Sejarah Perpustakaan Islam di Spanyol - Sebuah kajian Deskriptif


SEJARAH PERPUSTAKAAN ISLAM DI SPANYOL

Sebuah Kajian Deskriptif

Oleh: Nurdin Laugu
 Sejarah Perpustakaan Islam di Spanyol


A.      Pendahuluan


Secara historis, perpustakaan dalam dunia Islam telah diakui bahwa ia memiliki tempat yang sangat penting dalam pencapaian suatu kejayaan masyarakat Islam di masa lalu, seperti yang pernah diraih masyarakat Islam Spanyol. Sayangnya, sejak setelah masyarakat Islam mengalami kejatuhan yang memporak-poranda fondasi yang menjadi basis utama, khususnya ilmu pengetahuan, pencapaian kejayaan tersebut, mereka berada dalam suatu situasi yang kehilangan kendali. Kesadaran mereka justru dikendalikan oleh orang-orang lain dan juga oleh ego mereka sehingga semakin sulit untuk menentukan jalan yang tepat untuk membawa umat mereka ke dalam dunia impian dan cita-cita dari konsep Islam, sebagai masyarakat yang berada dalam sebuah kemajuan yang berpijak pada prinsip rahmatan lil-alamin.
Perpustakaan sebagai sebuah lembaga yang memiliki fungsi untuk mendistribusikan ilmu pengetahuan kepada seluruh khalayak yang tidak dibatasi oleh suatu pandangan sektarianisme dan memajukan gerakan pembebasan dari kebodohan, baik yang bersifat keagamaan maupun non-keagamaan yang meliputi bidang sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dari fungsi inilah, perpustakaan menjadi salah satu kunci utama untuk menggapai era kemajuan atau kejayaan yang pernah ditorehkan oleh umat Islam tersebut di hampir tiga perempat dunia di masa pertengahan sebagaimana sejarah mencatat kerajaan-kerajaan Islam yang pernah menguasai Eropa, Asia Selatan, dan tentu semenanjung Arabia (Nasution, 1985:84-86). Penggapaian kekuasaan ini tidak bisa dilepaskan dari keunggulan umat Islam terhadap bangsa-bangsa lain dalam hampir semua bidang kehidupan yang didasari oleh kesadaran pentingnya ilmu pengetahuan karena ia merupakan kunci terhadap kemajuan itu sendiri.
Berkaitan dengan itu, masyarakat Islam secara umum dan umat Islam Spanyol secara khusus memiliki kesadaran di atas yang ditandai oleh minat mereka terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan perpustakaan, baik umum maupun pribadi (Shalabi, 1954:96-111). Mereka tidak mempersoalkan betapapun besarnya uang yang harus dikeluarkan ataupun situasi sesulit apapun yang dialami oleh negara, seperti dalam situasi yang tidak aman karena kondisi perang sekalipun, mereka tetap memberikan perhatian terhadap pengembangan koleksi perpustakaan mereka. Bahkan ketika pertahanan terakhir, Granada, ditaklukkan oleh pasukan Kristen, umat Islam yang berada di bawah kekuasaan dan pengawasan orang-orang Kristen tersebut masih tetap memiliki keberanian untuk menjaga koleksi mereka yang diincar oleh penguasa baru untuk dibakar. Mereka dalam situasi seperti itu menunjukkan bahwa mereka siap menerima resiko apapun, misalnya disiksa dan bahkan dibunuh bilamana perbuatan mereka tersebut diketahui oleh orang-orang Kristen.
Keberanian dan kesadaran ini merupakan sebuah aset besar yang kemudian memperbesar aset perpustakaan yang selanjutnya mendorong majunya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan tersebut berakhir dengan sebuah kejayaan peradaban umat Muhammad sebagaimana yang telah dilukis oleh umat Islam baik di Timur maupun di Barat, khusus dalam hal ini Spanyol. Untuk melihat sejauh mana andil perpustakaan terhadap kemajuan umat Islam di Spanyol, maka tentu tidak dapat dihindari untuk melihat kondisi dari segi proses perbukuan sampai pada jenis-jenis perpustakaan yang pernah atau sempat terekam oleh sejarah yang kemudian dipegangi sebagai fakta historis bagi keberadaan perpustakaan sebagai katalisator kejayaan masyarakat Islam di Spanyol tersebut di masa lalu. Oleh karena itu, penyajian tulisan ini akan menggunakan pendekatan deskriptif yang dimaksudkan adalah segala bentuk data yang diperoleh akan dipaparkan sebagaimana adanya tanpa melakukan sebuah penafsiran. Penulis hanya berusaha menggambarkan agar mudah dipahami oleh pembaca. Sebagai suatu upaya memberikan gambaran yang jelas terhadap topik yang dibicarakan, maka tulisan ini akan pertama-tama mengeksplorasi tentang pengertian perpustakaan secara umum yang kemudian diperkecil untuk melihat perpustakaan dalam konteks Islam. Setelah itu, penulis berupaya untuk memaparkan fakta-fakta historis tentang kondisi distribusi perbukuan di Spanyol, yang selanjutnya memasuki pembahasan utama tentang kondisi perpustakaan Islam yang terdiri dari perpustakaan umum maupun perpustakaan pribadi. Penulis juga merasa perlu untuk memaparkan tentang bagaimana perpustakaan-perpustakaan besar Spanyol tersebut mengalami nasib yang menyedihkan sehingga bagian terakhir dicoba untuk diceritakan bagaimana perpustakaan tersebut mengalami kehancurannya.

B.       Pengertian Perpustakaan dan perpustakaan Islam


Berbicara tentang perpustakaan Islam, orang sebaiknya melihat terlebih dahulu pengertian perpustakaan secara umum untuk mendapatkan gambaran tentang eksistensi suatu perpustakaan. Begitu juga wacana perpustakaan yang secara umum tersebut sesungguhnya memerlukan suatu upaya untuk mendekatinya dengan kajian aktual yang kemudian membawa bahasan tersebut ke dalam bahasan perpustakaan-perpustakaan primitif yang juga membutuhkan sedikit pemahaman terhadap suatu definisi dan metode. Kedua hal ini tentu saja menjadi penting dan harus memberikan perhatian terhadap setiap topik yang akan didekati secara ilmiah karena sejarah perpustakaan hingga kini tidak terjadi masalah sama sekali terkait dengan perpustakaan primitif atau bahkan terhadap perpustakaan-perpustakaan selama dua tahun pertama setelah meninggalkan tahap primitifnya. Oleh karena itu, metode tersebut pada dasarnya berada di luar pengalaman sejarah perpustakaan - dikumpulkan terutama dari kesenian dan antropologi primitif - sedangkan definisi harus mempertimbangkan sifat-sifat (nature) esensial dari perpustakaan-perpustakaan primitif yang menghubungkannya dengan perpustakaan-perpustakaan besar masa modern. Pembahasan definisi tersebut menjadi lebih penting karena telah terjadi penggunaan yang kontradiktif dan sangat membingungkan ketika memasuki perihal perpustakaan-perpustakaan awal yang bersifat historis di mana ada orang-orang – yang ingin membedakan koleksi-koleksi yang murni merupakan catatan-catatan bisnis, umum atau pribadi, dari koleksi-koleksi yang murni merupakan karya-karya kesusastraan dengan menyebutnya yang pertama itu adalah arsip – menerapkan istilah arsip, secara tidak tepat berdasarkan definisi mereka sendiri, terhadap gabungan koleksi-koleksi bisnis dan catatan-catatan lainnya.
Banyak jawaban diberikan kepada pertanyaan tentang apa itu perpustakaan? Semua jawaban tersebut mengimplisitkan sebuah buku atau banyak buku, sebuah tempat penyimpanan dan seseorang untuk melakukan penyimpanan tersebut – buku-buku, bangunan dan pustakawan – tetapi sejumlah definisi menekankan pada buku, sejumlah tempat dan sejumlah penyimpanan. Jauh sebelumnya bahwa kata yang paling umum digunakan adalah dari bahasa Yunani, bibliotheke dan bahasa Latin, libraria dan derivasi-derivasinya. Satu di antaranya menekankan tempat dan yang satunya menekankan buku tetapi keduanya digunakan kadang-kala untuk perpustakaan dan toko buku. Ketika bahasa-bahasa modern mewarisi bahasa Latin, bahasa Rumawi menggunakan bibliotheca untuk perpustakan dan libraria untuk toko buku. Di sisi lain, bahasa Jerman menggunakan kedua kata tersebut untuk perpustakaan, meskipun selama waktu itu Jerman hampir menjatuhkan librerei kepada bibliothek dan Inggris agak menjauhkan bibliotheke pada perpustakaan. Baik Inggris maupun Jerman menamakan toko buku (book shop) atau bisnis buku (book business) apa yang disebut sebagai perpustakaan oleh Perancis, Italia, dan Spanyol.
Oleh karena itu, perpustakaan (library) merupakan kata modern yang umum dalam bahasa Inggris terhadap sesuatu tertentu yang disebut Bibliothek oleh Jerman, sedangkan bibliothèque digunakan oleh Perancis, Italia, Spanyol, Skandinavia, dan Slovakia. Pergumulan ini semua berakhir pada analisis bahwa sebuah buku atau banyak buku disimpan untuk digunakan (kept for use) ketimbang dengan untuk dijual atau bisnis. Oleh karena itu sebuah perpustakaan adalah sebuah buku atau banyak buku dipelihara untuk digunakan.
Di antara definisi-definisi tentang perpustakaan yang tidak mengakui penggunaan (use) sebagai perbedaan utama perpustakaan, yang paling umum adalah barangkali mereka yang mengadopsi pluralitas atau koleksi sebagai faktor pembeda. Namun demikian banyak juga mengadopsi gedung sebagai faktor utama. Biasanya, tentu saja, bahwa perpustakaan modern betul-betul memiliki banyak buku, keseluruhan gedung dan pustakawan, tetapi walaupun jika hanya terdapat beberapa buku, tempatnya hanya suatu ruang, peti, lemari buku, atau suatu rak, dan seandainyapun hanya yang ada adalah pemiliknya sekaligus menjadi penjaga maka dikenal sebagai perpustakaan jika buku-bukunya disimpan untuk penggunaan (use) dan bukan untuk dijual. Kuantitas bukan masalah: intinya adalah apakah untuk digunakan atau dijual. Bahkan sebuah perpustakaan satu buku pun adalah perpustakaan, sama halnya dengan, sebuah tumbuhan satu sel adalah tumbuhan atau sebuah hewan satu sel adalah hewan. Sebuah perpustakaan satu buku (a one book library) merupakan suatu hal yang sangat tidak signifikan dibandingkan dengan Perpustakaan Umum New York yang memiliki banyak buku dan cabang-cabang, tetapi itu juga sesungguhnya hanyalah sebuah perpustakaan – atau kita harus menemukan kata yang lain. Intinya bahwa ‘library’ dalam bahasa Inggris, atau sejumlah derivasi ‘bibliotheca’ dalam kebanyakan bahasa-bahasa lain, merupakan kata yang secara praktik bermaksud buku untuk digunakan (book-for-use) sebagaimana juga pada kata hewan atau tumbuhan dalam biologi bermakna sesuatu yang hidup apakah itu hanya satu sel atau banyak sel (Richardson, 1963:16-19).
Sejumlah definisi mencoba untuk membatasi perpustakaan kepada buku-buku tercetak atau buku-buku terjilid atau karya-karya kesusastraan (literary works) untuk membedakannya dari dokumen-dokumen resmi atau bisnis, dan definisi-definisi ini, sebagaimana dikatakan sebelumnya, kadang-kala membawa kepada jaring kesalah-pahaman.  Bahkan jika ‘arsif’diasumsikan untuk menjadi nama yang tepat bagi koleksi dokumen-dokumen bisnis, tetap saja bahwa koleksi semacam itu secara sederhana merupakan suatu jenis perpustakaan. Setiap orang mengakui ini ketika koleksi dokumen-dokumen bisnis tersebut merupakan salah satu dokumen-dokumen umum tercetak atau terjilid (contoh, dokumen-dokumen publik Amerika), dan kalaupun dokumen-dokumen tersebut berupa tanah liat, gulungan atau dokumen-dokumen terlipat, juga tidak berbeda. Apabila buku-buku disimpan untuk digunakan tidak membuat perbedaan apakah itu berasal dari kayu, batu, logam, tanah liat, naskah dari kulit binatang (vellum), atau kertas, apakah itu dokumen-dokumen terlipat, gulungan atau codexes, apakah itu berupa karya kesusastraan, dokumen-dokumen pemerintah atau bisnis. Apabila dimaksudkan untuk digunakan maka harus menemukan suatu kata yang secara setara akan diterapkan kepada semua jenis catatan untuk digunakan dan kepada suatu perpustakaan ‘satu-buku-untuk-digunakan (one-book-for-use)’ sama halnya kepada Perpustakaan Umum New York. Kata yang tepat dalam bahasa Inggris tampaknya adalah kata ‘library’. Dokumen-dokumen bisnis yang aktif digunakan dalam kantor pemerintah ataupun kantor akuntan barangkali sangat jauh untuk mengatakan itu adalah ‘library’ secara umum, tetapi  dokumen-dokumen tersebut sama-sama jauh dari ‘arsif’ dalam pengertian ilmiah, dan anehnya definisi-definisi ini tetap menggunakan salah satu nama yang paling sederhana dan paling lama tentang perpustakaan yang benar, ‘buku-buku’, dan dari kepustakawanan ‘penyimpanan buku’.
Tetapi definisi perpustakaan sebagai sebuah buku atau banyak buku untuk digunakan hanya membawa kita pada pertanyaan yang lebih jauh, tentang apa itu buku? Jawabannya mungkin bahwa buku adalah catatan apapun tentang pikiran dalam kata-kata. Di sini terulang lagi bahwa tidak berkaitan dengan ukuran, bentuk, ataupun hal-hal yang bersifat material; bahkan suatu catatan satu kata boleh dikatakan sebuah buku sedang buku adalah perpustakaan. Namun demikian hal ini lagi-lagi masih menyimpan sebuah pertanyaan: apa itu kata? Tanpa berhenti untuk mengelaborasi dan membahas definisi-definisi secara detail, kita akan mengambil langkah selanjutnya dan menjelaskan sebuah kata sebagai tanda apapun untuk sesuatu apapun yang menunjuk kepada sesuatu selain dari dirinya. Ini bukanlah sebuah definisi yang arbitrer tetapi sesuatu yang ditemukan dalam psikologi dan filologi modern dan akan ditemukan dalam berbagai karya besar dari Marty, Leroy, Wundt, Diirich, van Ginneken, Gabelentz, dan sebagainya. Tanda bisa berupa suara, warna, isyarat, bekas atau obyek. Dalam sejumlah sistem stenografik, sebuah titik mewakili keseluruhan sebuah kata (Richardson, 1963:20 dan lihat juga Sulistyo-Basuki, 2010:1.2-4).
Oleh karena itu, sebuah kata yang paling tidak signifikan yang digunakan untuk menyatakan sesuatu bukan dirinya bisa menjadi sebuah perpustakaan. Sebuah buku yang terdiri atas satu kata tentu saja merupakan sebuah buku yang sangat tidak signifikan, dan sebuah perpustakaan yang terdiri atas satu huruf atau satu kata atau satu buku yang merupakan sebuah perpustakaan yang sangat tidak signifikan tetapi jika kita tidak menemukan suatu kata yang cocok untuk menyatakannya maka semua itu adalah buku dan perpustakaan, dan tidak ada lagi alasan yang lebih baik untuk menemukan kata lainnya untuk buku atau perpustakaan dalam kasus ini, daripada kata lainnya untuk hewan ketika dimaksudkan untuk mencakup amuba dan manusia. Oleh karena itu, perpustakaan yang paling sangat sederhana terdiri atas ‘sebuah tanda yang terekam’ untuk digunakan. Hal ini menunjukkan permulaan perpustakaan yang sangat tidak jelas kecuali pada munculnya perpustakaan-perpustakaan seperti Perpustakaan Umum New York, Library of Congress (LC), British Museum, atau Bibliothèque Nationale – dan permulaan kearifan perpustakaan adalah untuk mencari secara telaten sifat dasar perpustakaan-perpustakaan awal dan elementer (Richardson, 1963: 21).
Dalam penelusuran sejarah paling awal terhadap pembuatan dan penyimpanan catatan-catatan, ilmu perpustakaan, seperti semua ilmu humaniora, memiliki paling tidak tiga cara pendekatan atau sumber-sumber. Sumber pertama adalah sejarah yang meliputi bukti dokumen tertulis (langsung dan sejarah yang sebenarnya) dan bukti dari monument-monumen (tidak langsung dan arkeologi yang sebenarnya). Sumber kedua adalah adat istiadat bangsa-bangsa primitif yang tidak berperadaban; hal ini merupakan ilmu perpustakaan yang bersifat komparatif. Ide modern tentang evolusi mengimplisitkan bahwa bangsa-bangsa primitif ini merupakan kasus sederhana tentang perkembangan yang tertahan dan terbelakang dan komunitasnya yang terputus pada taraf perkembangan atau katakanlah tepatnya mereka hanya berkembang secara alami dan lambat. Oleh karena itu, adat istiadat mereka sebenarnya merepresentasikan umat manusia masa awal ketika ditunjukkan pada tahap perkembangan tersebut. Bukti ini juga memiliki sumber kehidupan yang kaya dalam adat istiadat yang populer di kalangan orang-orang yang berperadaban dan termasuk cerita-cerita rakyat; hal ini merupakan sesuatu yang memelihara sesuatu yang memungkinkan mereka berkembang.
Sumber ketiga adalah tindakan anak-anak ketika mereka sedang berkembang dari tidak bisa bicara kepada tahap dapat berbicara dan dari berbicara kepada tahap menulis; - keberadaan teori modern ini menunjukkan bahwa anak dalam proses perkembangannya mengulangi pengalaman nenek moyangnya, atau, dalam hal ini yaitu ‘merekapitulasi sejarah ras’. Dalam pengertian yang sama bahwa hal ini mungkin merupakan permainan anak-anak untuk merefleksikan perburuan, perang, dan kehidupan domestik dari nenek moyangnya yang tidak beradab. Ketiga sumber ini diperkirakan dapat meng-cross-check satu dengan yang lainnya dan mensuplai kekosongan (gaps) antara satu dengan yang lainnya, dan masing-masing harus diselesaikan secara terpisah dan rinci, tetapi untuk tujuan-tujuan pembicaraan ini akan menyenangkan  ketimbang melihatnya sebagai kemajuan historis, yang digambarkan dari adat istiadat dan kebiasan-kebiasan kebiadaban modern, adat istiadat rakyat, dan psikologi anak (Richardson, 1963: 22-24).
Berpijak pada pandangan di atas, kita dapat menarik suatu pengertian bahwa perpustakaan secara mendasar tidak harus terdiri dari puluhan atau ratusan koleksi tetapi yang paling penting adalah bahwa koleksi yang dimaksudkan adalah untuk digunakan bukan hanya untuk disimpan atau digudangkan. Digunakan berarti suatu situasi yang aktif dalam pengertian bahwa perpustakaan harus memberikan sebuah pengaruh terhadap masyarakat. Karena itulah perpustakaan pada masa kejayaan Islam merupakan suatu kata kunci atau katalisator untuk memberikan peluang sebuah masyarakat untuk membangun suatu kemajuan. Kemajuan perpustakaan menunjukkan adanya suatu kemajuan masyarakat, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun lainnya dan begitu juga sebaliknya. Berkaitan dengan itu, Y. Eche membuat suatu kajian yang menyimpulkan bahwa ada tiga terminologi yang sering dipakai untuk perpustakaan Islam dalam kaitannya dengan tempat yaitu bait (ruang), khizana (lemari), dar (rumah) dan tiga juga untuk menunjukkan isinya yaitu hikma (kebijaksanaan), ilm (pengetahuan), dan kutub (buku-buku). Penggabungan keenam terminologi tersebut melahirkan tujuh istilah dalam menyebut suatu perpustakaan, yaitu: bait al-hikma, khizanat al-hikma, dar al-hikma, dar al-ilm, dar al-kutub, khizanat al-kutub, dan bait al-kutub (Makdisi, 1981:24-5).

C.      Perkembangan Perbukuan dalam Masyarakat Islam Spanyol

1.      Pasar Buku
Kegiatan mengoleksi buku-buku hampir menjadi hobi nasional bagi masyarakat Islam Spanyol dan bahkan menjadi kewajiban sosial di Kordova. Kamar-kamar yang saat ini secara umum dihiasi oleh mebel-mebel dan perabot rumah tangga yang indah dan mahal, tetapi rumah-rumah para ningrat di Kordova pada saat itu telah dihiasi oleh buku-buku langka dan mahal yang ditulis tangan dan dijilid dengan indah. Sejarahwan Ibn Said pernah mendengar ayahnya yang manyatakan bahwa Kordova pernah menjadi kota pasar buku yang utama karena masyarakatnya sangat cinta untuk membangun perpustakaan. Ia pernah melihat orang-orang yang tanpa pendidikan layak yang mengoleksi buku-buku sehingga mereka dapat memiliki hal yang berbeda dari yang lainnya karena naskah-naskah mereka yang langka dan secara baik ditulis oleh penyalin terkenal. Berkaitan dengan ini sebuah cerita terkenal diceritakan oleh Maqqari. Al-Hadrami, seorang ilmuan pengelana, telah mengunjungi pasar buku Kordova suatu ketika dan menemukan dalam toko buku sebuah karya yang membuatnya sangat tertarik. Ia berusaha untuk membelinya tetapi ia tidak dapat melakukannya karena harganya dipaksa tinggi oleh pecinta buku lainnya. Pelanggan tersebut menawarkan sebuah harga yang melebihi harga biasa bukan karena ia ingin membaca melainkan ia ingin memenuhi celah pada rak bukunya yang memiliki beberapa buku yang jilidan dan ornamentasinya yang sama. Hal ini membuktikan pada kecintaan masyarakat Kordova untuk membangun perpustakaan dan kompetisi yang tajam di antara para pembeli buku di pasar Kordova yang sangat ramai. Para guru terpelajar, pelajar, penyalin terampil, dan penjual buku berkumpul dari mana-mana di Kordova yang telah menjadi pusat intelektual Barat pada abad ke-10. Jalan-jalannya yang dua sisinya dipenuhi dengan toko-toko buku. Pasar Kordova menjadi sangat terkenal karena penjualan buku-buku di mana para penjual dan pembeli berkumpul dari setiap tempat di Spanyol selama masa Hakam II yang masuk ke dalam sebuah pasar buku yang sangat besar. Bahkan setelah kehancuran perpustakaan kerajaan dan perpustakaan pribadi, Kordova menurut Ibn Rusyd, masih memiliki pada abad ke-12 lebih banyak buku-buku daripada kota-kota lainnya di Spanyol. Ketika membuat sebuah kajian komparatif tentang pentingnya Kordova dan Seville, Ibn Rusyd mengomentari secara menarik bahwa pada kematian seorang ilmuan di Seville, buku-bukunya dikirim ke Kordova untuk dijual dan juga bahwa pada kematian seorang musisi di Kordova, instrumen-instrumennya dikirim ke Seville untuk dijual (Levi-Provencal, 1953:234).
Kemasyhuran masyarakat Islam Andalusia dalam transkripsi dan penjilidan buku-buku membuat para ilmuan Muslim di Timur secara khusus pada Maqdisi untuk merekam pencapaian mereka. Tercatat bahwa 70 sampai 80 ribu volume buku disalin pada hampir setiap tahunnya di Kordova sendiri. Ibn Abu al-Fawaris dari Kordova menyalin al-Qur’an dalam jumlah banyak dengan menyelesaikan dua buah perbulan. Al-Qur’an yang disalin di Timur juga dikirim ke Spanyol dan disimpan di masjid-masjid. Oleh karena itu diketahui bahwa seperempat dari al-Qur’an yang ditulis oleh Ibn Muqlah disimpan di masjid Seville. Al-Qur’an Uthman disimpan di masjid utama Kordova. Al-Qur’an tersebut masih ada, menurut Ibn Basykuwal, di masjid ini hingga 552/1157. Telah diceritakan pula bahwa al-Qur’an tersebut dibawa oleh kaum Muwahhidin ke Maroko dan ditemukan tersimpan di perpustakaan kerajaan Tilimsan pada tahun 737/1239. Setelah itu ia dibawa ke Portugal dan kemudian sampai di tangan pedagang dari Fez pada tahun 745/1344-5. Namun menurut versi lain bahwa ia dibakar, bersamaan dengan salinan-salinan al-Qur’an lainnya dari masjid Kordova, oleh orang-orang Kristen ketika mereka menduduki kota tersebut selama masa Ibn Hamdun (Imamuddin, 1983:55-7).
2.      Pengadaan dan Distribusi Buku
Pada awalnya perpustakaan-perpustakaan Islam di Spanyol merupakan koleksi-koleksi yang didatangkan dari Timur oleh para ilmuan dan pengelana yang menemani para tentara Islam yang mendarat di Spanyol, yang saat itu awal abad ke-8. Masyarakat Islam Spanyol saat itu terbentuk dari orang-orang Syiria, Barbar, pribumi, dan budak-budak. Bagi orang-orang Islam ketika itu, buku-buku tentang agama dan teologi serta tata bahasa Arab harus didatangkan dari Timur dan digandakan sebanyak-banyaknya untuk pengajaran dan pendidikan agar bisa memahami agama baru mereka melalui bahasa Arab. Dalam karya-karya biografi baik dalam kaitannya dengan bidang seni maupun sains, pengarang-pengarang Arab Spanyol biasanya menyebutkan buku-buku yang didatangkan tersebut, di antaranya adalah tata bahasa ‘Kitab al-Kisa’i,’ yang dibawa oleh ahli gramatikal Judi Ibn Usman dari Maurur (wafat 198/813-4), seorang guru pangeran Umayah. Buku-buku tentang hukum dari Mazhab Maliki diperkenalkan di Spanyol oleh Abu Zaid Ibn Dinar (wafat 201/816-7). Demikian juga koleksi puisi yang disusun oleh Habib Ibn Aus yaitu dibawa ke Spanyol oleh Ibn al-Muthanna (wafat 273/886-7), guru Abdurrahman II dan putranya, Muhammad dan Umar. Kamus-kamus Arab dan dan karya-karya lainnya tentang hadis dan puisi juga dibawah oleh Abd al-Salma dan al-Khusyani (wafat 286/899) dari Kordova. Kitab al-Ain, sebuah kamus bahasa Arab dibawa dari Timur oleh Qasim Ibn Thabit  dari Saragossa. Buku-buku tentang leksigografi, puisi, dan sejarah didatangkan oleh Muhammad Ibn Abd Allah al-Ghazi Ibn Qays al-Ghazi (wafat di Tangier 295/907-8). Buku-buku yang ditulis Abd Allah Ibn Muslim Ibn Qutaybah dan Amr Ibn Bahr diperkenalkan oleh Ahmad Ibn Muhammad Ibn Harun dari Baghdad. Demikian juga banyak buku-buku tentang hadis nabi yang ditulis oleh penulis-penulis timur termasuk karya-karya dari Ibn Abi Shaybah dibawa ke Spanyol oleh Baqi Ibn Makhlad dari Kordova (wafat 276/890).
Para pengikut mazhab Maliki yang didukung oleh penguasa Umayah, khususnya Hisyam I, tidak mendukung untuk pengadaan buku-buku yang membahas tentang gagasan teologi dan filsafat selain dari yang dimilikinya. Di samping itu, buku-buku juga dibawa dari Timur oleh ilmuan-ilmuan tertentu. Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Qasim Ibn Hilal dari Kordova (wafat 272/885-6) membawa buku-buku yang berisi tentang gagasan filsafat dari Abu Sulaiman Daud Ibn Sulaiman. Al-Faradi mengatakan bahwa buku-buku ini menjadi penyebab tersebarnya filsafat Daud di kalangan orang-orang Spanyol. Sejumlah buku lainnya yang dianggap penuh dengan bid’ah dibawa dari Iraq oleh Ayyub Ibn Sulaiman (wafat 326/938), seorang keturunan dari Julian (Imamuddin, 1959:101).
Dengan tersebarnya pendidikan di kalangan masyarakat luas, kebutuhan buku-buku meningkat tajam di seluruh masyarakat Islam Spanyol, khususnya Kordova. Untuk memenuhi kebutuhan  buku-buku tersebut yang dibawa oleh para ilmuan ternyata tidak cukup sehingga perdagangan buku menjadi sangat menguntungkan. Sama halnya senjata, kuda perang, dan ornamen pengantin, buku-buku dibebaskan dari pajak impor, yang kemudian pedagang mulai tertarik untuk mendagangkan buku-buku. Di antara para pengelana dan pedagang pertama adalah seorang pengelana ilmuan, Abu Bakar al-Dinawari (wafat 349/960) dan seorang pedagang Kordova, Abu Umar Ibn Yabqi al-Judhami (wafat 378/988-9), dan seorang pengrajin Kordova, Muhammad Ibn Ubaid Ibn Ayyub (wafat 317/929) yang memproduksi kain brokat (brocades).
 Di samping itu, juga terdapat sejumlah pemilik usaha dan guru-guru sekolah yang mengimpor buku-buku dan menyimpannya di masjid-masjid dan sejumlah rumah pribadi untuk dibagi-bagikan kepada para siswa atau pelajar. Sebagai contoh dari hal tersebut adalah Harun Ibn Sabia (wafat 238/852-3) dari Kordova telah mengumpulkan buku-buku di rumah Ahmad Ibn Khalid. Para pangeran yang menjadi pecinta seni dan kesusastraan ikut terlibat bersama para cerdik pandai (intelligentsia) Spanyol dalam mengoleksi buku-buku dan mengimpor karya-karya langka dan bernilai dari Timur. Yang terpenting di antaranya adalah Abu Sulaiman Dahhun (wafat setelah 200/815) dan Ibn al-Ahmar al-Hashimi (wafat 358/969) yang membawa buku-buku khususnya yang berisi tentang agama. Sepulang dari perjalanannya yang panjang meliputi Mesir, Iraq, dan India, Ibn al-Ahmar telah mengabdi di perpustakaan kerajaan Umayah dan menulis sebuah sejarah biografi dari Abd Rahman III. Berkat dari usaha bersama oleh para pengelana ilmuan, para pedagang, dan para pangeran serta terutama para cerdik pandai negara tersebut, banyak perpustakaan berkembang pesat di Spanyol (Imamuddin, 1959:101-2).

D.      Perpustakaan Islam di Spanyol

1.    Kota Kordova
1.1     Perpustakan Umum
Ada beberapa perpustakaan umum dan masjid di Spanyol. Ribera berbeda dengan pernyataan dari Casiri yang diulangi oleh ilmuan-ilmuan belakangan yang menyatakan bahwa ada 70 perpustakaan umum di Kordova selama era Hakam II. Menurut Ribera bahwa ada sejumlah masjid di Kordova yang memiliki perpustakaan untuk digunakan oleh hanya pelajar, yang dari situ lalu dipahaminya bahwa semuanya merupakan perpustakaan pribadi dan tidak ada perpustakaan umum bahkan menurutnya hingga pada masa Hakam II. Pendapat ini perlu diluruskan dengan berbagai alasan. Salah satu alasan penting adalah bahwa kebiasaan atau tradisi penggunaan masjid yaitu digunakan oleh umum tanpa mengenal latar belakang kelompok seperti pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Segala hal yang dimiliki oleh masjid selalu digunakan untuk umum sehingga pandangan Ribera tersebut sulit untuk diterima. Namun bisa saja ada kemungkinan sebagiannya bisa dikatakan benar bila yang dimaksudkan itu adalah masjid dari kelompok tertentu yang eksklusif dan dipergunakan oleh kelompoknya sendiri, tapi lagi-lagi bahwa masjid secara umum adalah terbuka untuk umum meskipun ia merupakan milik kelompok Islam tertentu. Bahkan kalau dikaji lebih dalam lagi bahwa di era kepemimpinan Islam masjid menjadi tempat umum bagi seluruh masyarakat pada saat itu sehingga perpustakaan yang dimilikinya juga menjadi milik umum tanpa melihat semua jenis latar belakang termasuk agama. Oleh karenanya, jika kitapun mendukung bahwa tidak pernah ada perpustakaan umum selain dari perpustakaan masjid, hal itupun tidak akan menegasikan terhadap kenyataan bahwa perpustakaan umum tidak ada di Kordova karena perpustakaan-perpustakaan masjid secara praktik adalah perpustakaan umum (Imamuddin, 1983:53).
Di samping itu, perpustakaan lembaga pendidikan memiliki fungsi yang memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat, tidak hanya tergantung pada pelajar sendiri tetapi siapapun dari anggota masyarakat yang berminat untuk menggunakan perpustakaan yang dimaksud tidak dibatasi apalagi dilarang, yang oleh karenanya, perpustakaan semacam itu digolongkan sebagai perpustakaan umum. Penetapan sebagai perpustakaan umum, secara teoritik, didasarkan pada baik koleksi yang dimilikinya maupun para penggunanya (Shalabi, 1954:95). Lembaga-lembaga pendidikan ini biasanya menyatu dengan kepengurusan karena memang pendidikan Islam pada mulanya berawal dari masjid. Oleh karenanya, kejayaan Islam pada masa itu sesungguhnya merupakan kejayaan masjid yang dengannya pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan. Dala pengembangan ilmu pengetahuan inilah, perpustakaan masjid menjadi unsur kunci dalam temu kembali informasi. Di antara perpustakaan masjid yang berfungsi umum adalah perpustakaan masjid Raya Kordova, masjid Byasin kota Valencia, dan masjid kota Malaga serta masjid Raya Seville (Sibai, 1987:54-5).
1.2     Perpustakaan Semi Umum
Perpustakaan semi umum ini dimaksudkan sebagai perpustakaan yang semestinya untuk umum tetapi ternyata dalam praktiknya tidak terbuka secara umum. Perpustakaan kerajaan, royal libraries, dimasukkan ke dalam kategori ini karena penggunanya sangat terbatas. Orang-orang yang bisa menggunakan perpustakaan tersebut adalah orang-orang tertentu yang memang diinginkan oleh penguasa atau raja, khalifah. Secara historis, perpustakaan semacam ini dikenal sebagai perpustakaan pertama yang sangat penting dan bernilai di Eropa, yaitu, perpustakaan kerajaan Umayah di Kordova. Masyarakat Islam yang saat itu baru memiliki keinginan yang kuat untuk mendapat pengetahuan dan mempelajari bahasa Arab. Meskipun gerakan tersebut pada awalnya lamban tapi ia mencapai puncaknya pada masa Hakam II. Sebagai seorang pecinta kesusastraan, penyair, dan juga pendiri dinasti Umayah di Eropa, Abd Rahman I, telah mengundang ilmuan dan penyair terkenal secara periodik untuk mengadakan diskusi-diskusi kesusastraan di istananya. Di antara tokoh-tokoh kesusastraan pada eranya adalah Abu al-Mutahasysya, seorang penyair, Syaikh Ghazi Ibn Qais, seorang ahli teologi terbesar dan juga ahli bahasa, dan Syaikh Abu Musa Hawari, seorang ahli hukum (legist) terkenal. Putra Abd Rahman, Hisyam I adalah juga pecinta puisi Arab dan ia sendiripun seorang penyair. Amr Ibn Abi Ghaffar merupakan seorang penyair terkenal di istananya. Di antara orang-orang terdidik  yang didukung oleh Hisyam adalah Isa Ibn Dinar, Abd al-Malik Ibn Habib, Yahya Ibn Yahya, Said Ibn Hasan, dan Ibn Abu Hind. Hakam I adalah juga seorang penyair dan pecinta musik serta ia suka dikelilingi oleh para penyair, ahli teologi, dan ahli kesusastraan. Sebagai pecinta pengetahuan, mereka mendirikan sekolah-sekolah dan perpustakaan-perpustakaan (Mackensen, 1935b:108-110).
Para penguasa atau khalifah, khususnya Abd Rahman II dan Hakam II, tertarik untuk mengadakan buku-buku. Agen-agen mereka mengelana melalui kota-kota bagian Timur untuk mengumpulkan buku-buku baik yang baru maupun langka. Abbas Ibn Nasih yang merupakan agen Abd Rahman II menjelajahi seluruh toko-toko buku Mesopotamia untuk membeli karya-karya terjemahan Arab dari bahasa Persia dan Yunani tentang ilmu pengetahuan. Perpustakaan Kordova Umayah menjadi salah satu perpustakaan terbaik di dunia Islam selama masa Abd Rahman II dan ditingkatkan serta diperkuat oleh Abd Rahman III. Discorides yang ditulis dalam huruf emas dan didekorasi dengan lukisan-lukisan indah merupakan karya Yunani pertama yang penting yang diterima sebagai hadiah dari kaisar Bizantiun, Konstantinopel oleh Abdu Rahman I. Ilmuan yang mengetahui bahasa Yunani sangatlah jarang sehingga Khalifah Umayah harus mengundang Nicolas dari Konstantinopel untuk menerjemahkan karya-karya ke dalam bahasa Arab.
Dua pangeran, Hakam dan Muhammad, yang menerima pendidikan di bawa pengajaran guru-guru pribumi dan asing tidaklah puas dengan koleksi yang kaya dari ayah mereka Abd Rahman III dan mereka membangun perpustakaan-perpustakaan pribadi mereka sendiri. Setelah Abd Rahman dan Muhammad wafat, Hakam menyatukan perpustakaan mereka dengan perpustakaannya sendiri untuk menjadi perpustakaan yang besar. Ahli tata bahasa terkenal Jaen al-Rabahi (wafat  358/869) yang telah mengajar kesusastraan Arab di Kordova pada banyak bangsawan dan pangeran, termasuk Mughirah, saudara Hakam II, kesusastraan dan leksikografer Kordova, Muhammad Ibn Abi al-Husain al-Fihri dari Kordova dan ilmuan Arab lainnya, Muhammad Ibn Ma’mar dari Jaen merupakan di antara ilmuan-ilmuan terkenal yang dipekerjakan oleh Hakam II untuk pengoleksian dan pengoreksian manuskrip dan juga untuk penyalinan buku-buku langka di perpustakaannya. Buku-buku langka dan bernilai, lama dan baru, telah dibeli dari Aleksandria, Kairo, Baghdad, dan Damaskus dan disalin ulang untuk Hakam II. Di antara penyalin-penyalin yang terkenal adalah Abu al-Fadel Ibn Harun dari Sicilia (wafat 379/989-90), Yusuf al-Balluti, Abbas Ibn Amar dari Sicilia, dan Dafar dari Baghdad. Para ahli kaligrafi wanitapun juga bekerja di perpustakaan Hakam II. Labna (394/1004), sekretaris Hakam dan Fatimah (wafat 437/1036), putri dari sekretaris Hakam yang lain bernama Abu Yahya al-Syaballari telah dikenal memiliki tulisan tangan yang bagus. Pustakawan kepala dari perpustakaan Hakam yang merupakan penanggung jawab tertinggi, Talid, yag menurutnya bahwa koleksi perpustakaan tersebut terdiri dari 400 ribu volume. Daftar buku-buku yang mencatat hanya nama-nama pengarang dan judul-judul buku tersebut terdiri atas 44 volume yang masing-masing 50 lembar (Diwan, 1978:26-7; Imamuddin, 1983:44-7).
Hakam II menghabiskan banyak uang untuk pengadaan koleksi-koleksi manuskrip tersebut. Agen-agen Hakam II memborong toko-toko buku dan perpustakaan-perpustakaan Baghdad, Damaskus, Kairo, Aleksandria, dan tempat-tempat lainnya. Ilmuan-ilmuan asing juga dipekerjakan untuk mengadakan buku-buku untuknya. Di antara ilmuan tersebut adalah Ibn Saban dari Mesir, Ibn Ya’qub al-Kindi dari Baghdad, dan Muhammad Ibn Farjan. Untuk memperoleh salinan pertama dari Kitab al-Aghani, sebuah sejarah penyair-penyair dan pemerintahan Arab, yang disusun oleh Abu al-Faraj al-Aghani, seorang sejarahwan dan penyair Umayah dari Iraq, Hakam mengirimi pengarangnya seribu dinar. Abu al-Faraj sangat senang mengirimkan salinan tersebut kepadanya yang disertai dengan karya tentang silsilah Umayah.
Hakam juga mendapat buku-buku yang ditulis untuk perpustakaannya. Banyak sekali buku yang didedikasikan kepadanya. Di antara buku-buku semacam itu adalah sebuah booklet tentang kalender, Kitab al-Auqat al-Sanat yang disusun oleh Abu al-Hasan Arib Ibn Said (wafat setelah 370/980-1) dari Kordova pada tahun 961 Masehi dan kemudian disunting serta diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Dozy dengan judul Calendrier de Cordove de L’annee 961 pada tahun 1873 M. Kalender tersebut disusun berdasarkan model kalender Latin. Pengarangnya yang merupakan sekretaris Hakam II dan juga bahkan ayahnya, Abd Rahman III, menulis sejumlah buku, salah satunya didedikasikan kepada Hakam II sedangkan dua lainnya Kitab al-Anwa (calendar) dan Surat Yabda (Simulach re), yang telah dieksploitasi secara penuh oleh Ibn al-Awwam. Karya keempat yang pengarang bicarakan adalah ringkasan Tabari, kelanjutan sejarah yang terkenal dari Tabari (wafat 310/922-3) dan di dalamnya ditambahkan sejarah Afrika Utara dan Spanyol. Sebagian buku tersebut telah sampai kepada kita yang berisi informasi penting tentang istana dan anggota istana dari Abd Rahman III. Ibn Mufarraj dari Fonteaurea (Kordova) telah mengelana ke Timur dan membangun sebuah perpustakaan besar. Ia menulis banyak buku dan mendedikasikannya kepada Hakam II. Muhammad Ibn Harth Ibn Asad al-Khusyani dari Qairawan telah mendedikasikan kepada Hakam II lebih dari seribu buku dan booklet , yang salah satunya adalah Tarikh Qudat al-Qurtubah. Di antara pengarang-pengarang lainnya yang mendedikasikan karya-karya kepadanya adalah Mutarrif Ibn Isa (wafat 377-87-8) dari Granada yang menulis sebuah sejarah Elvira, Ibn Faraj dari Jaen yang menyusun puisi-puisi, Muhammad Yusuf dari Guadalajara yang menulis sebuah geografi Afrika. Ibn al-Safar dipekerjakan untuk mengoleksi puisi-puisi yang mengacu kepada Umayah di Syiria dan Spanyol. Ahli biografi Arab biasanya mengacu kepada nama-nama penyalin dan penulis buku-buku yang disimpan di perpustakaan kerajaan Hakam II (Prince, 2002:80-81; Imamuddin, 1959:104-6).
Hakam yang menjadi ilmuan terpelajar memperoleh karya-karya penting yang disimpan di perpustakaannya dan membuat catatan-catatan salinan pada lembar kosong bagian belakang buku yang menjadi sumber informasi berharga bagi para ilmuan kemudian. Di antara buku-buku sejenis itu adalah salah satunya terdata 359/970, dengan sebuah catatan yang menyatakan bahwa ia disalin untuk Hakam II yang akhir-akhir ini diketemukan di Fez oleh Levi-Provencal.
Para ilmuan Arab kontemporer telah banyak berbicara tentang perpustakaan Hakam II, koleksinya yang besar dan merupakan buku-buku langka dan bernilai. Hal ini, menurut mereka, merupakan koleksi terbesar yang pernah dimiliki oleh perpustakaan kerajaan pada era dunia pertengahan (medieval world). Gedung perpustakaan yang asli dan luas telah gagal untuk mengakomodasi buku-buku yang baru diterima. Meskipun telah mempekerjakan orang dalam jumlah yang besar, ia tetap membutuhkan waktu enam bulan untuk memindahkan koleksi-koleksi yang besar tersebut ke gedung baru. Al-Mansur telah mengikuti Hakam II dan membantu para ilmuan. Di antara buku-buku yang telah didedikasikan kepadanya adalah al-Fusus yang ditulis oleh Said dari Baghdad (wafat 410-7 H) yang menerima 5 ribu dinar sebagai hadiah dari Mansur dan sebuah buku berilustrasi yang ditulis oleh Hasan Ibn Abi Abdah. Abu al-Walid Ibn Ma’mar, seorang sejarahwan besar dan ahli paleografi telah dipekerjakan untuk mengoreksi dan memeriksa naskah-naskah yang disimpan di perpustakaan Mansur dan para penggantinya serta diyakinkan dengan karya penulisan sejarah keluarga Bani Amir. Kemudian Mansur yang dipengaruhi oleh ulama-ulama telah bertanggung jawab atas pembakaran karya-karya filsafat yang berjumlah besar di perpustakaan Hakam. Sebuah gambaran suram dari peristiwa ini telah digambarkan oleh Said dari Toledo. Dalam menggambarkan situasi yang menyedihkan terhadap orang-orang Kordova dan ketidak-hematan pemerintahannya, Dozy mengatakan bahwa ‘untuk memperoleh sedikit uang, Wadih telah bahkan diwajibkan untuk menjual sebagian besar perpustakaan Hakam’. Dalam permulaan abad ke-11 selama perang sipil, perpustakaan kerajaan telah dihancurkan dan perpustakaan-perpustakaan pribadi di Kordova telah dijarah. Buku-buku perpustakaan kerajaan ini telah dijual di pasar-pasar Kordova, Toledo, Seville, Almeria, dan kota-kota lainnya. Meskipun demikian, Kordoava terus menjadi salah satu pusat penting dari seni dan ilmu pengetahuan selama ia masih di tangan masyarakat Islam (Imamuddin, 1959:103-6; Mackensen, 1935b:108-11).
1.3     Perpustakaan Pribadi
Para raja dan pangeran, meskipun, merupakan hanya orang-orang yang mengumpulkan buku dan membangun perpustakaan. Orang-orang secara umum juga mengambil bagian dalam aktivitas kultural ini dan mengoleksi buku-buku, kadang-kala dengan menghabiskan lebih daripada apa yang mereka miliki. Di antara perpustakaan-perpustakaan pribadi Kordova adalah perpustakaan Ibn Futais yang dianggap sebagai perpustakaan terbesar, di mana gedungnya yang sangat megah, indah, dan besar. Gedung tersebut dibangun dengan sebuah rancangan arsitektur yang baik dan indah serta memenuhi persyaratan sebagai gedung perpustakaan yang representatif, di mana, posisi semua rak buku dapat dilihat dari satu titik sehingga mempermudah pengawasan koleksi. Abu Abd Allah al-Hadrami (wafat 396/1005-6), seorang ilmuan terpelajar dari Kordova, telah dipekerjakan sebagai pustakawan seperti enam penyalin dan kaligrafer yang didasarkan pada gaji yang pasti. Pustakawan juga menunjukkan, di samping, berfungsi sebagai imam di masjid-masjid keluarga Ibn Futais. Sebagian koleksi dari perpustakaan ini telah dilelang oleh para cucunya dalam masjid keluarga di Kordova selama perang sipil. Bahkan dalam situasi yang sulit seperti ini, perpustakaan tersebut masih bisa dibeli seharga 40 ribu dinar. Harga dengan jumlah sebesar itu di hari-hari perang yang membahayakan merupakan nilai yang tinggi dan inilah sesunguhnya menunjukkan betapa kecintaan orang-orang pada saat itu terhadap buku-buku dan juga pentingnya serta popularitas pasar buku dan juga perpustakaan pribadi dari Ibn Futais (Imamuddin, 1983:50-51).
Perpustakaan penting lainnya yang sama, dan menurut Ibn Abbar, yang merupakan level kedua dari perpustakaan Hakam di Kordova merupakan perpustakaan pribadi dari Abu al-Walid Ibn Mausul (wafat 433/1041-2), sebagai orang yang sangat bijak. Ia sangat suka membaca dan menulis serta mampu mengenali tulisan kaligrafi dari berbagai penyalin. Ia tertarik untuk mengoleksi buku-buku langka dan terseleksi yang di antaranya adalah karya-karya puitis dari Abu Ali al-Qali dari Baghdad dan karya-karya dari banyak penulis dan ahli kaligrafi besar. Setelah wafatnya al-Mausul, pada saat buku-bukunya dijual oleh anggota keluarganya, buku-buku tersebut mendapatkan harga yang bagus, beberapa dari buku-buku langka tersebut yang dijual dengan nilai rata-rata satu dinar perdelapan halaman. Fatin, seorang pembantu dari Mansur, menemukan banyak buku setelah kehancuran perpustakaan kerajaan Umayah dan membangun perpustakaan besar miliknya sendiri yang terdiri dari buku-buku bernilai tinggi yang telah dijual setelah kematiannya. Qasim Ibn Sa’dan (wafat 347/958-9), seorang ahli kaligrafi besar dan ilmuan dari Rayyuh (Archidona), telah memiliki perpustakaan pribadi yang bagus. Tidak lama sebelum kematiannya, ia mewakafkannya untuk digunakan oleh pelajar dan ilmuan di bawah bimbingan Muhammad Ibn Abi Dulaim. Abu Ali al-Ghassani juga memiliki koleksi buku-buku langka yang penting dari berbagai subjek (Imamuddin, 1959:107).
Sesungguhnya banyak lagi ilmuan-ilmuan lainnya yang telah memiliki koleksi-koleksi pribadi tetapi tidak dipinjamkannya kepada orang lain. Al-Juhani dari Kordova (wafat 395/1004-5) sangat suka memiliki buku-buku yang dipinjamkan kepada orang-orang yang sangat dipercayainya saja. Telah tercatat juga bahwa ada beberapa orang yang dipaksa untuk menyerahkan buku-bukunya demi pemeliharaannya. Yahya Ibn Malik Ibn Ayidh (wafat 375/985-6) dari Tortosa, yang merupakan seorang guru di Masjid Kordova dan telah mengelana di Timur selama 22 tahun dan menulis banyak buku, adalah salah satu di antaranya. Bahkan seorang guru sekolah yang miskin seperti Muhammad Ibn Hazm dari Kordova mampu membangun koleksi-koleksi pribadinya dari buku-buku berharga. Menarik untuk dicatat bahwa meskipun ia sangat miskin sehingga banyak orang tidak mau bercampur secara sosial dengannya tetapi perpustakaan pribadinya yang kaya itu menarik banyak orang terkenal. Orang miskin yang ilmuan besar ini wafat pada tahun 282/895-6 ketika ia pulang dari berhajji di Mekah. Di antara pemilik perpustakaan penting lainnya, dikenal nama-nama seperti Ibn al-Sabuni (wafat 423/1032), Abu Bakar Ibn Dhakwan (wafat 435/1043-4), Ibn Aun al-Ma’afiri (wafat 512-3/1118-9), dan Ibn Mukhtar (wafat 535/1140-1). Ibn Bard dari Ecija yang hidup di Kordova telah berkunjung ke Timur dan membawa pulang buku-buku yang setara dengan muatan 18 unta yang terdiri atas berbagai subjek (Imamuddin, 1983:50-53).
2.      Perpustakaan Luar Kordova
Perpustakaan-perpustakaan yang berada di luar kota Kordova disebut sebagai perpustakaan wilayah, di mana perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi juga tidak terlepas dari adanya kemajuan perpustakaan yang dijadikan sebagai katalisator pengembangan ilmu pengetahuan di wilayah tersebut. Perpustakaan-perpustakaan yang ada di wilayah-wilayah itu meliputi perpustakaan umum (yang terdiri dari perpustakaan-perpustakaan masjid sebagaimana juga yang terjadi di kota Kordova), perpustakaan semi-umum, dan perpustakaan pribadi. Dalam kaitan ini, hanya dua jenis terakhir ini yang akan dipaparkan secara deskriptif. Pemaparan itu sesungguhnya tidak didasari oleh sebuah alasan yang dalam melainkan hanya karena kedua jenis terakhir dianggap merupakan milik oleh perorangan, atau banyak orang dan atau oleh kelompok dan lembaga tertentu. Secara umum dan historis, perpustakaan-perpustakaan wilayah tersebut hingga abad ke-10 sesungguhnya tidak pernah menonjol walaupun aktivitas ilmu pengetahuannya juga terjadi secara berkesinambungan di berbagai tempat pada saat Kordova masih menjadi pusat budaya dan peradaban. Namun setelah Kordova jatuh, pusat peradaban baru bergeser ke mana-mana.
1.        Seville dan Badajoz
Di antara wilayah-wilayah kerajaan Abbasiyah, Seville memiliki sebuah perpustakaan kerajaan yang penting. Meskipun Seville tidak dapat dibandingkan dengan Kordova dalam hal kepemilikan perpustakaan-perpustakaan dan toko-toko buku yang kaya dan berharga tetapi yang pasti bahwa ia lebih baik dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di Spanyol. Ibn al-Khatib dari Granada seringkali menyebutkan buku-buku yang ditulis di Seville yang membedakannya dari wilayah-wilayah lain di Spanyol. Ibn al-Abbar berbicara tentang jalan yang kedua sisinya dipenuhi oleh toko buku, dalam salah satu sisinya itu ia menemukan sebuah salinan langka dari Ibn Muzain, sebuah sejarah singkat dari Razi. Ibn Sarah al-Bakri, seorang penyair dari Santaren, mencari penghidupan dengan menyalin buku-buku di Seville. Penyalin Abu Zaid al-Judhami dari Seville dikenal telah tinggal sendiri di Kordova.
Di antara para pecinta buku dari Seville dikenal nama seperti Sharf al-Daulah, putra penguasa Abbasiyah al-Mu’tamid, Ibn al-Ahdab (wafat 437/1045-6), Abu Bakr Ibn al-Arabi, Muhammad Ibn Khair, dan Ibn Marwan al-Baji. Koleksi mahal perpustakaan Muhammad Ibn Khair dijual setelah ia wafat sedangkan Abu Marwan mewakafkan perpustakaan pribadinya kepada Qadi masjid Seville, Ibn al-Hajjaj al-Lakhmi (wafat 601/1204-5).
Abu Muzaffar Ibn al-Aftas dari Badajoz memiliki sebuah perpustakaan yang sangat mahal dan lengkap yang dari situlah ia mengoleksi materi-materi yang lengkap untuk menyusun bukunya yang terkenal al-Muzaffriyah, sebuah karya ensiklopedis dalam 50 volume yang membahas tentang seni perang, politik, legenda-legenda sejarah, dan cabang-cabang lainnya dari ilmu pengetahuan dan seni (Imamuddin, 1959:111).
2.        Kota-kota bagian Utara
Toledo dan Saragossa merupakan dua kota terpenting di bagian utara yang merupakan milik umat Islam. Ibukota Gothic, Toledo, adalah sebuah kota penting selama masa Umayah. Selama perang sipil perpustakaan Hakam II telah dijarah dan buku-bukunya dijual di pasar-pasar Toledo di mana para pelajar Eropa berkumpul untuk belajar seni dan ilmu pengetahuan Timur. Berkenaan dengan itu, buku-buku dari banyak perpustakaan pribadi mendapatkan angin segar. Di antara perpustakaan-perpustakaan pribadi adalah koleksi yang kaya dari Ibn Maimun yang selamat dari api ketika pasar-pasar Toledo terbakar, koleksi Abu Amir Ibn Ibrahim (wafat 458/1066), dan koleksi Abu Muhammad yang semuanya merupakan koleksi penting. Perpustakaan-perpustakaan lainnya adalah milik ahli kaligrafi, di antaranya adalah Ibn al-Syaikh (wafat 440/1048-9), Ibn al-Khattar (wafat 438/1046-7), Ibn Hatim al-Tamimi (wafat 469/1076-7), dan Abu al-Walid Ibn al-Hansyi yang mengimpor banyak karya-karya penting dari Timur (Imamuddin, 1983:58-9).
Saragossa yang menjadi batas terjauh milik Muslim di Timur Laut Spanyol selalu menjadi landasan perang (battle-ground) bagi dua komunitas yang bersaing, Muslim dan Kristen. Para ilmuan Muslim selalu harus berpindah dari sana ke Selatan. Meskipun pemandangan perang yang menakutkan, para penguasa Banu Hud dari Saragossa tetap membantu orang-orang terdidik, khususnya para filosof. Para ahli Geometri seperti al-Muqtadir dan ahli Fisika seperti Ibn Buklaris, pengarang dari al-Mustaini, sebuah karya terkenal berisi materi kedokteran yang didedikasikan kepada al-Mustain, tumbuh subur di Saragossa. Ibn Sandur Ibn Mantil (wafat sebelum 500/1106-7) adalah pecinta buku penting lainnya dari Saragossa. Pada akhirnya, ketika ia ditaklukkan oleh Alfonso I, para pengumpul buku ini berpindah dari Saragossa dan Calatayud ke Selatan. Ibn Matruh dan Ibn Saghir yang merupakan penjual dan pecinta buku dari Saragossa berpindah ke Valencia (Imamuddin, 1983:59).
3.        Kota-kota bagian Timur
Para ilmuan emigran dan penjual buku dari Saragossa, Calatayud, dan kota-kota lain dari Aragon mengungsi ke Valencia. Di antara pengungsi tersebut adalah Ibn Matruh dan Ibn Saghir, yang putranya Ahmad telah dianugrahi dengan penunjukan sebagai pustakawan di perpustakaan kerajaan Muwahhidin yang telah disebutkan di atas dan juga Ibn Sidrai (wafat 548/1153-4), seorang penjual buku dari Calatayud.
Di antara pecinta buku yang terkenal dari Valencia adalah Abd Allah al-Marrausyi (wafat 487/1094), dua pertiga dari buku-bukunya atau setara dengan 143 muatan unta (loads) dibawa ke istana Ibn Dinun, raja Valencia. Ali Ibn Hudhail (wafat 564/1168-9) yang mewarisi sebuah perpustakaan besar dari ayah tirinya, Abu Daud al-Maqqari. Ibn Aisyum al-Ma’afiri (wafat 547/1178-9) yang mengoleksi buku-buku dalam jumlah besar dan membangun sebuah masjid di atas namanya dekat Alcantara Gate, Valencia. Banyak penjual buku-buku dari Valencia berpindah ke kota-kota lainnya di Levant. Ibn Sadat dari Murcia (wafat 566/1170-1) yang nenek moyangnya berasal dari Valencia berkembang di Jativa dan mewarisi sebuah perpustakaan besar yang kaya. Ahli tumbuh-tumbuhan, Ibn al-Rumia dari Jativa yang merupakan pengikut Ibn Hazm dari Kordova menghabiskan banyak uangnya untuk mengoleksi buku-buku langka demi membangun perpustakaan besar. Ibn al-Faras dari Granada (wafat 567/1171-2) berhenti dari kegiatan politiknya di Kordova dan Valencia lalu bermukim di Murcia. Ia mengabdikan hidupnya pada kegiatan ilmu pengetahuan dan memiliki koleksi yang sangat besar (Imamuddin, 1959:112).
Almeria merupakan salah satu pusat kebuadayaan di Timur. Abu Ja’far Abbas, perdana menteri dari Zuhair, Almeria, merupakan ahli kaligrafi terbaik dan memiliki kekayaan besar yang ia habiskan lima juta mithqal (dinar emas Ja’fari) untuk pembelian buku-buku, yang kadang-kala dipakai membayar tiga kali lipat dari harga yang biasa. Oleh karena itu ia membangun sebuah perpustakaan besar yang terdiri dari empat juta volume buku, selain dari makalah dan leaflet yang jumlahnya tak terhitung. Qadi dari Almeria, Abd al-Haq Ibn Atiyah, merupakan pengoleksi buku terkenal. Maimun Ibn Yasin (wafat 530/1135-6), seorang Barbar dari suku Sanhaja, Almeria adalah seorang penjual-buku terkenal dan Nasr dari Almeria merupakan seorang ahli tulis (scribe) terkenal. Malaga juga pencetak orang-orang yang ahli seni dan ilmu pengetahuan. Ibn Mufassal dari Malaga membuat tujuh puluh salinan al-Qur’an dan menulis banyak karya. Ibn Lope memiliki sebuah koleksi buku yang terkenal yang ia serahkan kepada imam masjid Malaga. Ibn Madrak al-Ghassani dan Uthman Ibn Mandur adalah keduanya ahli kaligrafi terkenal dan juga penjual buku. Isa dari Ronda telah membangun sebuah koleksi buku yang besar yang diimpornya dari Timur tetapi ia kemudian kehilangannya. Muhammad Ibn al-Hakim al-Lakhmi dari Ronda yang merupakan asli dari Seville telah membangun sebuah koleksi buku yang mahal.
Kerajaan Nasrid Granada menjadi tempat pengungsi Muslim yang telah berpindah dari satu wilayah ke wilayah Muslim lainnya yang secara berangsur-angsur ditaklukkan oleh orang-orang Kristen dari Utara. Akibatnya, jumlah penjual buku dan pecinta buku meningkat besar di Granada dan menjadi sebuah kenyataan yang menakjubkan bahwa para pengungsi memiliki lebih banyak koleksi-koleksi buku daripada masyarakat asli Granada. Penguasa-penguasa Nasrid Granada telah mendukung para ilmuan dan menunjukkan perhatiannya dalam membangun perpustakaan. Perpustakaan kerajaan memiliki naskah-naskah langkah dan mahal yang berisi berbagai bidang ilmu pengetahuan. Terdapat banyak perpustakaan-perpustakaan pribadi yang di antaranya milik seniman besar Ibn Farsun, Abu al-Qasim al-Qalbi, guru dari Ibn al-Khatib dan Abu Abd Allah Ataraz. Semua orang ini adalah orang-orang penting yang telah mendirikan perpustakaan-perpustakaan besar  yang berisi banyak koleksi langkah. Al-Zubaidi, seorang ilmuan terkenal dari Jaen, bermukim di Granada dan membangun sebuah perpustakaan bagus, khususnya yang merupakan tulisan-tulisannya sendiri dan buku-buku yang disalinnya sendiri. Perpustakaannya telah dijarah oleh Esquilula. Ibn Sarah dari Santaren dan Aben Socral merupakan ahli kaligrafi terkenal dan Ibn Ballis dari Granada adalah seorang penjual buku terkenal.
Para penyair, sejarahwan, ahli hukum, ahli geografi, ahli astronomi, ahli tumbuh-tumbuhan, ahli kimia, dan ahli kaligrafi telah menikmati masa konfidensi dari penguasa-penguasa Nasrid. Di antara subjek-subjek favorit bagi Arab Spanyol adalah puisi, fiksi, leksikografi, sejarah, filsafat, jurisprudensi, hukum kontrak, aturan-aturan hisbah dan regulasi-regulasi pemerintahan kota dan pasar, geografi, kartografi, astronomi, matematika, botani, dan kimia. Semua subjek ini telah menjadi bidang eksplorasi ilmu pengetahuan bagi Arab Spanyol dan juga menjadi bidang yang banyak dikoleksi oleh perpustakaan-perpustakaan mereka, baik pribadi maupun umum (Imamuddin, 1983:60-2).

E.       Kehancuran Perpustakaan Islam di Spanyol

Berdasarkan paparan-paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan masyarakat Islam Spanyol yang telah berkembang secara pesat khususnya di kota-kota utama seperti Kordova, Toledo, Seville, dan Granada telah secara khusus terdorong oleh karya-karya dari Timur yang kemudian perkembangannya juga dipercepat oleh kreativitas masyarakat Arab Spanyol sendiri. Namun sayangnya, ketika kekuasan politik umat Islam yang secara berangsur-angsur menghilang dan kota-kota Muslim tersebut kemudian jatuh ke tangan Kristen sedangkan orang-orang Islam sendiri bergeser dan mundur ke Utara hingga menjadi pengungsi di Granada, yang merupakan pertahanan terakhir umat Islam yang juga kemudian jatuh ke tangan mereka sehingga Granada juga hidup dan menjadi properti mereka, semua milik orang-orang Islam, termasuk bahasa, kesusastraan, budaya, dan bahkan jiwanya adalah tergantung pada kemurahan hati orang-orang Kristen sebagai pemenang yang sayangnya tidak menunjukkan suatu toleransi kepada orang-orang Islam sebagaimana apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang Islam terhadap mereka dan lainnya, orang-orang Yahudi. Orang-orang Kristen yang menguasai Granada tersebut lalu menyiksa orang-orang Islam yang disebutnya sebagai Moriscos karena mereka berbahasa Arab, menulis Arab, dan memeluk Islam sebagai agama yang bukan agama negara orang-orang Kristen. Sekolah-sekolah umat Islam ditutup, perpustakaan-perpustakaannya dibakar, undang-undang represif dibuat untuk memaksa mereka meninggalkan bahasa Arab. Sikap dan tradisi Arab dan kebanyakan dari orang-orang Islam tersebut pada akhirnya dipaksa untuk menerima agama Kriten. Namun yang sebagiannya ketika bujukan dan paksaan yang dilakukan tersebut gagal untuk merubah agama mereka masuk ke agama Kristen, lalu mereka secara kasar dikeluarkan dari negara tersebut (Imamuddin, 1959:114).
Situasi sulit bagi perpustakaan Islam Spanyol seperti di atas, secara umum, dapat dilihat dari dua hal yang menjadi faktor penyebab porak-porandanya bahkan hancurnya perpustakaan Islam di Spanyol. Faktor pertama adalah seperti disebutkan di atas bahwa kekalahan umat Islam secara politik menjadi jalan utama bagi tergusurnya masyarakat Islam di Eropa yang tentu meliputi semua yang dimiliki umat Islam, termasuk perilaku budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan bahkan diri dan jiwa mereka. Keberadaan perpustakaan yang merupakan hasil dari produktifitas kekaryaan mereka dalam bidang ilmu pengetahuan, baik dalam bidang sains maupun dalam bidang agama mengalami pembakaran dan penjarahan. Masyarakat Islam sebagai kelompok orang-orang yang tertaklukkan dan tidak memiliki kekuasaan sama sekali, maka tentu semuanya akan ditentukan oleh masyarakat penakluknya yaitu orang-orang Kristen yang memang sudah lama menantikan saat-saat seperti itu (Sibai, 1987:117-9).
Selain tindakan penghilangan produk-produk budaya ilmiah dari kaum Muslim Spanyol yang melalui pembakaran buku-buku yang berbau Arab, lalu pada abad ke-12 dan ke-13, sekolah-sekolah dan universitas-universitas telah didirikan oleh orang-orang Kristen di kota-kota penting untuk menerjemahkan buku-buku Arab ke dalam bahasa Latin dan menanamkan pendidikan Latin-Arab. Nama-nama sekolah Latin Arab di Toledo dan Seville, dan juga universitas-universitas Valencia, Salamanca, dan Lerida. Banyak sekali karya-karya tentang ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat telah diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin dan Romawi. Di penghujung abad ke-15, semua jenis dukungan pada bahasa dan kesusastraan Arab dihentikan dan dalam delapan tahun setelah jatuhnya Granada, sebuah rezim kekerasan dan penyiksaan dimulai. Semua koleksi-koleksi dalam perpustakaan Islam Granada, kecuali karya-karya yang berisi tentang filsafat, kedokteran, dan sejarah, dibawa ke alun-alun Bibarrambla dan dibakar atas perintah Cardinal Ximines de Cisneros, pendeta yang bertanggung jawab terhadap pemurtadan orang-orang Islam ke dalam agama Kristen pada tahun 1499 M. Kata Nicholson bahwa hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan catatan tujuh abad kebudayaan Islam dalam hanya satu hari (Mackensen, 1935a:117; Imamuddin, 1983:64-5).
Seorang jurnalis kontemporer yang tidak mengetahui bahasa Arab dan ia sendiri tidak pernah kehilangan buku apapun karena terjadinya pembakaran buku menunjukkan sebuah gambaran tentang karya-karya Arab yang dihancurkan sejumlah dua juta. Menurut Ribera, yang telah menulis sebuah biografi Cardinal Ximines, jumlah naskah Arab yang dikonsumsi adalah satu juta lima ratus ribu. Pandangan yang tidak memihak dari jurnalis yang telah disebutkan di atas bertentangan dengan ahli biografi Ximines lainnya, Simonet, yang melakukan sebuah observasi bahwa orang-orang Islam tidak berperadaban dan perpustakaannya tidak memiliki jumlah buku sebesar itu. Tentu hal ini merupakan sebuah penegasian fakta secara sederhana. Di samping keparsialitasnya tersebut, di sisi lain Ribera mengakui bahwa orang-orang Islam Spanyol adalah sangat berperadaban, bahkan lebih dari apa yang ada di Timur, dan bahwa perpustakaan-perpustakaan mereka di Granada adalah cukup kaya untuk memiliki dua juta buku.
Setelah Granada jatuh, baik pengimporan buku-buku Arab dari Timur maupun penulisan buku-buku di negara tersebut tidak ada sama sekali. Bahkan sebaliknya, koleksi-koleksi naskah Arab tua ketika dan kapanpun ditemukan akan dihancurkan. Meskipun kehilangan karya-karya tersebut yang disebabkan oleh masa itu ataupun oleh kelembaban udara dan sifat alami dari bahan yang digunakan, karya-karya tersebut banyak yang masih ditemukan hingga hari ini yang kebetulan tidak dibakar dan dihancurkan oleh orang-orang Kristen ataupun yang dikubur dan disembunyikan di bawah karang oleh orang-orang Islam sendiri yang kemudian dibawa keluar dari negara itu pada saat pengusiran. Meskipun terjadi banyak kehilangan buku-buku yang disebabkan berbagai situasi, tetap masih ada banyak buku-buku di Granada dalam abad ke-15 baik itu di perpustakaan kerajaan maupun di perpustakaan pribadi. Koleksi-koleksi yang berjumlah besar ini, yang terdiri dari naskah-naskah yang dimiliki oleh orang-orang Islam yang terusir dari daerahnya yang kemudian tinggal di Valencia, Aragon dan daerah-daerah lainnya di Spanyol telah mengalami pembakaran dan penjarahan di tangan orang-orang Kristen.
Di antara buku-buku yang dihancurkan di Bibarrambla, ada banyak naskah-naskah yang secara baik ditulis dan secara indah didekorasi dengan banyak gambar dan buku-buku yang dijepit dari perak dan emas yang berlapis mutiara dengan nilai lebih dari sepuluh ribu koin emas (ducat) menurut catatan dari Padre Alcolea. Bahkan setelah ini, kehancuran naskah-naskah Arab terus berlanjut. Praktik pembakaran karya-karya Arab ini kemudian disahkan dengan melalui hukum atau undang-undang. Pada tahun 1511 M. Dona Juana membuat sebuah aturan untuk membakar buku-buku berbahasa Arab yang berisi tentang agama Islam. Berkaitan dengan itu, orang-orang Islam diperintahkan untuk memperlihatkan naskah-naskah Arab yang dimilikinya untuk diperiksa dan diteliti isinya. Buku-buku tentang hukum Islam dan agama akan dipisahkan dari subjek-subjek lainnya lalu dibakar. Sejak itu Santo Oficio mulai mengambil langkah-langkah tegas untuk menentang semua  orang yang masih memelihara naskah-naskah Arab tentang al-Qur’an, Hadis, dan Fiqh serta buku-buku semacam itu juga akan dikumpulkan dan dibakar. Meskipun akan membahayakan jiwanya, orang-orang Islam tetap berusaha untuk menyembunyikan buku-buku semacam itu di belakng rumahnya hingga akhir dari masa pengusiran terhadap mereka sebagaimana yang diceritakan oleh Fray Marcos de Guadalajara. Ada sebuah naskah Arab tata bahasa yang disimpan perpustakaan universitas Valencia yang disertai sebuah catatan, “saya, Jamie Ferrando, menemukan buku ini di sebuah kampung, Laguar, setelah orang-orang Islam mendaki bukit untuk mencari perlindungan keselamatan, di rumah Mil-Leni de Guatest, ketua dari orang-orang Islam tersebut. Karena buku itu ditulis dalam huruf Arab, saya tidak menemukan orang yang dapat membacanya, saya kira buku tersebut merupakan salinan dari al-Qur’an Muhammad”. Pada bulan Agustus 1584, ketua pengadilan Altea memaksa keponakan Junca, seorang ilmuan dari orang-orang Islam, untuk mendepositkan semua salinan al-Qur’an kepada Santo Oficio. Bahkan hingga setelah masa pengusiran terhadap orang-orang Islam, pembakaran naskah-naskah Arab tetap berlanjut dengan secara terbuka sehingga menjadi sebuah tradisi festival tahunan. Hal ini diperingati sebagai sebuah rencana untuk menghina Islam dan ajarannya.
Saat itu terdapat suatu kepercayaan bahwa memelihara buku-buku Arab merupakan kejahatan dan luka terhadap agama Kristen dan masyarakatnya, sehingga uskup membakar buku-buku tersebut dan dari waktu ke waktu raja-raja Kristen membuat undang-undang untuk menghancurkannya. Meskipun demikian, kadang-kala juga sebagiannya dihadiahkan kepada raja-raja Islam tetangganya. Sancho IV memasuki sebuah era hubungan yang baik dengan Banu Marin dan memberikannya buku-buku penting yang terdiri dari tiga angkutan unta. Untunglah Ribera mengakui, ‘tetapi buku-buku yang ditinggalkan oleh orang-orang Islam yang tidak dibakar dan dipelihara oleh orang-orang Kristen, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Islam yang pasrah tetap menetap, kita kehilangan, kadang-kala dengan cara pemberian hadiah sebagaimana yang terjadi pada era Sancho IV, namun pada saat yang lain juga buku-buku itu dibakar, sehingga kita [orang-orang Kristen] sesungguhnya tidak kurang lebih jahat dibandingkan dengan orang-orang Islam, yang contohnya seperti yang dilakukan ini’. Meskipun demikian, dalam membuat pernyataan tersebut, ia masih tetap gagal untuk tidak memihak dan berusaha membela orang-orang Kristen terhadap noda-noda sejarah yang dilakukannya (Imamuddin, 1983:63-70; Nakosteen, 1964:71-74).
Faktor kedua yaitu bersifat internal di mana kerusakan dan kehancuran karya-karya Arab atau Muslim tidak semuanya disebabkan oleh orang-orang Kristen namun juga disebabkan oleh umat Islam sendiri baik secara sengaja maupun tidak. Salah satu bentuk kehilangan bagi karya-karya Islam adalah disebabkan oleh perjalanan ataupun buku-buku yang dikirim ke negara-negara lain karena hal itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari ataupun dalam perjalanan mendatangkan buku-buku dari luar negeri. Dalam mengimpor buku-buku dari Timur, seluruh koleksi Abu Musa al-Hawwari yang bekerja sebagai Qadi di Ecija selama masa pemerintahan Abd Rahman II, Abu Yahya dari Kordova (wafat 385/995), dan Ibn Haut Allah dari Onda (wafat 612/1215-6) telah hilang dalam perjalanan. Atiyah Ibn Said (wafat sekitar 408/1017-8), seorang pecinta buku dari Spanyol, membawa banyak sekali buku-buku ke Timur. Seorang ahli biografi, Humaidi membagi-bagikan bukunya kepada orang-orang terdidik Timur dan Abu Bakr Ibn Yasir (wafat  563/1017-8) dari Jaen, seorang pustakawan perpustakaan Nur al-Din, dan juga kepada para pelajar dan ahli hadis dari Timur. Demikian juga banyak sekali buku-buku yang diekspor ke Timur, yang meskipun pandangan saat menganggap bahwa nilai buku-buku Timur masih lebih tinggi ketimbang karya-karya di Spanyol. Pada awal abad ke-11, banyak ilmuan Spanyol pergi ke Fez dan tinggal di sana. Bagi pelajar-pelajar Maroko yang belajar di Spanyol ketika mereka pulang ke negaranya mereka membawa buku-buku dari Spanyol. Yasaltan Ibn Daud dari Aghmat (372/982-3) dan Muhammad Ibn Abd al-Haq dari Tilimsan (wafat 625/1228) belajar di Spanyol dan membawa buku-buku mereka ke negaranya. Ibn Maljun (wafat 535/1140-1) dari Maroko merupakan pelajar lainnya yang belajar di Spanyol dan membangun sebuah perpustakaan bergensi yang akhirnya dijual oleh putranya sebanyak empat ribu Dinar. Melihat pentingnya menjaga buku-buku di negara asing bukanlah semata karena kehilangannya di Spanyol. Perpindahan ilmuan bersama koleksi-koleksi berharga mereka, sesuatu yang tak terhindarkan, merupakan pertimbangan utama khususnya hal tersebut ketika orang-orang Islam yang terusir itu membawa buku-buku langkah dan mahal ke Afrika Utara dan Timur. Orang-orang tersebut di antaranya adalah filosof Ibn Arabi, ahli tata bahasa Ibn Malik, politisi Abu Bakr dari Tortosa, ahli teologi Ibn Farru dari Jativa, penyair Ibn Khaja dari Alcira, Ibn Khaqan dan sebagainya.
Kehilangan koleksi lainnya yang sesungguhnya sangat serius adalah yang disebabkan oleh pembakaran karya-karya filsafat di masyarakat Islam Spanyol. Para filosof yang menganut selain ide-ide Maliki tidak ditoleransi, mereka dianiaya dan buku-bukunya dibakar secara tidak resmi. Ibn Masarrah (883-931) disiksa dan karya-karya filsafat perpustakaan Ibn Kulaib telah dibakar dengan dasar penelitian ahli teolagi. Ketidak-toleransian ini, meskipun, tidak direstui oleh negara dan para pelakunya ditegur. Hakam II telah mendukung para filosof dari semua mazhab tetapi Hajib al-Mansur yang menjadi Perdana Menteri dari Hisyam II telah dikuasai oleh para ahli teologi dan ia harus menghancurkan satu bagian dari perpustakaan Hakam yang berisi karya-karya tentang filsafat. Buku-buku yang dianggap bid’ah dan meragukan dicari di pasar-pasar dan perpustakaan-perpustakaan, bila ditemukan dibakar oleh mazhab Maliki Ortodoks. Perpustakaan Ibn Hazm telah menemukan nasib yang sama. Setelah kehadiran kaum Murabitun, praktik pembakaran karya-karya filsafat menjadi semakin biasa dan seringkali dilakukan dengan sanksi negara. Ibn Ishaq Ibn Tasyufin menjarah banyak perpustakaan seperti milik Abu Bakr Ibn Abi Lailaha, seorang ilmuan besar dari Murcia (wafat 566/1170-1) dan membawa buku-bukunya ke Maroko. Kaum Muwahhidun yang mempercayai gagasan-gagasan filsafat dan skolastik pada awalnya memesan buku-buku kelompok Maliki dan membawanya ke Fez untuk dibakar. Karya-karya Muhammad Abu Bakr (wafat 599/1202-3) telah dibakar dengan perintah Sultan (kira-kira 580/1184-5). Hal ini kemudian membuat marah orang-orang Islam Andalusia yang lalu menyebut kaum Muwahhidun sebagai orang-orang bid’ah. Untuk berdamai dengan mereka, kaum Muwahhidun berbalik menentang para filosof seperti Ibn Rusyd, Ibn Tufail, dan sebagainya, yang mereka dukung dalam waktu yang lama, dan menyiksanya serta menghancurkan buku-buku mereka dengan cara membakarnya. Koleksi karya-karya ilmiah dari Abu al-Hajjaj al-Marini dari Seville telah mengalami penghancuran di tangan kaum Muwahhidun. Kaum Muwahhidun ini mempekerjakan ahli-ahli kaligrafi Spanyol di perpustakaan mereka di Maroko. Para pustakawan perpustakaan kerajaan juga ada di antaranya dari orang-orang Spanyol seperti Abu al-Abbas Ibn Asawira dari Seville (Imamuddin, 1959:116-7; Laugu, 2005:85-89; Bashiruddin, 1967:149-61).

F.       Kesimpulan

Pemahaman pertama yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa perpustakaan bukanlah ukuran pertama karena banyaknya koleksi yang dimiliki tetapi yang tak kalah pentingnya adalah digunakan atau tidak. Kalau kata ‘digunakan’ terbukti ada maka itu sungguh merupakan suatu perpustakaan, apakah itu hanya satu buku atau bahkan satu huruf sekalipun bila ia digunakan maka juga bisa dikatakan perpustakaan. Berdasarkan definisi tersebut, penulis tidak akan ragu-ragu lagi untuk mengatakan bahwa perpustakaan Islam merupakan suatu perbincangan penting bukan saja pentingnya itu diarahkan pada perpustakaan-perpustakaan yang dianggap besar, melainkan kepada seluruh perpustakaan baik itu yang sudah maju maupun yang masih sederhana. Terkait dengan itu, masyarakat Islam pada era pertengahan, yang biasa disebut sebagai Medieval Muslims, telah menyadari betul tentang pentingnya perpustakaan dan keharusan untuk memilikinya. Bukan saja itu tetapi juga tentang bagaimana mendesain ruang-ruangnya seperti ruang penyimpanan buku-buku yang baru datang, penyalin, penjilid, pustakawan, pembaca dan ruang dosen, dan sebagainya yang kesemuanya itu merupakan langkah yang sangat futuristik untuk pengembangan dan kemajuan masyarakat Islam.
Di samping itu, dalam masyarakat Islam Spanyol juga dikenal jenis perpustakaan umum, semi umum, dan pribadi. Perpustakaan umum tersebut, misalnya, telah dijumpai penggunanya baik laki maupun perempuan, majikan maupun pembantu, raja maupun orang-orang biasa, ilmuan maupun orang-orang yang bukan ilmuan yang semuanya bertujuan untuk mencari informasi atau membaca buku-buku. Hal ini menunjukkan bahwa perpustakaan merupakan tempat yang penting, sekaligus, menjadi bukti sejarah bahwa orang-orang pada masa itu telah memiliki standar literasi yang tinggi. Perpustakaan-perpustakaan yang digambarkan tersebut memiliki koleksi yang disusun secara baik berdasarkan kesamaan subjek sehingga memudahkan para pengguna untuk menemukan subjek apa saja yang mereka cari. Untuk menemukan koleksi yang disusun berdasarkan subjek tersebut dicari melalui panduan katalog yang telah dibuat oleh para pustakawannya yang profesional. Perpustakaan semi publik dan pribadi juga melakukan hal yang sama yaitu, misalnya, pengadaan koleksi yang disertai dengan pengelolaannya secara baik dan penggunaannya sangat intensif meskipun hanya dijangkau oleh orang-orang tertentu.
Berkat ketersediaan perpustakaan yang baik tersebut memberikan kemudahan akses informasi bagi masyarakat secara keseluruhan khususnya bagi peminat ilmu pengetahuan untuk melahirkan karya-karya baru dan orisinal. Di samping karya-karya asli tersebut juga tak kalah berkembangnya penerjemahan-penerjemahan khususnya buku-buku Yunani dan Latin yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ataupun naskah-naskah langka Arab juga ditranskripsikan oleh para ahli kaligrafi untuk membantu penyebaran informasi tentang karya-karya tersebut. Berkaitan dengan tidak adanya mesin cetak pada saat itu, para penyalin mengabdikan waktunya yang banyak untuk menyalin berbagai buku-buku dalam rangka penyebaran ilmu pengetahuan. Mahalnya pembiayaan terhadap penyalinan atau penggandaan buku-buku tersebut, maka buku-buku ini secara bebas dijual dan dibeli di toko-toko buku di Spanyol. Perhatian khusus dilakukan untuk menjaga buku-buku mahal tersebut dengan melalui berbagai cara di antaranya dengan penjilidan yang dihiasi dengan kulit dan kayu-kayu wangi. Nilai-nilai buku tersebut meningkat kemudian yang bertatahkan dengan emas dan perak dalam bentuk tulisan dan ornament-ornamen lainnya. Orang-orang yang dianggap memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan dan budaya lalu diberikan tanggung jawab untuk menjaga perpustakaan di atas.
Terakhir, kehancuran perpustakaan Islam Spanyol merupakan salah satu isu penting yang harus dipahami oleh umat Islam agar bisa menjadi pelajaran untuk masyarakat Islam sekarang dan di masa yang akan datang. Secara umum, kehancuran perpustakaan tersebut disebabkan oleh dua faktor, eksternal (luar) dan internal (dalam). Faktor eksternal berupa kekalahan secara politik dari orang-orang Kristen, baik melalui perang fisik maupun propaganda politis, yang kemudian membawa kepada pemusnahan perpustakaan-perpustakaan Islam, baik dengan pembakaran maupun dengan penjarahan. Faktor kedua yang berupa internal yaitu disebabkan oleh keteledoran umat Islam sendiri, di antaranya dalam pengiriman buku-buku mereka baik dari luar Spanyol maupun dari Spanyol keluar dan juga oleh penanganan koleksi-koleksi yang sebagiannya tidak professional. Faktor internal yang paling menyedihkan adalah pembakaran buku-buku umat Islam oleh kalangan umat Islam sendiri yang didorong oleh hanya karena perbedaan ideoloi dan atau faham mereka terhadap agama.


G.      Daftar Pustaka

Bashiruddin, S. (1967). ‘The Fate of Sectarian Libraries in Medieval Islam’ dalam LIBRI: International Library Review and IFLA-Communication-FIAB, Vol. 17, 1967.
Diwan, Muhammad Rustam Ali (1978). ‘Muslim Contribution to Libraries during the Medieval Times’ dalam Islam and the Modern Age: A Quarterly Journal, Vol. IX, No. 2 May, 1978.
Imamuddin, S.M. (1983). Some Leading Muslim Libraries of the World (Dhaka: Shuvin Art Press).
Imamuddin, S.M. (1959). ‘Hispano-Arab Libraries, Books and Manuscripts (Muslim Libraries and Bookmen in Spain)’ dalam Journal of the Pakistan Historical Society, Vol. VII part I (January 1959) edited by Dr. S. Moinul Haq.
Imamuddin, S.M. (1981). Muslim Spain 711-1492 A.D.: A Sociological Study (Leiden: J. Brill).
Laugu, Nurdin (2005). ‘Muslim Libraries in History’ dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 43, No. 1 (2005:57-97).
Levi-Provencal (1953). la Civilizacion Arabes en Espana (Argentina: [t.p.])
Mackensen, Ruth Stellhorn (1935-a). ‘Background of the History of Moslem Libraries’ dalam The American Journal of Semitic Languages and Literatures, Vol. 51, October 1934-July 1935.
Mackensen, Ruth Stellhorn (1935-b). ‘Moslem Libraries and Sectarian Propaganda’ dalam The American Journal of Semitic Languages and Literatures, Vol. 51, October 1934-July 1935.
Makdisi, George (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press).
Nakosteen, Mehdi (1964). History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350: with an Introduction to Medieval Muslim Education (Colorado: University of Colorado Press).
Nasution, Harun (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press).
Prince, Chris (2002). ‘The Historical Context of Arabic Translation, Learning, and the Libraries of Medieval Andalusia’ dalam Library History, Vol. 18, July 2002.
Richardson, Ernest Cushing (1963). The Beginnings of the Libraries (London: Archon Books).
Sulistyo-Basuki (2010). Pengantar Ilmu Perpustakaan (Jakarta: Universitas Terbuka).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel