Sejarah Perpustakaan Islam di Spanyol - Sebuah kajian Deskriptif
Tuesday, 7 April 2020
SEJARAH PERPUSTAKAAN ISLAM DI SPANYOL
Sebuah Kajian Deskriptif
Oleh: Nurdin Laugu
A.
Pendahuluan
Secara
historis, perpustakaan dalam dunia Islam telah diakui bahwa ia memiliki tempat
yang sangat penting dalam pencapaian suatu kejayaan masyarakat Islam di masa
lalu, seperti yang pernah diraih masyarakat Islam Spanyol. Sayangnya, sejak setelah
masyarakat Islam mengalami kejatuhan yang memporak-poranda fondasi yang menjadi
basis utama, khususnya ilmu pengetahuan, pencapaian kejayaan tersebut, mereka berada
dalam suatu situasi yang kehilangan kendali. Kesadaran mereka justru
dikendalikan oleh orang-orang lain dan juga oleh ego mereka sehingga semakin
sulit untuk menentukan jalan yang tepat untuk membawa umat mereka ke dalam
dunia impian dan cita-cita dari konsep Islam, sebagai masyarakat yang berada
dalam sebuah kemajuan yang berpijak pada prinsip rahmatan lil-alamin.
Perpustakaan
sebagai sebuah lembaga yang memiliki fungsi untuk mendistribusikan ilmu
pengetahuan kepada seluruh khalayak yang tidak dibatasi oleh suatu pandangan
sektarianisme dan memajukan gerakan pembebasan dari kebodohan, baik yang
bersifat keagamaan maupun non-keagamaan yang meliputi bidang sosial, ekonomi,
politik, dan sebagainya. Dari fungsi inilah, perpustakaan menjadi salah satu
kunci utama untuk menggapai era kemajuan atau kejayaan yang pernah ditorehkan
oleh umat Islam tersebut di hampir tiga perempat dunia di masa pertengahan
sebagaimana sejarah mencatat kerajaan-kerajaan Islam yang pernah menguasai
Eropa, Asia Selatan, dan tentu semenanjung Arabia (Nasution, 1985:84-86).
Penggapaian kekuasaan ini tidak bisa dilepaskan dari keunggulan umat Islam
terhadap bangsa-bangsa lain dalam hampir semua bidang kehidupan yang didasari
oleh kesadaran pentingnya ilmu pengetahuan karena ia merupakan kunci terhadap
kemajuan itu sendiri.
Berkaitan
dengan itu, masyarakat Islam secara umum dan umat Islam Spanyol secara khusus
memiliki kesadaran di atas yang ditandai oleh minat mereka terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan perpustakaan, baik umum maupun
pribadi (Shalabi, 1954:96-111). Mereka tidak mempersoalkan betapapun besarnya
uang yang harus dikeluarkan ataupun situasi sesulit apapun yang dialami oleh
negara, seperti dalam situasi yang tidak aman karena kondisi perang sekalipun,
mereka tetap memberikan perhatian terhadap pengembangan koleksi perpustakaan
mereka. Bahkan ketika pertahanan terakhir, Granada, ditaklukkan oleh pasukan
Kristen, umat Islam yang berada di bawah kekuasaan dan pengawasan orang-orang
Kristen tersebut masih tetap memiliki keberanian untuk menjaga koleksi mereka
yang diincar oleh penguasa baru untuk dibakar. Mereka dalam situasi seperti itu
menunjukkan bahwa mereka siap menerima resiko apapun, misalnya disiksa dan
bahkan dibunuh bilamana perbuatan mereka tersebut diketahui oleh orang-orang
Kristen.
Keberanian dan kesadaran ini merupakan sebuah
aset besar yang kemudian memperbesar aset perpustakaan yang selanjutnya
mendorong majunya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan
tersebut berakhir dengan sebuah kejayaan peradaban umat Muhammad sebagaimana
yang telah dilukis oleh umat Islam baik di Timur maupun di Barat, khusus dalam
hal ini Spanyol. Untuk melihat sejauh mana andil perpustakaan terhadap kemajuan
umat Islam di Spanyol, maka tentu tidak dapat dihindari untuk melihat kondisi
dari segi proses perbukuan sampai pada jenis-jenis perpustakaan yang pernah
atau sempat terekam oleh sejarah yang kemudian dipegangi sebagai fakta historis
bagi keberadaan perpustakaan sebagai katalisator kejayaan masyarakat Islam di
Spanyol tersebut di masa lalu. Oleh karena itu, penyajian tulisan ini akan
menggunakan pendekatan deskriptif yang dimaksudkan adalah segala bentuk data
yang diperoleh akan dipaparkan sebagaimana adanya tanpa melakukan sebuah
penafsiran. Penulis hanya berusaha menggambarkan agar mudah dipahami oleh pembaca.
Sebagai suatu upaya memberikan gambaran yang jelas terhadap topik yang
dibicarakan, maka tulisan ini akan pertama-tama mengeksplorasi tentang
pengertian perpustakaan secara umum yang kemudian diperkecil untuk melihat
perpustakaan dalam konteks Islam. Setelah itu, penulis berupaya untuk
memaparkan fakta-fakta historis tentang kondisi distribusi perbukuan di
Spanyol, yang selanjutnya memasuki pembahasan utama tentang kondisi
perpustakaan Islam yang terdiri dari perpustakaan umum maupun perpustakaan
pribadi. Penulis juga merasa perlu untuk memaparkan tentang bagaimana
perpustakaan-perpustakaan besar Spanyol tersebut mengalami nasib yang
menyedihkan sehingga bagian terakhir dicoba untuk diceritakan bagaimana
perpustakaan tersebut mengalami kehancurannya.
B.
Pengertian Perpustakaan dan perpustakaan Islam
Berbicara
tentang perpustakaan Islam, orang sebaiknya melihat terlebih dahulu pengertian
perpustakaan secara umum untuk mendapatkan gambaran tentang eksistensi suatu
perpustakaan. Begitu juga wacana perpustakaan yang secara umum tersebut
sesungguhnya memerlukan suatu upaya untuk mendekatinya dengan kajian aktual
yang kemudian membawa bahasan tersebut ke dalam bahasan perpustakaan-perpustakaan
primitif yang juga membutuhkan sedikit pemahaman terhadap suatu definisi dan
metode. Kedua hal ini tentu saja menjadi penting dan harus memberikan perhatian
terhadap setiap topik yang akan didekati secara ilmiah karena sejarah
perpustakaan hingga kini tidak terjadi masalah sama sekali terkait dengan
perpustakaan primitif atau bahkan terhadap perpustakaan-perpustakaan selama dua
tahun pertama setelah meninggalkan tahap primitifnya. Oleh karena itu, metode
tersebut pada dasarnya berada di luar pengalaman sejarah perpustakaan -
dikumpulkan terutama dari kesenian dan antropologi primitif - sedangkan
definisi harus mempertimbangkan sifat-sifat (nature) esensial dari
perpustakaan-perpustakaan primitif yang menghubungkannya dengan
perpustakaan-perpustakaan besar masa modern. Pembahasan definisi tersebut
menjadi lebih penting karena telah terjadi penggunaan yang kontradiktif dan
sangat membingungkan ketika memasuki perihal perpustakaan-perpustakaan awal yang
bersifat historis di mana ada orang-orang – yang ingin membedakan koleksi-koleksi
yang murni merupakan catatan-catatan bisnis, umum atau pribadi, dari koleksi-koleksi
yang murni merupakan karya-karya kesusastraan dengan menyebutnya yang pertama
itu adalah arsip – menerapkan istilah arsip, secara tidak tepat berdasarkan
definisi mereka sendiri, terhadap gabungan koleksi-koleksi bisnis dan
catatan-catatan lainnya.
Banyak jawaban
diberikan kepada pertanyaan tentang apa itu perpustakaan? Semua jawaban tersebut
mengimplisitkan sebuah buku atau banyak buku, sebuah tempat penyimpanan dan
seseorang untuk melakukan penyimpanan tersebut – buku-buku, bangunan dan
pustakawan – tetapi sejumlah definisi menekankan pada buku, sejumlah tempat dan
sejumlah penyimpanan. Jauh sebelumnya bahwa kata yang paling umum digunakan
adalah dari bahasa Yunani, bibliotheke dan bahasa Latin, libraria dan
derivasi-derivasinya. Satu di antaranya menekankan tempat dan yang satunya
menekankan buku tetapi keduanya digunakan kadang-kala untuk perpustakaan dan
toko buku. Ketika bahasa-bahasa modern mewarisi bahasa Latin, bahasa Rumawi
menggunakan bibliotheca untuk perpustakan dan libraria untuk toko buku. Di sisi
lain, bahasa Jerman menggunakan kedua kata tersebut untuk perpustakaan,
meskipun selama waktu itu Jerman hampir menjatuhkan librerei kepada bibliothek
dan Inggris agak menjauhkan bibliotheke pada perpustakaan. Baik Inggris maupun
Jerman menamakan toko buku (book shop) atau bisnis buku (book
business) apa yang disebut sebagai perpustakaan oleh Perancis, Italia, dan Spanyol.
Oleh karena
itu, perpustakaan (library) merupakan kata modern yang umum dalam bahasa
Inggris terhadap sesuatu tertentu yang disebut Bibliothek oleh Jerman,
sedangkan bibliothèque digunakan oleh Perancis, Italia, Spanyol,
Skandinavia, dan Slovakia. Pergumulan ini semua berakhir pada analisis bahwa
sebuah buku atau banyak buku disimpan untuk digunakan (kept for use)
ketimbang dengan untuk dijual atau bisnis. Oleh karena itu sebuah perpustakaan
adalah sebuah buku atau banyak buku dipelihara untuk digunakan.
Di antara
definisi-definisi tentang perpustakaan yang tidak mengakui penggunaan (use)
sebagai perbedaan utama perpustakaan, yang paling umum adalah barangkali mereka
yang mengadopsi pluralitas atau koleksi sebagai faktor pembeda. Namun demikian
banyak juga mengadopsi gedung sebagai faktor utama. Biasanya, tentu saja, bahwa
perpustakaan modern betul-betul memiliki banyak buku, keseluruhan gedung dan
pustakawan, tetapi walaupun jika hanya terdapat beberapa buku, tempatnya hanya
suatu ruang, peti, lemari buku, atau suatu rak, dan seandainyapun hanya yang
ada adalah pemiliknya sekaligus menjadi penjaga maka dikenal sebagai
perpustakaan jika buku-bukunya disimpan untuk penggunaan (use) dan bukan
untuk dijual. Kuantitas bukan masalah: intinya adalah apakah untuk digunakan
atau dijual. Bahkan sebuah perpustakaan satu buku pun adalah perpustakaan, sama
halnya dengan, sebuah tumbuhan satu sel adalah tumbuhan atau sebuah hewan satu sel
adalah hewan. Sebuah perpustakaan satu buku (a one book library)
merupakan suatu hal yang sangat tidak signifikan dibandingkan dengan
Perpustakaan Umum New York yang memiliki banyak buku dan cabang-cabang, tetapi
itu juga sesungguhnya hanyalah sebuah perpustakaan – atau kita harus menemukan
kata yang lain. Intinya bahwa ‘library’ dalam bahasa Inggris, atau
sejumlah derivasi ‘bibliotheca’ dalam kebanyakan bahasa-bahasa lain,
merupakan kata yang secara praktik bermaksud buku untuk digunakan (book-for-use)
sebagaimana juga pada kata hewan atau tumbuhan dalam biologi bermakna sesuatu
yang hidup apakah itu hanya satu sel atau banyak sel (Richardson, 1963:16-19).
Sejumlah
definisi mencoba untuk membatasi perpustakaan kepada buku-buku tercetak atau
buku-buku terjilid atau karya-karya kesusastraan (literary works) untuk
membedakannya dari dokumen-dokumen resmi atau bisnis, dan definisi-definisi
ini, sebagaimana dikatakan sebelumnya, kadang-kala membawa kepada jaring
kesalah-pahaman. Bahkan jika ‘arsif’diasumsikan
untuk menjadi nama yang tepat bagi koleksi dokumen-dokumen bisnis, tetap saja
bahwa koleksi semacam itu secara sederhana merupakan suatu jenis perpustakaan.
Setiap orang mengakui ini ketika koleksi dokumen-dokumen bisnis tersebut
merupakan salah satu dokumen-dokumen umum tercetak atau terjilid (contoh, dokumen-dokumen
publik Amerika), dan kalaupun dokumen-dokumen tersebut berupa tanah liat,
gulungan atau dokumen-dokumen terlipat, juga tidak berbeda. Apabila buku-buku
disimpan untuk digunakan tidak membuat perbedaan apakah itu berasal dari kayu,
batu, logam, tanah liat, naskah dari kulit binatang (vellum), atau
kertas, apakah itu dokumen-dokumen terlipat, gulungan atau codexes,
apakah itu berupa karya kesusastraan, dokumen-dokumen pemerintah atau bisnis. Apabila
dimaksudkan untuk digunakan maka harus menemukan suatu kata yang secara setara akan
diterapkan kepada semua jenis catatan untuk digunakan dan kepada suatu
perpustakaan ‘satu-buku-untuk-digunakan (one-book-for-use)’ sama halnya
kepada Perpustakaan Umum New York. Kata yang tepat dalam bahasa Inggris
tampaknya adalah kata ‘library’. Dokumen-dokumen bisnis yang aktif
digunakan dalam kantor pemerintah ataupun kantor akuntan barangkali sangat jauh
untuk mengatakan itu adalah ‘library’ secara umum, tetapi dokumen-dokumen tersebut sama-sama jauh dari ‘arsif’
dalam pengertian ilmiah, dan anehnya definisi-definisi ini tetap menggunakan
salah satu nama yang paling sederhana dan paling lama tentang perpustakaan yang
benar, ‘buku-buku’, dan dari kepustakawanan ‘penyimpanan buku’.
Tetapi
definisi perpustakaan sebagai sebuah buku atau banyak buku untuk digunakan
hanya membawa kita pada pertanyaan yang lebih jauh, tentang apa itu buku?
Jawabannya mungkin bahwa buku adalah catatan apapun tentang pikiran dalam
kata-kata. Di sini terulang lagi bahwa tidak berkaitan dengan ukuran, bentuk,
ataupun hal-hal yang bersifat material; bahkan suatu catatan satu kata boleh
dikatakan sebuah buku sedang buku adalah perpustakaan. Namun demikian hal ini
lagi-lagi masih menyimpan sebuah pertanyaan: apa itu kata? Tanpa berhenti untuk
mengelaborasi dan membahas definisi-definisi secara detail, kita akan mengambil
langkah selanjutnya dan menjelaskan sebuah kata sebagai tanda apapun untuk
sesuatu apapun yang menunjuk kepada sesuatu selain dari dirinya. Ini bukanlah
sebuah definisi yang arbitrer tetapi sesuatu yang ditemukan dalam psikologi dan
filologi modern dan akan ditemukan dalam berbagai karya besar dari Marty,
Leroy, Wundt, Diirich, van Ginneken, Gabelentz, dan sebagainya. Tanda bisa
berupa suara, warna, isyarat, bekas atau obyek. Dalam sejumlah sistem
stenografik, sebuah titik mewakili keseluruhan sebuah kata (Richardson, 1963:20
dan lihat juga Sulistyo-Basuki, 2010:1.2-4).
Oleh karena
itu, sebuah kata yang paling tidak signifikan yang digunakan untuk menyatakan
sesuatu bukan dirinya bisa menjadi sebuah perpustakaan. Sebuah buku yang
terdiri atas satu kata tentu saja merupakan sebuah buku yang sangat tidak
signifikan, dan sebuah perpustakaan yang terdiri atas satu huruf atau satu kata
atau satu buku yang merupakan sebuah perpustakaan yang sangat tidak signifikan
tetapi jika kita tidak menemukan suatu kata yang cocok untuk menyatakannya maka
semua itu adalah buku dan perpustakaan, dan tidak ada lagi alasan yang lebih baik
untuk menemukan kata lainnya untuk buku atau perpustakaan dalam kasus ini, daripada
kata lainnya untuk hewan ketika dimaksudkan untuk mencakup amuba dan manusia.
Oleh karena itu, perpustakaan yang paling sangat sederhana terdiri atas ‘sebuah
tanda yang terekam’ untuk digunakan. Hal ini menunjukkan permulaan perpustakaan
yang sangat tidak jelas kecuali pada munculnya perpustakaan-perpustakaan
seperti Perpustakaan Umum New York, Library of Congress (LC), British
Museum, atau Bibliothèque Nationale – dan permulaan kearifan
perpustakaan adalah untuk mencari secara telaten sifat dasar
perpustakaan-perpustakaan awal dan elementer (Richardson, 1963: 21).
Dalam
penelusuran sejarah paling awal terhadap pembuatan dan penyimpanan
catatan-catatan, ilmu perpustakaan, seperti semua ilmu humaniora, memiliki
paling tidak tiga cara pendekatan atau sumber-sumber. Sumber pertama adalah
sejarah yang meliputi bukti dokumen tertulis (langsung dan sejarah yang
sebenarnya) dan bukti dari monument-monumen (tidak langsung dan arkeologi yang
sebenarnya). Sumber kedua adalah adat istiadat bangsa-bangsa primitif yang tidak
berperadaban; hal ini merupakan ilmu perpustakaan yang bersifat komparatif. Ide
modern tentang evolusi mengimplisitkan bahwa bangsa-bangsa primitif ini merupakan
kasus sederhana tentang perkembangan yang tertahan dan terbelakang dan
komunitasnya yang terputus pada taraf perkembangan atau katakanlah tepatnya
mereka hanya berkembang secara alami dan lambat. Oleh karena itu, adat istiadat
mereka sebenarnya merepresentasikan umat manusia masa awal ketika ditunjukkan
pada tahap perkembangan tersebut. Bukti ini juga memiliki sumber kehidupan yang
kaya dalam adat istiadat yang populer di kalangan orang-orang yang berperadaban
dan termasuk cerita-cerita rakyat; hal ini merupakan sesuatu yang memelihara
sesuatu yang memungkinkan mereka berkembang.
Sumber ketiga
adalah tindakan anak-anak ketika mereka sedang berkembang dari tidak bisa
bicara kepada tahap dapat berbicara dan dari berbicara kepada tahap menulis; -
keberadaan teori modern ini menunjukkan bahwa anak dalam proses perkembangannya
mengulangi pengalaman nenek moyangnya, atau, dalam hal ini yaitu ‘merekapitulasi
sejarah ras’. Dalam pengertian yang sama bahwa hal ini mungkin merupakan
permainan anak-anak untuk merefleksikan perburuan, perang, dan kehidupan
domestik dari nenek moyangnya yang tidak beradab. Ketiga sumber ini
diperkirakan dapat meng-cross-check satu dengan yang lainnya dan
mensuplai kekosongan (gaps) antara satu dengan yang lainnya, dan
masing-masing harus diselesaikan secara terpisah dan rinci, tetapi untuk
tujuan-tujuan pembicaraan ini akan menyenangkan
ketimbang melihatnya sebagai kemajuan historis, yang digambarkan dari
adat istiadat dan kebiasan-kebiasan kebiadaban modern, adat istiadat rakyat,
dan psikologi anak (Richardson, 1963: 22-24).
Berpijak pada pandangan di atas, kita dapat
menarik suatu pengertian bahwa perpustakaan secara mendasar tidak harus terdiri
dari puluhan atau ratusan koleksi tetapi yang paling penting adalah bahwa
koleksi yang dimaksudkan adalah untuk digunakan bukan hanya untuk disimpan atau
digudangkan. Digunakan berarti suatu situasi yang aktif dalam pengertian bahwa
perpustakaan harus memberikan sebuah pengaruh terhadap masyarakat. Karena
itulah perpustakaan pada masa kejayaan Islam merupakan suatu kata kunci atau
katalisator untuk memberikan peluang sebuah masyarakat untuk membangun suatu
kemajuan. Kemajuan perpustakaan menunjukkan adanya suatu kemajuan masyarakat,
baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun lainnya dan begitu juga sebaliknya. Berkaitan
dengan itu, Y. Eche membuat suatu kajian yang menyimpulkan bahwa ada tiga
terminologi yang sering dipakai untuk perpustakaan Islam dalam kaitannya dengan
tempat yaitu bait (ruang), khizana (lemari), dar (rumah)
dan tiga juga untuk menunjukkan isinya yaitu hikma (kebijaksanaan), ilm
(pengetahuan), dan kutub (buku-buku). Penggabungan keenam terminologi
tersebut melahirkan tujuh istilah dalam menyebut suatu perpustakaan, yaitu: bait
al-hikma, khizanat al-hikma, dar al-hikma, dar al-ilm,
dar al-kutub, khizanat al-kutub, dan bait al-kutub
(Makdisi, 1981:24-5).
C.
Perkembangan Perbukuan dalam Masyarakat Islam Spanyol
1.
Pasar Buku
Kegiatan mengoleksi
buku-buku hampir menjadi hobi nasional bagi masyarakat Islam Spanyol dan bahkan
menjadi kewajiban sosial di Kordova. Kamar-kamar yang saat ini secara umum
dihiasi oleh mebel-mebel dan perabot rumah tangga yang indah dan mahal, tetapi
rumah-rumah para ningrat di Kordova pada saat itu telah dihiasi oleh buku-buku
langka dan mahal yang ditulis tangan dan dijilid dengan indah. Sejarahwan Ibn
Said pernah mendengar ayahnya yang manyatakan bahwa Kordova pernah menjadi kota
pasar buku yang utama karena masyarakatnya sangat cinta untuk membangun
perpustakaan. Ia pernah melihat orang-orang yang tanpa pendidikan layak yang
mengoleksi buku-buku sehingga mereka dapat memiliki hal yang berbeda dari yang
lainnya karena naskah-naskah mereka yang langka dan secara baik ditulis oleh
penyalin terkenal. Berkaitan dengan ini sebuah cerita terkenal diceritakan oleh
Maqqari. Al-Hadrami, seorang ilmuan pengelana, telah mengunjungi pasar buku
Kordova suatu ketika dan menemukan dalam toko buku sebuah karya yang membuatnya
sangat tertarik. Ia berusaha untuk membelinya tetapi ia tidak dapat
melakukannya karena harganya dipaksa tinggi oleh pecinta buku lainnya.
Pelanggan tersebut menawarkan sebuah harga yang melebihi harga biasa bukan
karena ia ingin membaca melainkan ia ingin memenuhi celah pada rak bukunya yang
memiliki beberapa buku yang jilidan dan ornamentasinya yang sama. Hal ini
membuktikan pada kecintaan masyarakat Kordova untuk membangun perpustakaan dan
kompetisi yang tajam di antara para pembeli buku di pasar Kordova yang sangat
ramai. Para guru terpelajar, pelajar, penyalin terampil, dan penjual buku
berkumpul dari mana-mana di Kordova yang telah menjadi pusat intelektual Barat
pada abad ke-10. Jalan-jalannya yang dua sisinya dipenuhi dengan toko-toko
buku. Pasar Kordova menjadi sangat terkenal karena penjualan buku-buku di mana
para penjual dan pembeli berkumpul dari setiap tempat di Spanyol selama masa
Hakam II yang masuk ke dalam sebuah pasar buku yang sangat besar. Bahkan
setelah kehancuran perpustakaan kerajaan dan perpustakaan pribadi, Kordova
menurut Ibn Rusyd, masih memiliki pada abad ke-12 lebih banyak buku-buku
daripada kota-kota lainnya di Spanyol. Ketika membuat sebuah kajian komparatif
tentang pentingnya Kordova dan Seville, Ibn Rusyd mengomentari secara menarik
bahwa pada kematian seorang ilmuan di Seville, buku-bukunya dikirim ke Kordova
untuk dijual dan juga bahwa pada kematian seorang musisi di Kordova,
instrumen-instrumennya dikirim ke Seville untuk dijual (Levi-Provencal,
1953:234).
Kemasyhuran masyarakat Islam Andalusia dalam
transkripsi dan penjilidan buku-buku membuat para ilmuan Muslim di Timur secara
khusus pada Maqdisi untuk merekam pencapaian mereka. Tercatat bahwa 70 sampai
80 ribu volume buku disalin pada hampir setiap tahunnya di Kordova sendiri. Ibn
Abu al-Fawaris dari Kordova menyalin al-Qur’an dalam jumlah banyak dengan
menyelesaikan dua buah perbulan. Al-Qur’an yang disalin di Timur juga dikirim
ke Spanyol dan disimpan di masjid-masjid. Oleh karena itu diketahui bahwa seperempat
dari al-Qur’an yang ditulis oleh Ibn Muqlah disimpan di masjid Seville.
Al-Qur’an Uthman disimpan di masjid utama Kordova. Al-Qur’an tersebut masih
ada, menurut Ibn Basykuwal, di masjid ini hingga 552/1157. Telah diceritakan pula
bahwa al-Qur’an tersebut dibawa oleh kaum Muwahhidin ke Maroko dan ditemukan
tersimpan di perpustakaan kerajaan Tilimsan pada tahun 737/1239. Setelah itu ia
dibawa ke Portugal dan kemudian sampai di tangan pedagang dari Fez pada tahun
745/1344-5. Namun menurut versi lain bahwa ia dibakar, bersamaan dengan
salinan-salinan al-Qur’an lainnya dari masjid Kordova, oleh orang-orang Kristen
ketika mereka menduduki kota tersebut selama masa Ibn Hamdun (Imamuddin,
1983:55-7).
2.
Pengadaan dan Distribusi Buku
Pada awalnya
perpustakaan-perpustakaan Islam di Spanyol merupakan koleksi-koleksi yang
didatangkan dari Timur oleh para ilmuan dan pengelana yang menemani para
tentara Islam yang mendarat di Spanyol, yang saat itu awal abad ke-8. Masyarakat
Islam Spanyol saat itu terbentuk dari orang-orang Syiria, Barbar, pribumi, dan
budak-budak. Bagi orang-orang Islam ketika itu, buku-buku tentang agama dan
teologi serta tata bahasa Arab harus didatangkan dari Timur dan digandakan
sebanyak-banyaknya untuk pengajaran dan pendidikan agar bisa memahami agama
baru mereka melalui bahasa Arab. Dalam karya-karya biografi baik dalam
kaitannya dengan bidang seni maupun sains, pengarang-pengarang Arab Spanyol
biasanya menyebutkan buku-buku yang didatangkan tersebut, di antaranya adalah
tata bahasa ‘Kitab al-Kisa’i,’ yang dibawa oleh ahli gramatikal Judi Ibn Usman dari
Maurur (wafat 198/813-4), seorang guru pangeran Umayah. Buku-buku tentang hukum
dari Mazhab Maliki diperkenalkan di Spanyol oleh Abu Zaid Ibn Dinar (wafat
201/816-7). Demikian juga koleksi puisi yang disusun oleh Habib Ibn Aus yaitu
dibawa ke Spanyol oleh Ibn al-Muthanna (wafat 273/886-7), guru Abdurrahman II
dan putranya, Muhammad dan Umar. Kamus-kamus Arab dan dan karya-karya lainnya
tentang hadis dan puisi juga dibawah oleh Abd al-Salma dan al-Khusyani (wafat
286/899) dari Kordova. Kitab al-Ain, sebuah kamus bahasa Arab dibawa dari Timur
oleh Qasim Ibn Thabit dari Saragossa.
Buku-buku tentang leksigografi, puisi, dan sejarah didatangkan oleh Muhammad
Ibn Abd Allah al-Ghazi Ibn Qays al-Ghazi (wafat di Tangier 295/907-8).
Buku-buku yang ditulis Abd Allah Ibn Muslim Ibn Qutaybah dan Amr Ibn Bahr
diperkenalkan oleh Ahmad Ibn Muhammad Ibn Harun dari Baghdad. Demikian juga
banyak buku-buku tentang hadis nabi yang ditulis oleh penulis-penulis timur
termasuk karya-karya dari Ibn Abi Shaybah dibawa ke Spanyol oleh Baqi Ibn
Makhlad dari Kordova (wafat 276/890).
Para pengikut
mazhab Maliki yang didukung oleh penguasa Umayah, khususnya Hisyam I, tidak
mendukung untuk pengadaan buku-buku yang membahas tentang gagasan teologi dan
filsafat selain dari yang dimilikinya. Di samping itu, buku-buku juga dibawa
dari Timur oleh ilmuan-ilmuan tertentu. Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Qasim Ibn
Hilal dari Kordova (wafat 272/885-6) membawa buku-buku yang berisi tentang
gagasan filsafat dari Abu Sulaiman Daud Ibn Sulaiman. Al-Faradi mengatakan
bahwa buku-buku ini menjadi penyebab tersebarnya filsafat Daud di kalangan
orang-orang Spanyol. Sejumlah buku lainnya yang dianggap penuh dengan bid’ah
dibawa dari Iraq oleh Ayyub Ibn Sulaiman (wafat 326/938), seorang keturunan
dari Julian (Imamuddin, 1959:101).
Dengan
tersebarnya pendidikan di kalangan masyarakat luas, kebutuhan buku-buku meningkat
tajam di seluruh masyarakat Islam Spanyol, khususnya Kordova. Untuk memenuhi
kebutuhan buku-buku tersebut yang dibawa
oleh para ilmuan ternyata tidak cukup sehingga perdagangan buku menjadi sangat
menguntungkan. Sama halnya senjata, kuda perang, dan ornamen pengantin,
buku-buku dibebaskan dari pajak impor, yang kemudian pedagang mulai tertarik
untuk mendagangkan buku-buku. Di antara para pengelana dan pedagang pertama
adalah seorang pengelana ilmuan, Abu Bakar al-Dinawari (wafat 349/960) dan seorang
pedagang Kordova, Abu Umar Ibn Yabqi al-Judhami (wafat 378/988-9), dan seorang
pengrajin Kordova, Muhammad Ibn Ubaid Ibn Ayyub (wafat 317/929) yang
memproduksi kain brokat (brocades).
Di
samping itu, juga terdapat sejumlah pemilik usaha dan guru-guru sekolah yang
mengimpor buku-buku dan menyimpannya di masjid-masjid dan sejumlah rumah
pribadi untuk dibagi-bagikan kepada para siswa atau pelajar. Sebagai contoh
dari hal tersebut adalah Harun Ibn Sabia (wafat 238/852-3) dari Kordova telah
mengumpulkan buku-buku di rumah Ahmad Ibn Khalid. Para pangeran yang menjadi
pecinta seni dan kesusastraan ikut terlibat bersama para cerdik pandai (intelligentsia)
Spanyol dalam mengoleksi buku-buku dan mengimpor karya-karya langka dan
bernilai dari Timur. Yang terpenting di antaranya adalah Abu Sulaiman Dahhun
(wafat setelah 200/815) dan Ibn al-Ahmar al-Hashimi (wafat 358/969) yang
membawa buku-buku khususnya yang berisi tentang agama. Sepulang dari
perjalanannya yang panjang meliputi Mesir, Iraq, dan India, Ibn al-Ahmar telah
mengabdi di perpustakaan kerajaan Umayah dan menulis sebuah sejarah biografi
dari Abd Rahman III. Berkat dari usaha bersama oleh para pengelana ilmuan, para
pedagang, dan para pangeran serta terutama para cerdik pandai negara tersebut,
banyak perpustakaan berkembang pesat di Spanyol (Imamuddin, 1959:101-2).
D.
Perpustakaan Islam di Spanyol
1.
Kota Kordova
1.1
Perpustakan Umum
Ada beberapa
perpustakaan umum dan masjid di Spanyol. Ribera berbeda dengan pernyataan dari
Casiri yang diulangi oleh ilmuan-ilmuan belakangan yang menyatakan bahwa ada 70
perpustakaan umum di Kordova selama era Hakam II. Menurut Ribera bahwa ada
sejumlah masjid di Kordova yang memiliki perpustakaan untuk digunakan oleh hanya
pelajar, yang dari situ lalu dipahaminya bahwa semuanya merupakan perpustakaan
pribadi dan tidak ada perpustakaan umum bahkan menurutnya hingga pada masa
Hakam II. Pendapat ini perlu diluruskan dengan berbagai alasan. Salah satu
alasan penting adalah bahwa kebiasaan atau tradisi penggunaan masjid yaitu digunakan
oleh umum tanpa mengenal latar belakang kelompok seperti pendidikan, ekonomi,
dan sebagainya. Segala hal yang dimiliki oleh masjid selalu digunakan untuk
umum sehingga pandangan Ribera tersebut sulit untuk diterima. Namun bisa saja
ada kemungkinan sebagiannya bisa dikatakan benar bila yang dimaksudkan itu
adalah masjid dari kelompok tertentu yang eksklusif dan dipergunakan oleh kelompoknya
sendiri, tapi lagi-lagi bahwa masjid secara umum adalah terbuka untuk umum meskipun
ia merupakan milik kelompok Islam tertentu. Bahkan kalau dikaji lebih dalam
lagi bahwa di era kepemimpinan Islam masjid menjadi tempat umum bagi seluruh
masyarakat pada saat itu sehingga perpustakaan yang dimilikinya juga menjadi
milik umum tanpa melihat semua jenis latar belakang termasuk agama. Oleh
karenanya, jika kitapun mendukung bahwa tidak pernah ada perpustakaan umum
selain dari perpustakaan masjid, hal itupun tidak akan menegasikan terhadap
kenyataan bahwa perpustakaan umum tidak ada di Kordova karena
perpustakaan-perpustakaan masjid secara praktik adalah perpustakaan umum
(Imamuddin, 1983:53).
Di samping itu, perpustakaan lembaga
pendidikan memiliki fungsi yang memberikan pelayanan informasi kepada
masyarakat, tidak hanya tergantung pada pelajar sendiri tetapi siapapun dari
anggota masyarakat yang berminat untuk menggunakan perpustakaan yang dimaksud
tidak dibatasi apalagi dilarang, yang oleh karenanya, perpustakaan semacam itu
digolongkan sebagai perpustakaan umum. Penetapan sebagai perpustakaan umum,
secara teoritik, didasarkan pada baik koleksi yang dimilikinya maupun para
penggunanya (Shalabi, 1954:95). Lembaga-lembaga pendidikan ini biasanya menyatu
dengan kepengurusan karena memang pendidikan Islam pada mulanya berawal dari
masjid. Oleh karenanya, kejayaan Islam pada masa itu sesungguhnya merupakan
kejayaan masjid yang dengannya pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan. Dala
pengembangan ilmu pengetahuan inilah, perpustakaan masjid menjadi unsur kunci
dalam temu kembali informasi. Di antara perpustakaan masjid yang berfungsi umum
adalah perpustakaan masjid Raya Kordova, masjid Byasin kota Valencia, dan
masjid kota Malaga serta masjid Raya Seville (Sibai, 1987:54-5).
1.2
Perpustakaan Semi Umum
Perpustakaan
semi umum ini dimaksudkan sebagai perpustakaan yang semestinya untuk umum
tetapi ternyata dalam praktiknya tidak terbuka secara umum. Perpustakaan
kerajaan, royal libraries, dimasukkan ke dalam kategori ini karena
penggunanya sangat terbatas. Orang-orang yang bisa menggunakan perpustakaan
tersebut adalah orang-orang tertentu yang memang diinginkan oleh penguasa atau
raja, khalifah. Secara historis, perpustakaan semacam ini dikenal sebagai perpustakaan
pertama yang sangat penting dan bernilai di Eropa, yaitu, perpustakaan kerajaan
Umayah di Kordova. Masyarakat Islam yang saat itu baru memiliki keinginan yang
kuat untuk mendapat pengetahuan dan mempelajari bahasa Arab. Meskipun gerakan
tersebut pada awalnya lamban tapi ia mencapai puncaknya pada masa Hakam II.
Sebagai seorang pecinta kesusastraan, penyair, dan juga pendiri dinasti Umayah
di Eropa, Abd Rahman I, telah mengundang ilmuan dan penyair terkenal secara
periodik untuk mengadakan diskusi-diskusi kesusastraan di istananya. Di antara
tokoh-tokoh kesusastraan pada eranya adalah Abu al-Mutahasysya, seorang
penyair, Syaikh Ghazi Ibn Qais, seorang ahli teologi terbesar dan juga ahli
bahasa, dan Syaikh Abu Musa Hawari, seorang ahli hukum (legist)
terkenal. Putra Abd Rahman, Hisyam I adalah juga pecinta puisi Arab dan ia
sendiripun seorang penyair. Amr Ibn Abi Ghaffar merupakan seorang penyair
terkenal di istananya. Di antara orang-orang terdidik yang didukung oleh Hisyam adalah Isa Ibn
Dinar, Abd al-Malik Ibn Habib, Yahya Ibn Yahya, Said Ibn Hasan, dan Ibn Abu
Hind. Hakam I adalah juga seorang penyair dan pecinta musik serta ia suka
dikelilingi oleh para penyair, ahli teologi, dan ahli kesusastraan. Sebagai
pecinta pengetahuan, mereka mendirikan sekolah-sekolah dan
perpustakaan-perpustakaan (Mackensen, 1935b:108-110).
Para penguasa
atau khalifah, khususnya Abd Rahman II dan Hakam II, tertarik untuk mengadakan
buku-buku. Agen-agen mereka mengelana melalui kota-kota bagian Timur untuk
mengumpulkan buku-buku baik yang baru maupun langka. Abbas Ibn Nasih yang
merupakan agen Abd Rahman II menjelajahi seluruh toko-toko buku Mesopotamia
untuk membeli karya-karya terjemahan Arab dari bahasa Persia dan Yunani tentang
ilmu pengetahuan. Perpustakaan Kordova Umayah menjadi salah satu perpustakaan
terbaik di dunia Islam selama masa Abd Rahman II dan ditingkatkan serta
diperkuat oleh Abd Rahman III. Discorides yang ditulis dalam huruf emas
dan didekorasi dengan lukisan-lukisan indah merupakan karya Yunani pertama yang
penting yang diterima sebagai hadiah dari kaisar Bizantiun, Konstantinopel oleh
Abdu Rahman I. Ilmuan yang mengetahui bahasa Yunani sangatlah jarang sehingga
Khalifah Umayah harus mengundang Nicolas dari Konstantinopel untuk
menerjemahkan karya-karya ke dalam bahasa Arab.
Dua pangeran,
Hakam dan Muhammad, yang menerima pendidikan di bawa pengajaran guru-guru
pribumi dan asing tidaklah puas dengan koleksi yang kaya dari ayah mereka Abd
Rahman III dan mereka membangun perpustakaan-perpustakaan pribadi mereka
sendiri. Setelah Abd Rahman dan Muhammad wafat, Hakam menyatukan perpustakaan
mereka dengan perpustakaannya sendiri untuk menjadi perpustakaan yang besar.
Ahli tata bahasa terkenal Jaen al-Rabahi (wafat
358/869) yang telah mengajar kesusastraan Arab di Kordova pada banyak
bangsawan dan pangeran, termasuk Mughirah, saudara Hakam II, kesusastraan dan
leksikografer Kordova, Muhammad Ibn Abi al-Husain al-Fihri dari Kordova dan
ilmuan Arab lainnya, Muhammad Ibn Ma’mar dari Jaen merupakan di antara
ilmuan-ilmuan terkenal yang dipekerjakan oleh Hakam II untuk pengoleksian dan
pengoreksian manuskrip dan juga untuk penyalinan buku-buku langka di
perpustakaannya. Buku-buku langka dan bernilai, lama dan baru, telah dibeli dari
Aleksandria, Kairo, Baghdad, dan Damaskus dan disalin ulang untuk Hakam II. Di
antara penyalin-penyalin yang terkenal adalah Abu al-Fadel Ibn Harun dari
Sicilia (wafat 379/989-90), Yusuf al-Balluti, Abbas Ibn Amar dari Sicilia, dan
Dafar dari Baghdad. Para ahli kaligrafi wanitapun juga bekerja di perpustakaan
Hakam II. Labna (394/1004), sekretaris Hakam dan Fatimah (wafat 437/1036),
putri dari sekretaris Hakam yang lain bernama Abu Yahya al-Syaballari telah
dikenal memiliki tulisan tangan yang bagus. Pustakawan kepala dari perpustakaan
Hakam yang merupakan penanggung jawab tertinggi, Talid, yag menurutnya bahwa
koleksi perpustakaan tersebut terdiri dari 400 ribu volume. Daftar buku-buku yang
mencatat hanya nama-nama pengarang dan judul-judul buku tersebut terdiri atas
44 volume yang masing-masing 50 lembar (Diwan, 1978:26-7; Imamuddin, 1983:44-7).
Hakam II
menghabiskan banyak uang untuk pengadaan koleksi-koleksi manuskrip tersebut.
Agen-agen Hakam II memborong toko-toko buku dan perpustakaan-perpustakaan
Baghdad, Damaskus, Kairo, Aleksandria, dan tempat-tempat lainnya. Ilmuan-ilmuan
asing juga dipekerjakan untuk mengadakan buku-buku untuknya. Di antara ilmuan
tersebut adalah Ibn Saban dari Mesir, Ibn Ya’qub al-Kindi dari Baghdad, dan
Muhammad Ibn Farjan. Untuk memperoleh salinan pertama dari Kitab al-Aghani,
sebuah sejarah penyair-penyair dan pemerintahan Arab, yang disusun oleh Abu
al-Faraj al-Aghani, seorang sejarahwan dan penyair Umayah dari Iraq, Hakam
mengirimi pengarangnya seribu dinar. Abu al-Faraj sangat senang mengirimkan
salinan tersebut kepadanya yang disertai dengan karya tentang silsilah Umayah.
Hakam juga
mendapat buku-buku yang ditulis untuk perpustakaannya. Banyak sekali buku yang
didedikasikan kepadanya. Di antara buku-buku semacam itu adalah sebuah booklet
tentang kalender, Kitab al-Auqat al-Sanat yang disusun oleh Abu al-Hasan
Arib Ibn Said (wafat setelah 370/980-1) dari Kordova pada tahun 961 Masehi dan
kemudian disunting serta diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Dozy dengan
judul Calendrier de Cordove de L’annee 961 pada tahun 1873 M. Kalender
tersebut disusun berdasarkan model kalender Latin. Pengarangnya yang merupakan
sekretaris Hakam II dan juga bahkan ayahnya, Abd Rahman III, menulis sejumlah
buku, salah satunya didedikasikan kepada Hakam II sedangkan dua lainnya Kitab
al-Anwa (calendar) dan Surat Yabda (Simulach re), yang
telah dieksploitasi secara penuh oleh Ibn al-Awwam. Karya keempat yang
pengarang bicarakan adalah ringkasan Tabari, kelanjutan sejarah yang
terkenal dari Tabari (wafat 310/922-3) dan di dalamnya ditambahkan sejarah
Afrika Utara dan Spanyol. Sebagian buku tersebut telah sampai kepada kita yang
berisi informasi penting tentang istana dan anggota istana dari Abd Rahman III.
Ibn Mufarraj dari Fonteaurea (Kordova) telah mengelana ke Timur dan membangun
sebuah perpustakaan besar. Ia menulis banyak buku dan mendedikasikannya kepada
Hakam II. Muhammad Ibn Harth Ibn Asad al-Khusyani dari Qairawan telah
mendedikasikan kepada Hakam II lebih dari seribu buku dan booklet , yang
salah satunya adalah Tarikh Qudat al-Qurtubah. Di antara pengarang-pengarang
lainnya yang mendedikasikan karya-karya kepadanya adalah Mutarrif Ibn Isa
(wafat 377-87-8) dari Granada yang menulis sebuah sejarah Elvira, Ibn Faraj
dari Jaen yang menyusun puisi-puisi, Muhammad Yusuf dari Guadalajara yang
menulis sebuah geografi Afrika. Ibn al-Safar dipekerjakan untuk mengoleksi
puisi-puisi yang mengacu kepada Umayah di Syiria dan Spanyol. Ahli biografi
Arab biasanya mengacu kepada nama-nama penyalin dan penulis buku-buku yang
disimpan di perpustakaan kerajaan Hakam II (Prince, 2002:80-81; Imamuddin,
1959:104-6).
Hakam yang
menjadi ilmuan terpelajar memperoleh karya-karya penting yang disimpan di
perpustakaannya dan membuat catatan-catatan salinan pada lembar kosong bagian
belakang buku yang menjadi sumber informasi berharga bagi para ilmuan kemudian.
Di antara buku-buku sejenis itu adalah salah satunya terdata 359/970, dengan
sebuah catatan yang menyatakan bahwa ia disalin untuk Hakam II yang akhir-akhir
ini diketemukan di Fez oleh Levi-Provencal.
Para ilmuan Arab kontemporer telah banyak
berbicara tentang perpustakaan Hakam II, koleksinya yang besar dan merupakan
buku-buku langka dan bernilai. Hal ini, menurut mereka, merupakan koleksi
terbesar yang pernah dimiliki oleh perpustakaan kerajaan pada era dunia
pertengahan (medieval world). Gedung perpustakaan yang asli dan luas
telah gagal untuk mengakomodasi buku-buku yang baru diterima. Meskipun telah
mempekerjakan orang dalam jumlah yang besar, ia tetap membutuhkan waktu enam
bulan untuk memindahkan koleksi-koleksi yang besar tersebut ke gedung baru.
Al-Mansur telah mengikuti Hakam II dan membantu para ilmuan. Di antara
buku-buku yang telah didedikasikan kepadanya adalah al-Fusus yang ditulis oleh
Said dari Baghdad (wafat 410-7 H) yang menerima 5 ribu dinar sebagai hadiah
dari Mansur dan sebuah buku berilustrasi yang ditulis oleh Hasan Ibn Abi Abdah.
Abu al-Walid Ibn Ma’mar, seorang sejarahwan besar dan ahli paleografi telah
dipekerjakan untuk mengoreksi dan memeriksa naskah-naskah yang disimpan di
perpustakaan Mansur dan para penggantinya serta diyakinkan dengan karya
penulisan sejarah keluarga Bani Amir. Kemudian Mansur yang dipengaruhi oleh
ulama-ulama telah bertanggung jawab atas pembakaran karya-karya filsafat yang
berjumlah besar di perpustakaan Hakam. Sebuah gambaran suram dari peristiwa ini
telah digambarkan oleh Said dari Toledo. Dalam menggambarkan situasi yang
menyedihkan terhadap orang-orang Kordova dan ketidak-hematan pemerintahannya,
Dozy mengatakan bahwa ‘untuk memperoleh sedikit uang, Wadih telah bahkan
diwajibkan untuk menjual sebagian besar perpustakaan Hakam’. Dalam permulaan
abad ke-11 selama perang sipil, perpustakaan kerajaan telah dihancurkan dan
perpustakaan-perpustakaan pribadi di Kordova telah dijarah. Buku-buku
perpustakaan kerajaan ini telah dijual di pasar-pasar Kordova, Toledo, Seville,
Almeria, dan kota-kota lainnya. Meskipun demikian, Kordoava terus menjadi salah
satu pusat penting dari seni dan ilmu pengetahuan selama ia masih di tangan
masyarakat Islam (Imamuddin, 1959:103-6; Mackensen, 1935b:108-11).
1.3
Perpustakaan Pribadi
Para raja dan
pangeran, meskipun, merupakan hanya orang-orang yang mengumpulkan buku dan
membangun perpustakaan. Orang-orang secara umum juga mengambil bagian dalam
aktivitas kultural ini dan mengoleksi buku-buku, kadang-kala dengan
menghabiskan lebih daripada apa yang mereka miliki. Di antara
perpustakaan-perpustakaan pribadi Kordova adalah perpustakaan Ibn Futais yang
dianggap sebagai perpustakaan terbesar, di mana gedungnya yang sangat megah,
indah, dan besar. Gedung tersebut dibangun dengan sebuah rancangan arsitektur
yang baik dan indah serta memenuhi persyaratan sebagai gedung perpustakaan yang
representatif, di mana, posisi semua rak buku dapat dilihat dari satu titik
sehingga mempermudah pengawasan koleksi. Abu Abd Allah al-Hadrami (wafat
396/1005-6), seorang ilmuan terpelajar dari Kordova, telah dipekerjakan sebagai
pustakawan seperti enam penyalin dan kaligrafer yang didasarkan pada gaji yang
pasti. Pustakawan juga menunjukkan, di samping, berfungsi sebagai imam di masjid-masjid
keluarga Ibn Futais. Sebagian koleksi dari perpustakaan ini telah dilelang oleh
para cucunya dalam masjid keluarga di Kordova selama perang sipil. Bahkan dalam
situasi yang sulit seperti ini, perpustakaan tersebut masih bisa dibeli seharga
40 ribu dinar. Harga dengan jumlah sebesar itu di hari-hari perang yang
membahayakan merupakan nilai yang tinggi dan inilah sesunguhnya menunjukkan
betapa kecintaan orang-orang pada saat itu terhadap buku-buku dan juga
pentingnya serta popularitas pasar buku dan juga perpustakaan pribadi dari Ibn
Futais (Imamuddin, 1983:50-51).
Perpustakaan
penting lainnya yang sama, dan menurut Ibn Abbar, yang merupakan level kedua
dari perpustakaan Hakam di Kordova merupakan perpustakaan pribadi dari Abu
al-Walid Ibn Mausul (wafat 433/1041-2), sebagai orang yang sangat bijak. Ia
sangat suka membaca dan menulis serta mampu mengenali tulisan kaligrafi dari
berbagai penyalin. Ia tertarik untuk mengoleksi buku-buku langka dan terseleksi
yang di antaranya adalah karya-karya puitis dari Abu Ali al-Qali dari Baghdad
dan karya-karya dari banyak penulis dan ahli kaligrafi besar. Setelah wafatnya
al-Mausul, pada saat buku-bukunya dijual oleh anggota keluarganya, buku-buku
tersebut mendapatkan harga yang bagus, beberapa dari buku-buku langka tersebut
yang dijual dengan nilai rata-rata satu dinar perdelapan halaman. Fatin,
seorang pembantu dari Mansur, menemukan banyak buku setelah kehancuran
perpustakaan kerajaan Umayah dan membangun perpustakaan besar miliknya sendiri
yang terdiri dari buku-buku bernilai tinggi yang telah dijual setelah
kematiannya. Qasim Ibn Sa’dan (wafat 347/958-9), seorang ahli kaligrafi besar
dan ilmuan dari Rayyuh (Archidona), telah memiliki perpustakaan pribadi
yang bagus. Tidak lama sebelum kematiannya, ia mewakafkannya untuk digunakan
oleh pelajar dan ilmuan di bawah bimbingan Muhammad Ibn Abi Dulaim. Abu Ali
al-Ghassani juga memiliki koleksi buku-buku langka yang penting dari berbagai
subjek (Imamuddin, 1959:107).
Sesungguhnya banyak lagi ilmuan-ilmuan lainnya
yang telah memiliki koleksi-koleksi pribadi tetapi tidak dipinjamkannya kepada
orang lain. Al-Juhani dari Kordova (wafat 395/1004-5) sangat suka memiliki
buku-buku yang dipinjamkan kepada orang-orang yang sangat dipercayainya saja.
Telah tercatat juga bahwa ada beberapa orang yang dipaksa untuk menyerahkan
buku-bukunya demi pemeliharaannya. Yahya Ibn Malik Ibn Ayidh (wafat 375/985-6)
dari Tortosa, yang merupakan seorang guru di Masjid Kordova dan telah mengelana
di Timur selama 22 tahun dan menulis banyak buku, adalah salah satu di
antaranya. Bahkan seorang guru sekolah yang miskin seperti Muhammad Ibn Hazm
dari Kordova mampu membangun koleksi-koleksi pribadinya dari buku-buku
berharga. Menarik untuk dicatat bahwa meskipun ia sangat miskin sehingga banyak
orang tidak mau bercampur secara sosial dengannya tetapi perpustakaan
pribadinya yang kaya itu menarik banyak orang terkenal. Orang miskin yang
ilmuan besar ini wafat pada tahun 282/895-6 ketika ia pulang dari berhajji di
Mekah. Di antara pemilik perpustakaan penting lainnya, dikenal nama-nama
seperti Ibn al-Sabuni (wafat 423/1032), Abu Bakar Ibn Dhakwan (wafat
435/1043-4), Ibn Aun al-Ma’afiri (wafat 512-3/1118-9), dan Ibn Mukhtar (wafat
535/1140-1). Ibn Bard dari Ecija yang hidup di Kordova telah berkunjung ke
Timur dan membawa pulang buku-buku yang setara dengan muatan 18 unta yang
terdiri atas berbagai subjek (Imamuddin, 1983:50-53).
2.
Perpustakaan Luar Kordova
Perpustakaan-perpustakaan yang berada di luar kota
Kordova disebut sebagai perpustakaan wilayah, di mana perkembangan ilmu
pengetahuan yang terjadi juga tidak terlepas dari adanya kemajuan perpustakaan
yang dijadikan sebagai katalisator pengembangan ilmu pengetahuan di wilayah
tersebut. Perpustakaan-perpustakaan yang ada di wilayah-wilayah itu meliputi
perpustakaan umum (yang terdiri dari perpustakaan-perpustakaan masjid
sebagaimana juga yang terjadi di kota Kordova), perpustakaan semi-umum, dan
perpustakaan pribadi. Dalam kaitan ini, hanya dua jenis terakhir ini yang akan
dipaparkan secara deskriptif. Pemaparan itu sesungguhnya tidak didasari oleh
sebuah alasan yang dalam melainkan hanya karena kedua jenis terakhir dianggap
merupakan milik oleh perorangan, atau banyak orang dan atau oleh kelompok dan
lembaga tertentu. Secara umum dan historis, perpustakaan-perpustakaan wilayah
tersebut hingga abad ke-10 sesungguhnya tidak pernah menonjol walaupun
aktivitas ilmu pengetahuannya juga terjadi secara berkesinambungan di berbagai
tempat pada saat Kordova masih menjadi pusat budaya dan peradaban. Namun
setelah Kordova jatuh, pusat peradaban baru bergeser ke mana-mana.
1.
Seville dan Badajoz
Di antara
wilayah-wilayah kerajaan Abbasiyah, Seville memiliki sebuah perpustakaan
kerajaan yang penting. Meskipun Seville tidak dapat dibandingkan dengan Kordova
dalam hal kepemilikan perpustakaan-perpustakaan dan toko-toko buku yang kaya
dan berharga tetapi yang pasti bahwa ia lebih baik dibandingkan dengan
kota-kota lainnya yang ada di Spanyol. Ibn al-Khatib dari Granada seringkali
menyebutkan buku-buku yang ditulis di Seville yang membedakannya dari
wilayah-wilayah lain di Spanyol. Ibn al-Abbar berbicara tentang jalan yang
kedua sisinya dipenuhi oleh toko buku, dalam salah satu sisinya itu ia
menemukan sebuah salinan langka dari Ibn Muzain, sebuah sejarah singkat dari
Razi. Ibn Sarah al-Bakri, seorang penyair dari Santaren, mencari penghidupan
dengan menyalin buku-buku di Seville. Penyalin Abu Zaid al-Judhami dari Seville
dikenal telah tinggal sendiri di Kordova.
Di antara para
pecinta buku dari Seville dikenal nama seperti Sharf al-Daulah, putra penguasa
Abbasiyah al-Mu’tamid, Ibn al-Ahdab (wafat 437/1045-6), Abu Bakr Ibn al-Arabi,
Muhammad Ibn Khair, dan Ibn Marwan al-Baji. Koleksi mahal perpustakaan Muhammad
Ibn Khair dijual setelah ia wafat sedangkan Abu Marwan mewakafkan perpustakaan
pribadinya kepada Qadi masjid Seville, Ibn al-Hajjaj al-Lakhmi (wafat
601/1204-5).
Abu Muzaffar Ibn al-Aftas dari Badajoz
memiliki sebuah perpustakaan yang sangat mahal dan lengkap yang dari situlah ia
mengoleksi materi-materi yang lengkap untuk menyusun bukunya yang terkenal al-Muzaffriyah,
sebuah karya ensiklopedis dalam 50 volume yang membahas tentang seni perang,
politik, legenda-legenda sejarah, dan cabang-cabang lainnya dari ilmu
pengetahuan dan seni (Imamuddin, 1959:111).
2.
Kota-kota bagian Utara
Toledo dan
Saragossa merupakan dua kota terpenting di bagian utara yang merupakan milik
umat Islam. Ibukota Gothic, Toledo, adalah sebuah kota penting selama masa
Umayah. Selama perang sipil perpustakaan Hakam II telah dijarah dan
buku-bukunya dijual di pasar-pasar Toledo di mana para pelajar Eropa berkumpul
untuk belajar seni dan ilmu pengetahuan Timur. Berkenaan dengan itu, buku-buku
dari banyak perpustakaan pribadi mendapatkan angin segar. Di antara
perpustakaan-perpustakaan pribadi adalah koleksi yang kaya dari Ibn Maimun yang
selamat dari api ketika pasar-pasar Toledo terbakar, koleksi Abu Amir Ibn
Ibrahim (wafat 458/1066), dan koleksi Abu Muhammad yang semuanya merupakan
koleksi penting. Perpustakaan-perpustakaan lainnya adalah milik ahli kaligrafi,
di antaranya adalah Ibn al-Syaikh (wafat 440/1048-9), Ibn al-Khattar (wafat
438/1046-7), Ibn Hatim al-Tamimi (wafat 469/1076-7), dan Abu al-Walid Ibn al-Hansyi
yang mengimpor banyak karya-karya penting dari Timur (Imamuddin, 1983:58-9).
Saragossa yang menjadi batas terjauh milik Muslim di Timur Laut
Spanyol selalu menjadi landasan perang (battle-ground) bagi dua
komunitas yang bersaing, Muslim dan Kristen. Para ilmuan Muslim selalu harus
berpindah dari sana ke Selatan. Meskipun pemandangan perang yang menakutkan,
para penguasa Banu Hud dari Saragossa tetap membantu orang-orang terdidik,
khususnya para filosof. Para ahli Geometri seperti al-Muqtadir dan ahli Fisika
seperti Ibn Buklaris, pengarang dari al-Mustaini, sebuah karya terkenal berisi
materi kedokteran yang didedikasikan kepada al-Mustain, tumbuh subur di
Saragossa. Ibn Sandur Ibn Mantil (wafat sebelum 500/1106-7) adalah pecinta buku
penting lainnya dari Saragossa. Pada akhirnya, ketika ia ditaklukkan oleh Alfonso
I, para pengumpul buku ini berpindah dari Saragossa dan Calatayud ke Selatan.
Ibn Matruh dan Ibn Saghir yang merupakan penjual dan pecinta buku dari
Saragossa berpindah ke Valencia (Imamuddin, 1983:59).
3.
Kota-kota bagian Timur
Para ilmuan
emigran dan penjual buku dari Saragossa, Calatayud, dan kota-kota lain dari
Aragon mengungsi ke Valencia. Di antara pengungsi tersebut adalah Ibn Matruh
dan Ibn Saghir, yang putranya Ahmad telah dianugrahi dengan penunjukan sebagai
pustakawan di perpustakaan kerajaan Muwahhidin yang telah disebutkan di atas
dan juga Ibn Sidrai (wafat 548/1153-4), seorang penjual buku dari Calatayud.
Di antara
pecinta buku yang terkenal dari Valencia adalah Abd Allah al-Marrausyi (wafat
487/1094), dua pertiga dari buku-bukunya atau setara dengan 143 muatan unta (loads)
dibawa ke istana Ibn Dinun, raja Valencia. Ali Ibn Hudhail (wafat 564/1168-9)
yang mewarisi sebuah perpustakaan besar dari ayah tirinya, Abu Daud al-Maqqari.
Ibn Aisyum al-Ma’afiri (wafat 547/1178-9) yang mengoleksi buku-buku dalam
jumlah besar dan membangun sebuah masjid di atas namanya dekat Alcantara Gate,
Valencia. Banyak penjual buku-buku dari Valencia berpindah ke kota-kota lainnya
di Levant. Ibn Sadat dari Murcia (wafat 566/1170-1) yang nenek moyangnya
berasal dari Valencia berkembang di Jativa dan mewarisi sebuah perpustakaan
besar yang kaya. Ahli tumbuh-tumbuhan, Ibn al-Rumia dari Jativa yang merupakan
pengikut Ibn Hazm dari Kordova menghabiskan banyak uangnya untuk mengoleksi
buku-buku langka demi membangun perpustakaan besar. Ibn al-Faras dari Granada
(wafat 567/1171-2) berhenti dari kegiatan politiknya di Kordova dan Valencia
lalu bermukim di Murcia. Ia mengabdikan hidupnya pada kegiatan ilmu pengetahuan
dan memiliki koleksi yang sangat besar (Imamuddin, 1959:112).
Almeria
merupakan salah satu pusat kebuadayaan di Timur. Abu Ja’far Abbas, perdana
menteri dari Zuhair, Almeria, merupakan ahli kaligrafi terbaik dan memiliki
kekayaan besar yang ia habiskan lima juta mithqal (dinar emas Ja’fari)
untuk pembelian buku-buku, yang kadang-kala dipakai membayar tiga kali lipat
dari harga yang biasa. Oleh karena itu ia membangun sebuah perpustakaan besar
yang terdiri dari empat juta volume buku, selain dari makalah dan leaflet yang
jumlahnya tak terhitung. Qadi dari Almeria, Abd al-Haq Ibn Atiyah, merupakan
pengoleksi buku terkenal. Maimun Ibn Yasin (wafat 530/1135-6), seorang Barbar
dari suku Sanhaja, Almeria adalah seorang penjual-buku terkenal dan Nasr dari
Almeria merupakan seorang ahli tulis (scribe) terkenal. Malaga juga
pencetak orang-orang yang ahli seni dan ilmu pengetahuan. Ibn Mufassal dari
Malaga membuat tujuh puluh salinan al-Qur’an dan menulis banyak karya. Ibn Lope
memiliki sebuah koleksi buku yang terkenal yang ia serahkan kepada imam masjid
Malaga. Ibn Madrak al-Ghassani dan Uthman Ibn Mandur adalah keduanya ahli
kaligrafi terkenal dan juga penjual buku. Isa dari Ronda telah membangun sebuah
koleksi buku yang besar yang diimpornya dari Timur tetapi ia kemudian
kehilangannya. Muhammad Ibn al-Hakim al-Lakhmi dari Ronda yang merupakan asli
dari Seville telah membangun sebuah koleksi buku yang mahal.
Kerajaan Nasrid
Granada menjadi tempat pengungsi Muslim yang telah berpindah dari satu wilayah
ke wilayah Muslim lainnya yang secara berangsur-angsur ditaklukkan oleh
orang-orang Kristen dari Utara. Akibatnya, jumlah penjual buku dan pecinta buku
meningkat besar di Granada dan menjadi sebuah kenyataan yang menakjubkan bahwa
para pengungsi memiliki lebih banyak koleksi-koleksi buku daripada masyarakat
asli Granada. Penguasa-penguasa Nasrid Granada telah mendukung para ilmuan dan
menunjukkan perhatiannya dalam membangun perpustakaan. Perpustakaan kerajaan
memiliki naskah-naskah langkah dan mahal yang berisi berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Terdapat banyak perpustakaan-perpustakaan pribadi yang di
antaranya milik seniman besar Ibn Farsun, Abu al-Qasim al-Qalbi, guru dari Ibn
al-Khatib dan Abu Abd Allah Ataraz. Semua orang ini adalah orang-orang penting
yang telah mendirikan perpustakaan-perpustakaan besar yang berisi banyak koleksi langkah.
Al-Zubaidi, seorang ilmuan terkenal dari Jaen, bermukim di Granada dan
membangun sebuah perpustakaan bagus, khususnya yang merupakan
tulisan-tulisannya sendiri dan buku-buku yang disalinnya sendiri.
Perpustakaannya telah dijarah oleh Esquilula. Ibn Sarah dari Santaren dan Aben
Socral merupakan ahli kaligrafi terkenal dan Ibn Ballis dari Granada adalah
seorang penjual buku terkenal.
Para penyair, sejarahwan, ahli hukum, ahli
geografi, ahli astronomi, ahli tumbuh-tumbuhan, ahli kimia, dan ahli kaligrafi
telah menikmati masa konfidensi dari penguasa-penguasa Nasrid. Di antara
subjek-subjek favorit bagi Arab Spanyol adalah puisi, fiksi, leksikografi,
sejarah, filsafat, jurisprudensi, hukum kontrak, aturan-aturan hisbah
dan regulasi-regulasi pemerintahan kota dan pasar, geografi, kartografi,
astronomi, matematika, botani, dan kimia. Semua subjek ini telah menjadi bidang
eksplorasi ilmu pengetahuan bagi Arab Spanyol dan juga menjadi bidang yang
banyak dikoleksi oleh perpustakaan-perpustakaan mereka, baik pribadi maupun
umum (Imamuddin, 1983:60-2).
E.
Kehancuran Perpustakaan Islam di Spanyol
Berdasarkan
paparan-paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan masyarakat
Islam Spanyol yang telah berkembang secara pesat khususnya di kota-kota utama
seperti Kordova, Toledo, Seville, dan Granada telah secara khusus terdorong
oleh karya-karya dari Timur yang kemudian perkembangannya juga dipercepat oleh
kreativitas masyarakat Arab Spanyol sendiri. Namun sayangnya, ketika kekuasan
politik umat Islam yang secara berangsur-angsur menghilang dan kota-kota Muslim
tersebut kemudian jatuh ke tangan Kristen sedangkan orang-orang Islam sendiri
bergeser dan mundur ke Utara hingga menjadi pengungsi di Granada, yang
merupakan pertahanan terakhir umat Islam yang juga kemudian jatuh ke tangan
mereka sehingga Granada juga hidup dan menjadi properti mereka, semua milik
orang-orang Islam, termasuk bahasa, kesusastraan, budaya, dan bahkan jiwanya
adalah tergantung pada kemurahan hati orang-orang Kristen sebagai pemenang yang
sayangnya tidak menunjukkan suatu toleransi kepada orang-orang Islam
sebagaimana apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang Islam terhadap mereka
dan lainnya, orang-orang Yahudi. Orang-orang Kristen yang menguasai Granada
tersebut lalu menyiksa orang-orang Islam yang disebutnya sebagai Moriscos
karena mereka berbahasa Arab, menulis Arab, dan memeluk Islam sebagai agama
yang bukan agama negara orang-orang Kristen. Sekolah-sekolah umat Islam
ditutup, perpustakaan-perpustakaannya dibakar, undang-undang represif dibuat
untuk memaksa mereka meninggalkan bahasa Arab. Sikap dan tradisi Arab dan kebanyakan
dari orang-orang Islam tersebut pada akhirnya dipaksa untuk menerima agama
Kriten. Namun yang sebagiannya ketika bujukan dan paksaan yang dilakukan
tersebut gagal untuk merubah agama mereka masuk ke agama Kristen, lalu mereka
secara kasar dikeluarkan dari negara tersebut (Imamuddin, 1959:114).
Situasi sulit
bagi perpustakaan Islam Spanyol seperti di atas, secara umum, dapat dilihat
dari dua hal yang menjadi faktor penyebab porak-porandanya bahkan hancurnya
perpustakaan Islam di Spanyol. Faktor pertama adalah seperti disebutkan di atas
bahwa kekalahan umat Islam secara politik menjadi jalan utama bagi tergusurnya
masyarakat Islam di Eropa yang tentu meliputi semua yang dimiliki umat Islam,
termasuk perilaku budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan bahkan diri dan jiwa
mereka. Keberadaan perpustakaan yang merupakan hasil dari produktifitas kekaryaan
mereka dalam bidang ilmu pengetahuan, baik dalam bidang sains maupun dalam
bidang agama mengalami pembakaran dan penjarahan. Masyarakat Islam sebagai
kelompok orang-orang yang tertaklukkan dan tidak memiliki kekuasaan sama sekali,
maka tentu semuanya akan ditentukan oleh masyarakat penakluknya yaitu
orang-orang Kristen yang memang sudah lama menantikan saat-saat seperti itu
(Sibai, 1987:117-9).
Selain
tindakan penghilangan produk-produk budaya ilmiah dari kaum Muslim Spanyol yang
melalui pembakaran buku-buku yang berbau Arab, lalu pada abad ke-12 dan ke-13,
sekolah-sekolah dan universitas-universitas telah didirikan oleh orang-orang
Kristen di kota-kota penting untuk menerjemahkan buku-buku Arab ke dalam bahasa
Latin dan menanamkan pendidikan Latin-Arab. Nama-nama sekolah Latin Arab di
Toledo dan Seville, dan juga universitas-universitas Valencia, Salamanca, dan
Lerida. Banyak sekali karya-karya tentang ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat
telah diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin dan Romawi. Di penghujung
abad ke-15, semua jenis dukungan pada bahasa dan kesusastraan Arab dihentikan
dan dalam delapan tahun setelah jatuhnya Granada, sebuah rezim kekerasan dan
penyiksaan dimulai. Semua koleksi-koleksi dalam perpustakaan Islam Granada,
kecuali karya-karya yang berisi tentang filsafat, kedokteran, dan sejarah, dibawa
ke alun-alun Bibarrambla dan dibakar atas perintah Cardinal Ximines de
Cisneros, pendeta yang bertanggung jawab terhadap pemurtadan orang-orang Islam
ke dalam agama Kristen pada tahun 1499 M. Kata Nicholson bahwa hal tersebut
dilakukan untuk menghilangkan catatan tujuh abad kebudayaan Islam dalam hanya
satu hari (Mackensen, 1935a:117; Imamuddin, 1983:64-5).
Seorang
jurnalis kontemporer yang tidak mengetahui bahasa Arab dan ia sendiri tidak
pernah kehilangan buku apapun karena terjadinya pembakaran buku menunjukkan
sebuah gambaran tentang karya-karya Arab yang dihancurkan sejumlah dua juta.
Menurut Ribera, yang telah menulis sebuah biografi Cardinal Ximines, jumlah
naskah Arab yang dikonsumsi adalah satu juta lima ratus ribu. Pandangan yang
tidak memihak dari jurnalis yang telah disebutkan di atas bertentangan dengan
ahli biografi Ximines lainnya, Simonet, yang melakukan sebuah observasi bahwa
orang-orang Islam tidak berperadaban dan perpustakaannya tidak memiliki jumlah
buku sebesar itu. Tentu hal ini merupakan sebuah penegasian fakta secara
sederhana. Di samping keparsialitasnya tersebut, di sisi lain Ribera mengakui
bahwa orang-orang Islam Spanyol adalah sangat berperadaban, bahkan lebih dari
apa yang ada di Timur, dan bahwa perpustakaan-perpustakaan mereka di Granada
adalah cukup kaya untuk memiliki dua juta buku.
Setelah
Granada jatuh, baik pengimporan buku-buku Arab dari Timur maupun penulisan
buku-buku di negara tersebut tidak ada sama sekali. Bahkan sebaliknya,
koleksi-koleksi naskah Arab tua ketika dan kapanpun ditemukan akan dihancurkan.
Meskipun kehilangan karya-karya tersebut yang disebabkan oleh masa itu ataupun
oleh kelembaban udara dan sifat alami dari bahan yang digunakan, karya-karya
tersebut banyak yang masih ditemukan hingga hari ini yang kebetulan tidak
dibakar dan dihancurkan oleh orang-orang Kristen ataupun yang dikubur dan
disembunyikan di bawah karang oleh orang-orang Islam sendiri yang kemudian
dibawa keluar dari negara itu pada saat pengusiran. Meskipun terjadi banyak
kehilangan buku-buku yang disebabkan berbagai situasi, tetap masih ada banyak
buku-buku di Granada dalam abad ke-15 baik itu di perpustakaan kerajaan maupun
di perpustakaan pribadi. Koleksi-koleksi yang berjumlah besar ini, yang terdiri
dari naskah-naskah yang dimiliki oleh orang-orang Islam yang terusir dari
daerahnya yang kemudian tinggal di Valencia, Aragon dan daerah-daerah lainnya
di Spanyol telah mengalami pembakaran dan penjarahan di tangan orang-orang
Kristen.
Di antara
buku-buku yang dihancurkan di Bibarrambla, ada banyak naskah-naskah yang secara
baik ditulis dan secara indah didekorasi dengan banyak gambar dan buku-buku
yang dijepit dari perak dan emas yang berlapis mutiara dengan nilai lebih dari
sepuluh ribu koin emas (ducat) menurut catatan dari Padre Alcolea.
Bahkan setelah ini, kehancuran naskah-naskah Arab terus berlanjut. Praktik
pembakaran karya-karya Arab ini kemudian disahkan dengan melalui hukum atau
undang-undang. Pada tahun 1511 M. Dona Juana membuat sebuah aturan untuk
membakar buku-buku berbahasa Arab yang berisi tentang agama Islam. Berkaitan
dengan itu, orang-orang Islam diperintahkan untuk memperlihatkan naskah-naskah
Arab yang dimilikinya untuk diperiksa dan diteliti isinya. Buku-buku tentang
hukum Islam dan agama akan dipisahkan dari subjek-subjek lainnya lalu dibakar.
Sejak itu Santo Oficio mulai mengambil langkah-langkah tegas untuk menentang
semua orang yang masih memelihara
naskah-naskah Arab tentang al-Qur’an, Hadis, dan Fiqh serta buku-buku semacam
itu juga akan dikumpulkan dan dibakar. Meskipun akan membahayakan jiwanya,
orang-orang Islam tetap berusaha untuk menyembunyikan buku-buku semacam itu di
belakng rumahnya hingga akhir dari masa pengusiran terhadap mereka sebagaimana
yang diceritakan oleh Fray Marcos de Guadalajara. Ada sebuah naskah Arab tata
bahasa yang disimpan perpustakaan universitas Valencia yang disertai sebuah
catatan, “saya, Jamie Ferrando, menemukan buku ini di sebuah kampung, Laguar,
setelah orang-orang Islam mendaki bukit untuk mencari perlindungan keselamatan,
di rumah Mil-Leni de Guatest, ketua dari orang-orang Islam tersebut. Karena
buku itu ditulis dalam huruf Arab, saya tidak menemukan orang yang dapat
membacanya, saya kira buku tersebut merupakan salinan dari al-Qur’an Muhammad”.
Pada bulan Agustus 1584, ketua pengadilan Altea memaksa keponakan Junca,
seorang ilmuan dari orang-orang Islam, untuk mendepositkan semua salinan
al-Qur’an kepada Santo Oficio. Bahkan hingga setelah masa pengusiran terhadap
orang-orang Islam, pembakaran naskah-naskah Arab tetap berlanjut dengan secara
terbuka sehingga menjadi sebuah tradisi festival tahunan. Hal ini diperingati
sebagai sebuah rencana untuk menghina Islam dan ajarannya.
Saat itu
terdapat suatu kepercayaan bahwa memelihara buku-buku Arab merupakan kejahatan
dan luka terhadap agama Kristen dan masyarakatnya, sehingga uskup membakar
buku-buku tersebut dan dari waktu ke waktu raja-raja Kristen membuat
undang-undang untuk menghancurkannya. Meskipun demikian, kadang-kala juga
sebagiannya dihadiahkan kepada raja-raja Islam tetangganya. Sancho IV memasuki
sebuah era hubungan yang baik dengan Banu Marin dan memberikannya buku-buku
penting yang terdiri dari tiga angkutan unta. Untunglah Ribera mengakui,
‘tetapi buku-buku yang ditinggalkan oleh orang-orang Islam yang tidak dibakar
dan dipelihara oleh orang-orang Kristen, orang-orang Yahudi, dan orang-orang
Islam yang pasrah tetap menetap, kita kehilangan, kadang-kala dengan cara
pemberian hadiah sebagaimana yang terjadi pada era Sancho IV, namun pada saat
yang lain juga buku-buku itu dibakar, sehingga kita [orang-orang Kristen]
sesungguhnya tidak kurang lebih jahat dibandingkan dengan orang-orang Islam,
yang contohnya seperti yang dilakukan ini’. Meskipun demikian, dalam membuat
pernyataan tersebut, ia masih tetap gagal untuk tidak memihak dan berusaha
membela orang-orang Kristen terhadap noda-noda sejarah yang dilakukannya
(Imamuddin, 1983:63-70; Nakosteen, 1964:71-74).
Faktor kedua
yaitu bersifat internal di mana kerusakan dan kehancuran karya-karya Arab atau
Muslim tidak semuanya disebabkan oleh orang-orang Kristen namun juga disebabkan
oleh umat Islam sendiri baik secara sengaja maupun tidak. Salah satu bentuk
kehilangan bagi karya-karya Islam adalah disebabkan oleh perjalanan ataupun
buku-buku yang dikirim ke negara-negara lain karena hal itu merupakan sesuatu yang
tidak dapat dihindari ataupun dalam perjalanan mendatangkan buku-buku dari luar
negeri. Dalam mengimpor buku-buku dari Timur, seluruh koleksi Abu Musa
al-Hawwari yang bekerja sebagai Qadi di Ecija selama masa pemerintahan Abd
Rahman II, Abu Yahya dari Kordova (wafat 385/995), dan Ibn Haut Allah dari Onda
(wafat 612/1215-6) telah hilang dalam perjalanan. Atiyah Ibn Said (wafat
sekitar 408/1017-8), seorang pecinta buku dari Spanyol, membawa banyak sekali
buku-buku ke Timur. Seorang ahli biografi, Humaidi membagi-bagikan bukunya
kepada orang-orang terdidik Timur dan Abu Bakr Ibn Yasir (wafat 563/1017-8) dari Jaen, seorang pustakawan
perpustakaan Nur al-Din, dan juga kepada para pelajar dan ahli hadis dari
Timur. Demikian juga banyak sekali buku-buku yang diekspor ke Timur, yang
meskipun pandangan saat menganggap bahwa nilai buku-buku Timur masih lebih
tinggi ketimbang karya-karya di Spanyol. Pada awal abad ke-11, banyak ilmuan
Spanyol pergi ke Fez dan tinggal di sana. Bagi pelajar-pelajar Maroko yang
belajar di Spanyol ketika mereka pulang ke negaranya mereka membawa buku-buku
dari Spanyol. Yasaltan Ibn Daud dari Aghmat (372/982-3) dan Muhammad Ibn Abd
al-Haq dari Tilimsan (wafat 625/1228) belajar di Spanyol dan membawa buku-buku
mereka ke negaranya. Ibn Maljun (wafat 535/1140-1) dari Maroko merupakan
pelajar lainnya yang belajar di Spanyol dan membangun sebuah perpustakaan
bergensi yang akhirnya dijual oleh putranya sebanyak empat ribu Dinar. Melihat
pentingnya menjaga buku-buku di negara asing bukanlah semata karena
kehilangannya di Spanyol. Perpindahan ilmuan bersama koleksi-koleksi berharga
mereka, sesuatu yang tak terhindarkan, merupakan pertimbangan utama khususnya
hal tersebut ketika orang-orang Islam yang terusir itu membawa buku-buku
langkah dan mahal ke Afrika Utara dan Timur. Orang-orang tersebut di antaranya
adalah filosof Ibn Arabi, ahli tata bahasa Ibn Malik, politisi Abu Bakr dari
Tortosa, ahli teologi Ibn Farru dari Jativa, penyair Ibn Khaja dari Alcira, Ibn
Khaqan dan sebagainya.
Kehilangan koleksi lainnya yang sesungguhnya
sangat serius adalah yang disebabkan oleh pembakaran karya-karya filsafat di
masyarakat Islam Spanyol. Para filosof yang menganut selain ide-ide Maliki
tidak ditoleransi, mereka dianiaya dan buku-bukunya dibakar secara tidak resmi.
Ibn Masarrah (883-931) disiksa dan karya-karya filsafat perpustakaan Ibn Kulaib
telah dibakar dengan dasar penelitian ahli teolagi. Ketidak-toleransian ini,
meskipun, tidak direstui oleh negara dan para pelakunya ditegur. Hakam II telah
mendukung para filosof dari semua mazhab tetapi Hajib al-Mansur yang menjadi
Perdana Menteri dari Hisyam II telah dikuasai oleh para ahli teologi dan ia
harus menghancurkan satu bagian dari perpustakaan Hakam yang berisi karya-karya
tentang filsafat. Buku-buku yang dianggap bid’ah dan meragukan dicari di
pasar-pasar dan perpustakaan-perpustakaan, bila ditemukan dibakar oleh mazhab
Maliki Ortodoks. Perpustakaan Ibn Hazm telah menemukan nasib yang sama. Setelah
kehadiran kaum Murabitun, praktik pembakaran karya-karya filsafat menjadi semakin
biasa dan seringkali dilakukan dengan sanksi negara. Ibn Ishaq Ibn Tasyufin
menjarah banyak perpustakaan seperti milik Abu Bakr Ibn Abi Lailaha, seorang
ilmuan besar dari Murcia (wafat 566/1170-1) dan membawa buku-bukunya ke Maroko.
Kaum Muwahhidun yang mempercayai gagasan-gagasan filsafat dan skolastik pada
awalnya memesan buku-buku kelompok Maliki dan membawanya ke Fez untuk dibakar.
Karya-karya Muhammad Abu Bakr (wafat 599/1202-3) telah dibakar dengan perintah
Sultan (kira-kira 580/1184-5). Hal ini kemudian membuat marah orang-orang Islam
Andalusia yang lalu menyebut kaum Muwahhidun sebagai orang-orang bid’ah. Untuk
berdamai dengan mereka, kaum Muwahhidun berbalik menentang para filosof seperti
Ibn Rusyd, Ibn Tufail, dan sebagainya, yang mereka dukung dalam waktu yang
lama, dan menyiksanya serta menghancurkan buku-buku mereka dengan cara
membakarnya. Koleksi karya-karya ilmiah dari Abu al-Hajjaj al-Marini dari
Seville telah mengalami penghancuran di tangan kaum Muwahhidun. Kaum Muwahhidun
ini mempekerjakan ahli-ahli kaligrafi Spanyol di perpustakaan mereka di Maroko.
Para pustakawan perpustakaan kerajaan juga ada di antaranya dari orang-orang
Spanyol seperti Abu al-Abbas Ibn Asawira dari Seville (Imamuddin, 1959:116-7; Laugu,
2005:85-89; Bashiruddin, 1967:149-61).
F.
Kesimpulan
Pemahaman
pertama yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa perpustakaan bukanlah ukuran
pertama karena banyaknya koleksi yang dimiliki tetapi yang tak kalah pentingnya
adalah digunakan atau tidak. Kalau kata ‘digunakan’ terbukti ada maka itu
sungguh merupakan suatu perpustakaan, apakah itu hanya satu buku atau bahkan
satu huruf sekalipun bila ia digunakan maka juga bisa dikatakan perpustakaan.
Berdasarkan definisi tersebut, penulis tidak akan ragu-ragu lagi untuk mengatakan
bahwa perpustakaan Islam merupakan suatu perbincangan penting bukan saja
pentingnya itu diarahkan pada perpustakaan-perpustakaan yang dianggap besar,
melainkan kepada seluruh perpustakaan baik itu yang sudah maju maupun yang
masih sederhana. Terkait dengan itu, masyarakat Islam pada era pertengahan,
yang biasa disebut sebagai Medieval Muslims, telah menyadari betul
tentang pentingnya perpustakaan dan keharusan untuk memilikinya. Bukan saja itu
tetapi juga tentang bagaimana mendesain ruang-ruangnya seperti ruang
penyimpanan buku-buku yang baru datang, penyalin, penjilid, pustakawan, pembaca
dan ruang dosen, dan sebagainya yang kesemuanya itu merupakan langkah yang
sangat futuristik untuk pengembangan dan kemajuan masyarakat Islam.
Di samping
itu, dalam masyarakat Islam Spanyol juga dikenal jenis perpustakaan umum, semi
umum, dan pribadi. Perpustakaan umum tersebut, misalnya, telah dijumpai
penggunanya baik laki maupun perempuan, majikan maupun pembantu, raja maupun
orang-orang biasa, ilmuan maupun orang-orang yang bukan ilmuan yang semuanya
bertujuan untuk mencari informasi atau membaca buku-buku. Hal ini menunjukkan
bahwa perpustakaan merupakan tempat yang penting, sekaligus, menjadi bukti
sejarah bahwa orang-orang pada masa itu telah memiliki standar literasi yang tinggi.
Perpustakaan-perpustakaan yang digambarkan tersebut memiliki koleksi yang
disusun secara baik berdasarkan kesamaan subjek sehingga memudahkan para
pengguna untuk menemukan subjek apa saja yang mereka cari. Untuk menemukan
koleksi yang disusun berdasarkan subjek tersebut dicari melalui panduan katalog
yang telah dibuat oleh para pustakawannya yang profesional. Perpustakaan semi
publik dan pribadi juga melakukan hal yang sama yaitu, misalnya, pengadaan
koleksi yang disertai dengan pengelolaannya secara baik dan penggunaannya
sangat intensif meskipun hanya dijangkau oleh orang-orang tertentu.
Berkat ketersediaan
perpustakaan yang baik tersebut memberikan kemudahan akses informasi bagi
masyarakat secara keseluruhan khususnya bagi peminat ilmu pengetahuan untuk
melahirkan karya-karya baru dan orisinal. Di samping karya-karya asli tersebut
juga tak kalah berkembangnya penerjemahan-penerjemahan khususnya buku-buku
Yunani dan Latin yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ataupun naskah-naskah
langka Arab juga ditranskripsikan oleh para ahli kaligrafi untuk membantu
penyebaran informasi tentang karya-karya tersebut. Berkaitan dengan tidak
adanya mesin cetak pada saat itu, para penyalin mengabdikan waktunya yang
banyak untuk menyalin berbagai buku-buku dalam rangka penyebaran ilmu
pengetahuan. Mahalnya pembiayaan terhadap penyalinan atau penggandaan buku-buku
tersebut, maka buku-buku ini secara bebas dijual dan dibeli di toko-toko buku
di Spanyol. Perhatian khusus dilakukan untuk menjaga buku-buku mahal tersebut
dengan melalui berbagai cara di antaranya dengan penjilidan yang dihiasi dengan
kulit dan kayu-kayu wangi. Nilai-nilai buku tersebut meningkat kemudian yang
bertatahkan dengan emas dan perak dalam bentuk tulisan dan ornament-ornamen
lainnya. Orang-orang yang dianggap memiliki perhatian besar terhadap ilmu
pengetahuan dan budaya lalu diberikan tanggung jawab untuk menjaga perpustakaan
di atas.
Terakhir,
kehancuran perpustakaan Islam Spanyol merupakan salah satu isu penting yang
harus dipahami oleh umat Islam agar bisa menjadi pelajaran untuk masyarakat
Islam sekarang dan di masa yang akan datang. Secara umum, kehancuran
perpustakaan tersebut disebabkan oleh dua faktor, eksternal (luar) dan internal
(dalam). Faktor eksternal berupa kekalahan secara politik dari orang-orang
Kristen, baik melalui perang fisik maupun propaganda politis, yang kemudian
membawa kepada pemusnahan perpustakaan-perpustakaan Islam, baik dengan pembakaran
maupun dengan penjarahan. Faktor kedua yang berupa internal yaitu disebabkan
oleh keteledoran umat Islam sendiri, di antaranya dalam pengiriman buku-buku
mereka baik dari luar Spanyol maupun dari Spanyol keluar dan juga oleh
penanganan koleksi-koleksi yang sebagiannya tidak professional. Faktor internal
yang paling menyedihkan adalah pembakaran buku-buku umat Islam oleh kalangan
umat Islam sendiri yang didorong oleh hanya karena perbedaan ideoloi dan atau
faham mereka terhadap agama.
G.
Daftar Pustaka
Bashiruddin,
S. (1967). ‘The Fate of Sectarian Libraries in Medieval Islam’ dalam LIBRI:
International Library Review and IFLA-Communication-FIAB, Vol. 17, 1967.
Diwan,
Muhammad Rustam Ali (1978). ‘Muslim Contribution to Libraries during the
Medieval Times’ dalam Islam and the Modern Age: A Quarterly Journal,
Vol. IX, No. 2 May, 1978.
Imamuddin,
S.M. (1983). Some Leading Muslim Libraries of the World (Dhaka: Shuvin
Art Press).
Imamuddin,
S.M. (1959). ‘Hispano-Arab Libraries, Books and Manuscripts (Muslim Libraries
and Bookmen in Spain)’ dalam Journal of the Pakistan Historical Society,
Vol. VII part I (January 1959) edited by Dr. S. Moinul Haq.
Imamuddin,
S.M. (1981). Muslim Spain 711-1492 A.D.: A Sociological Study (Leiden:
J. Brill).
Laugu, Nurdin
(2005). ‘Muslim Libraries in History’ dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic
Studies, Vol. 43, No. 1 (2005:57-97).
Levi-Provencal
(1953). la Civilizacion Arabes en Espana (Argentina: [t.p.])
Mackensen,
Ruth Stellhorn (1935-a). ‘Background of the History of Moslem Libraries’ dalam The
American Journal of Semitic Languages and Literatures, Vol. 51, October
1934-July 1935.
Mackensen,
Ruth Stellhorn (1935-b). ‘Moslem Libraries and Sectarian Propaganda’ dalam The
American Journal of Semitic Languages and Literatures, Vol. 51, October
1934-July 1935.
Makdisi,
George (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and
the West (Edinburgh: Edinburgh University Press).
Nakosteen,
Mehdi (1964). History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350:
with an Introduction to Medieval Muslim Education (Colorado: University of
Colorado Press).
Nasution,
Harun (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press).
Prince, Chris
(2002). ‘The Historical Context of Arabic Translation, Learning, and the
Libraries of Medieval Andalusia’ dalam Library History, Vol. 18, July
2002.
Richardson,
Ernest Cushing (1963). The Beginnings of the Libraries (London: Archon
Books).
Sulistyo-Basuki
(2010). Pengantar Ilmu Perpustakaan (Jakarta: Universitas Terbuka).