah
suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang
terjadi antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi yang bernilai edukatif
dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu yang dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Pendidik dengan
sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan
segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.[29]
Dalam batas-batas
tertentu manusia dapat belajar dengan sendiri dan mandiri tanpa bantuan orang
lain, namun dalam batas-batas tertentu pula manusia dalam belajar memerlukan
bantuan pihak lain. Hadirnya orang lain dalam pembelajaran dimaksudkan agar
belajar menjadi lebih mudah, lebih efektif, lebih efisien, dan mengarah pada
tujuan, upaya inilah yang dimaksud dengan pembelajaran. Belajar yang self
directing, diarahkan oleh diri sendiri terutama dalam belajar informal,
atau orang dewasa yang belajar dari pengalaman kehidupan sehari-hari. Sumber
belajar dikelola sendiri oleh pebelajar.
5. Resources-based learning sebagai Upaya
Peningkatan Kualitas Pendidikan
Upaya peningkatan
kualitas pendidikan memerlukan upaya peningkatan kualitas pembelajaran (instructional quality), karena muara
dari berbagai program pendidikan adalah pada terlaksananya program pembelajaran
yang berkualitas. Oleh karena itu, usaha meningkatkan kualitas pendidikan tidak
akan tercapai tanpa adanya peningkatan kualitas pembelajaran. Peningkatan
kualitas pembelajaran memerlukan upaya peningkatan program pembelajaran secara
keseluruhan, karena hakikat kualitas pembelajaran merupakan kualitas
implementasi program pembelajaran yang telah dirancang sebelumnya. Peningkatan
kualitas implementasi program pembelajaran memerlukan peningkatan aspek-aspek
program yang lain, yaitu desain program dan komponen-komponen program.
Peningkatan kualitas komponen-komponen program pembelajaran meliputi tujuan
pembelajaran, pendidik, peserta didik, materi, sumber-sumber bahan
pembelajaran, sarana, dan pembelajaran.[30]
Cox menyatakan bahwa “the
quality of an instructional program is comprised of three elements, materials
(equipment), activities, and people”.[31] Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa
kualitas program pembelajaran tergantung pada sarana dan prasarana
pembelajaran, aktivitas pendidik, dan peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran, dan personal yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran, baik
pendidik maupun peserta didik. Kualitas pembelajaran akan lebih baik apabila
melibatkan pendidik yang berkualitas (mempunyai kompetensi dalam bidangnya),
peserta didik yang berkualitas (cerdas, mempunyai motivasi belajar yang tinggi,
dan mempunyai sikap yang positif dalam belajar), dan didukung dengan sarana dan
prasarana atau fasilitas pembelajaran yang memadai, baik dari segi ketersediaan
maupun pemanfaatannya.[32]
Lebih
lanjut Hill & Hannafin mengatakan bahwa “...Resources are media, people,
places or ideas that have the potential to support learning. Resources are
information assets-data points organized by an individual or individuals to
convey a message”.[33] Dalam proses belajar, komponen sumber belajar itu
mungkin dimanfaatkan secara tunggal atau secara kombinasi, baik sumber belajar
yang direncanakan maupun sumber belajar yang dimanfaatkan. Pernyataan tersebut sejalan dengan konsep pembelajaran berbasis sumber yang
dinyatakan oleh Breivik bahwa ”Resource-based
learning is the instructional strategy where students construct meaning through
interaction with a wide range of print, non-print and human resources”.[34] Pengelolaan dan pemanfaatan sumber belajar yang baik
dapat mendukung proses pembelajaran berbasis pada berbagai sumber sebagai upaya
untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
C. Penutup
Berdasarkan pembahasan di
atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Upaya peningkatan program pembelajaran memerlukan sumber belajar yang
memadai, sehingga pembelajaran berbasis pada berbagai sumber (resources-based learning) sangat
diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itu,
perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber belajar merupakan proses yang
tidak bisa ditinggalkan dalam mencapai tujuan pembelajaran, agar mendapatkan
hasil yang diharapkan.
2. Kegiatan belajar dapat diarahkan oleh diri sendiri (self directed
learning), sehingga yang mengatur sumber belajar adalah peserta didik
sendiri, sedangkan tugas pendidik sebagai pengelola pusat sumber belajar adalah
menyeleksi sumber belajar yang bermanfaat bagi peserta didik dan menyalurkan peserta
didik untuk memanfaatkan sumber belajar yang bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
AECT, The definition of educational technology, Washington DC: Association for Education Communication and
Technology, 1977.
Breivik, P.S., Resource-based learning, Diambil pada
tanggal 5 Maret 2012, dari http://www.saskschool.ca/curr_content/bestpractice/resource/
Cox, J, The quality of an
instructional program, National Education Association-Alaska, Diambil pada
tanggal 17 Juli 2013, dari http://www.ak.nea.org./excellence/coxquality.
Depdikbud, Teknologi instruksional, Jakarta: Ditjen Dikti, Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan
Tinggi, 1983.
Dewey, J,
Democracy and education: An introduction to the philosophy
of education, New York: The Macmillan Company, 1950.
Djamarah, S.B. & Zain, A, Strategi belajar
mengajar, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Duke, C. & Hinzen, H., “Youth
and adult education within lifelong learning” (Versi elektronik), Journal of
Development, 53, 465-470, Tahun 2010.
Gafur, Abdul, Buku materi pokok
4: Pengembangan pusat
sumber belajar
(PSB) dan kelompok
belajar,
Jakarta: Universitas Terbuka, 1999.
______, Desain pembelajaran: Konsep, model,
dan aplikasinya dalam perencanaan pelaksanaan pembelajaran, Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2012.
_____, Langkah-langkah pengembangan sumber belajar, Diambil pada tanggal
16 Februari 2012 dari http://sigita.web.id/tag/langkah-langkah-pengembangan-pusat-sumber-belajar.
Hill, J.R. & Hannafin, M.J., “The
resurgence of resource-based learning”, Educational Technology, Research and
Development, 49 (3), 37-52. Tahun 2001.
Karwono,
“Pemanfaatan sumber belajar dalam upaya peningkatan kualitas dan hasil
pembelajaran”, Paper dipresentasikan dalam acara Seminar tentang Pemanfaatan Sumber Belajar, di Universitas Muhammadiyah
Metro, Lampung, November
2007.
Knight, G.R., Issues and alternatives in
educational philosophy, New York: Andrews University Press, 1982.
Knowles, M., The adult learner: a
neglected species, New York: Gulf Publishing Company, 1986.
Mudhoffir, Prinsip-prinsip pengelolaan pusat sumber belajar, Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992.
Muhadjir, N., Ilmu pendidikan dan perubahan sosial: Teori
pendidikan pelaku sosial kreatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001.
Peraturan Pemerintah RI Nomor
19,
Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan.
Sadiman, A.S., dkk., Media
pendidikan: pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Perkasa, 2003.
Siswoyo, D., Membangun konstruk
filosofi pendidikan nasional pancasila, Disertasi doktor, tidak
diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2012.
Soedibyo, N., Pengelolaan
perpustakaan jilid I, Bandung: Alumni, 1987.
Subari, Supervisi pendidikan
dalam rangka perbaikan situasi mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Suthardhi, S.D.,
Pemanfaatan alam sekitar sebagai sumber belajar anak. Analisis Pendidikan, Jakarta: Depdikbud, 1981.
Syah, M., Psikologi pendidikan,
Bandung: Rosdakarya, 2000.
Tucker, R.N, The organization and management of educational technology, London:
Cro Helm, 1979.
Undang-Undang RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Widoyoko, S.E.P., “Peranan evaluasi program pembelajaran
dalam meningkatkan kualitas pendidikan”, Paper dipresentasikan dalam acara Seminar
Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan, di Program Pascasarjana Universitas
Negeri Yogyakarta, Maret 2008.
[2] Karwono,
“Pemanfaatan sumber belajar dalam upaya peningkatan kualitas dan hasil
pembelajaran”, Paper dipresentasikan dalam acara Seminar tentang Pemanfaatan Sumber Belajar, di Universitas
Muhammadiyah Metro, Lampung, November
2007, hlm. 1.
[3] AECT, The definition of educational technology, (Washington DC:
Association for Education Communication and Technology, 1977), hlm. 8.
[6] Gafur, Abdul, Langkah-langkah pengembangan sumber belajar,
Diambil pada tanggal 16 Februari 2012 dari http://sigita.web.id/tag/langkah-langkah-pengembangan-pusat-sumber-belajar.
[7] Gafur, Abdul, Desain
pembelajaran: Konsep, model, dan aplikasinya dalam
perencanaan pelaksanaan pembelajaran, (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2012), hlm. 9.
[8] Gafur, Abdul, Buku
materi pokok
4: Pengembangan pusat
sumber belajar
(PSB) dan kelompok
belajar, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1999), hlm. 5.
[9] Tucker, R.N, The organization and management of educational
technology, (London: Cro Helm, 1979), hlm. 1.
[10] Mudhoffir, Prinsip-prinsip pengelolaan pusat sumber belajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992), hlm. 10.
[12] Depdikbud, Teknologi instruksional, (Jakarta: Ditjen Dikti,
Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi, 1983), hlm. 38-39.
[13] Suthardhi, S.D., Pemanfaatan alam sekitar sebagai sumber belajar anak. Analisis Pendidikan, (Jakarta: Depdikbud, 1981), hlm.
147.
[14] Knight,
G.R., Issues and alternatives in educational philosophy, (New York:
Andrews University Press, 1982), hlm. 8.
[15] Siswoyo, D., Membangun
konstruk filosofi pendidikan nasional pancasila, Disertasi doktor, tidak
diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2012, hlm.19-20.
[16] Dewey, J, Democracy and education: An introduction to the philosophy of
education, (New York: The Macmillan
Company, 1950), hlm. 89.
[18] Muhadjir, N., Ilmu pendidikan
dan perubahan sosial: Teori pendidikan pelaku sosial kreatif, ( Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2001), hlm. 1.
[19] Duke, C. & Hinzen,
H., “Youth and adult education within lifelong learning” (Versi elektronik), Journal
of Development, 53, 465-470, Tahun 2010. hlm. 465.
[21] Knowles, M., The adult
learner: a neglected species, (New York: Gulf Publishing Company, 1986),
hlm. 6.
[27] Sadiman, A.S., dkk., Media
pendidikan: pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Perkasa, 2003), hlm. 11.
[28] Subari, Supervisi
pendidikan dalam rangka perbaikan situasi mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara,
1994), hlm. 8-9).
[30] Widoyoko, S.E.P., “Peranan
evaluasi program pembelajaran dalam meningkatkan kualitas pendidikan”, Paper
dipresentasikan dalam acara Seminar Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan,
di Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Maret 2008, hlm. 2.
[31] Cox, J, The quality of
an instructional program, National Education Association-Alaska, Diambil
pada tanggal 17 Juli 2013, dari http://www.ak.nea.org./excellence/coxquality.
[33] Hill, J.R. &
Hannafin, M.J., “The resurgence of resource-based learning”, Educational
Technology, Research and Development, 49 (3), 37-52. Tahun 2001, hlm. 38.
[34] Breivik, P.S., Resource-based learning, Diambil pada
tanggal 5 Maret 2012, dari http://www.saskschool.ca/curr_content/bestpractice/resource/